Mohon tunggu...
Aryo Harprayudi
Aryo Harprayudi Mohon Tunggu... -

Sedang manjalani studi S1 Universitas Gadjah Mada,Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dalam jurusan Manajemen an Kebijakan Publik.\r\nSedang aktif di organisasi BEM KM UGM sebagai Wakil Mentri Kajian Strategis dan sebagai Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Administrasi Negara (KMAN) UGM

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Suara Mahasiswa Memperjuangkan Keadilan Dijamin Konstitusi Negara

21 Juni 2011   14:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:18 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi demo kapanpun dan dimanapun yang sesuai dengan aturan berlaku, hal ini sering dilakukan oleh kalangan mahasiswa baik dari badan eksekutif maupun dari organisasi kemahasiswaan ekstra kampus, hendaknya disikapi oleh pemerintah sebagai suatu kritikan atas adanya “Ketidakpuasan Rakyat” yang riil terhadap pemerintahan yang belangsung agar bisa bekerja ekstra keras untuk memberikan kenyamanan atas suasana batin serta rasa keadilan bagi rakyat yang sejatinya sudah terusik serta tertekan, dan mengurangi kebiasaan menyelesaikan persoalan hanya lewat pidato-pidato belaka yang sejatinya pula tidak menjadi perasaan simpatik rakyat.

Presiden SBY sendiri telah mengungkapkan dengan jelas terkait 5 kategori kemiskinan yang dirumuskan oleh Bank Dunia yang meliputi : 1. Kurang cukup makan; 2. Sakit tidak mampu berobat; 3. Tidak mampu menyekolahkan anak; 4. Tidak punya pekerjaan tetap; dan 5. Tidak punya tempat tinggal atau rumah yang layak huni.

Hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 melansir jumlah penduduk miskin di Indonesia 32,53 juta jiwa atau 14,15% dari total populasi penduduk Indonesia. Selanjutnya dari hasil Sensus Penduduk Nasional pada Maret 2010, jumlah penduduk miskin Indonesia tinggal 31,02 juta jiwa atau 13,33% dari jumlah penduduk 237 juta jiwa. Hitungan ini oleh BPS merujuk pendapatan Rp. 5.000,- perhari, sementara Bank Dunia berpatokan minimal US$ 2 perhari atau setara dengan nilai Rp. 18.500,- perhari. Atau rujukan BPS dengan jumlah pengeluaran sebesar Rp. 200.262,- perorang perbulan, sedangkan indikator internasional tidak kurang dari Rp. 300.000,- perorang perbulan.

Dari hitungan BPS jika dihubungkan dengan realita daya beli rakyat yang merosot dan dikaitkan dengan rujukan Rp. 5.000,- pendapatan perhari atau jumlah pengeluaran sebesar Rp. 200.262,- perbulan tentu tidak memungkinkan untuk terpenuhi atau mencukupi. Yang mendekati hitungan justru terkait dengan patokan Bank Dunia minimal US$ 2 pendapatan perhari, atau setidaknya indikator internasional dengan pengeluaran tidak kurang dari Rp. 300.000,- perbulan. Jika hal ini diterima semua pihak maka jumlah penduduk miskin jelas akan melebihi data BPS sejumlah 31,02 juta jiwa, bahkan mendekati 100 juta jiwa jika berpatokan pada Bank Dunia. Ditambah jika pada Februari 2010 angka pengangguran 8,59 juta orang; pada April 2009 angka buta huruf masih 9,7 juta orang; di tahun ajaran 2007 terdapat 1.039.067 anak putus sekolah; dan sepanjang tahun 2007 juga derajat kesehatan penduduk karena angka gizi yang buruk pada masyarakat miskin dan pelayanan kesehatan yang kurang bermutu lebih rendah daripada Laos dan menempati urutan 107 dari 117 negara anggota WHO. Ini semua adalah data yang dihasilkan dari Depdiknas, UNDP, dan BPS sendiri. Artinya kondisi obyektif rakyat yang terjadi saat ini, nampak jelas bahwa pemerintah gagal melindungi hak-hak rakyat dan menyejahterakan rakyatnya yang diamanatkan oleh konstitusi negara.

Hak-hak rakyat selain memegang kedaulatan juga yang memilih Presiden dan Wapres dalam satu pasangan secara langsung, bukanlah dijamin untuk tidak merasa tidak puas. Hak rakyat untuk menerima sebesar-besar kemakmuran dari APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan setiap tahunnya, bukanlah untuk kepentingan belanja kebutuhan aparat pemerintah atau anggota dewan semat-mata. Hak rakyat sebagai warga negara yang bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan, tidaklah mungkin bertindak inkonstitusionil. Hak rakyat atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, bukanlah dibiarkan untuk jadi pengangguran dan hidup dalam kemiskinan.

Hak rakyat ikut serta dalam usaha hankam negara sebagai kekuatan pendukung melalui sistem hankamrata oleh TNI dan Polri sebagai kekuatan utama dan alat negara, yang tidak mungkin akan bertindak anarkhis. Hak rakyat mendapat pendidikan, bukanlah hanya menjadi retorika. Hak rakyat menerima untuk sebesar-besar kemakmuran dari kekayaan alam yang dikandung dibumi, diair dan didalamnya yang dikuasai oleh negara, bukanlah membiarkan dikuasai oleh asing. Hak rakyat menerima fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan umum yang layak dari negara, bukanlah dihadapkan oleh harga-harga yang mahal. Hak-hak rakyat ini, dijamin konstitusi negara. Pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan sebagai amanat dan tanggungjawabnya. Dengan demikian suara “Ketidakpuasan Rakyat” yang diperjuangkan oleh kalangan mahasiswa harus diapresiasi, bukannya dianggap musuh dan ancaman. Ingatlah, yang menjadi pemimpin saat ini adalah juga hasil perjuangan mahasiswa memperjuangkan tuntutan reformasi di tahun 1998.

Aryo Dwi Harprayudi

Wakil Mentri Kajian Strategis BEM KM UGM

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun