Dalam konteks Kartini pun, sebenarnya tidak terlalu umum menggunakan istilah feminisme di Indonesia, Indonesia baik-baik saja tanpa itu, sebelum Belanda mencanangkan Politik Etis...
Preface
Perempuan, penulisan, dan feminisme. Ketiga topik ini tidak dapat dikontradiksikan. Wacana apapun yang sedang berkembang akan tiada habis pembicaraan tentang perempuan. Ketika kita membayangkan sosok perempuan berada di lukisan-lukisan jalan di masa klasik misalnya di era kuasa Perancis, Belanda, ataupun Inggris. Kita dapat melihatnya sebagai representasi power(kekuatan), simbol bahwa perempuan juga memiliki kuasa atas segala hal. Dikutip dari “Women in Historis” terbitan Marie Claire (1999) perempuan dipotret selayaknya ratu yang harus diperlakukan baik, tata cara berpakaian yang elegan, cara berjalan, dan berbicara.
Kitab Negarakretagama ayat 48 (2003) rupanya turut melukiskan siapa itu perempuan sebenarnya. Dalam tulisan Mpu Prapanca ini perempuan dituliskan sebagai sosok ibu, yang mampu memerintah, pakaian bersih dan rapi, serta harus menjaga adat kerajaan Majapahit. Ini diperuntukkan bukan hanya para ratu, tetapi perempuan berbagai lapisan masyarakat.
Jika di Barat figur perempuan lekat dengan pemerintahan, tahta, kehidupan mewah seperti yang diejawantahkan istri dari Louis XVI Marie Antoinette. Seorang Maria Antoinette bahkan harus bermandikan emas setiap harinya untuk menjaga tubuhnya agar tak terlihat tua, juga senang berpesta untuk menjaga keutuhan tradisi kerajaan Perancis. Meski harus ikut dipenggal bersama suaminya, Antoinette memiliki peran besar dibalik kepemimpinan Louis yang menentukan kebijakan mana saja yang harus dan tidak ditetapkan.
Lain daripada itu, Gayatri atau Srikandi dalam tata pemerintahan Indonesia Klasik sepertinya harus mendapat porsi besar dalam penulisan sejarah Indonesia. Kedua perempuan ini tampaknya hanya cerita dongeng saja di buku-buku pelajaran sejarah. Ironi jika di dalam kelas baik pendidik maupun peserta didik kurang mendapat gambaran jelas mengenai sejarahnya sendiri. Pun penulisan sejarah nantinya tak hanya melulu soal konflik, revolusi, kemerdekaan atau hal lain yang mainstream. Penulisan tentang perempuan, sosok Gayatri dan Srikandi digambarkan sebagai pemimpin.
Meski prestasinya harus tertimpuk dengan gambaran penokohan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, tanpa Gayatri Majapahit tidak akan mampu menguatkan relasinya dengan kerajaan lain (Earl Drake, 2002). Begitupun dengan Srikandi adalah sosok kuat, bijaksana, dan tegas yang peranannya besar menyatukan Ngastina. Suatu kegamangan bila perempuan digambarkan tertindas, dan dikecualikan.
Ini menjadi problematik pula ketika perempuan dituliskan hanya berdasarkan rasa kemanusiaan, karena sebenarnya perempuan bukanlah boneka, namun sosok inspiratif yang pantas diberi porsi besar dalam kehidupan. Pembahasan historiografi bukan semata penokohan atau terjebak pada rezim, namun perlu halnya memunculkan perempuan yang berperan dalam suksesi suatu kuasa. Dalam pembahasan ini, akan diuraikan benang merah dari Kanonisasi Penulisan Sejarah milik Susan Legene.
Boneka Ratu Wilhelmina
Di tahun 1880 nampak pakaian kumal dikenakan seorang lelaki rakyat Banten, tanpa sandal, pun Indonesia pada masa itu tak kenal sandal, setahunya hanya selop yang dipakai para bangsawan. Ketika ditanya “Apakah kau mengenal Wilhelmina”, dia hanya mengangguk dan cerita sedikit itu ratu si Penjajah Kami, Nederland. Kiranya sepotong pembicaraan ini dilakukan oleh Jean Marais seorang pelukis Belanda yang masa itu dikirim sebagai tentara. Representasi Ratu Wilhelmina masa penjajahan Belanda di Hindia-Belanda digambarkan sebagai Ratu paling berkuasa.
Apalagi di tanah jajahan, rakyat harus memainkan mukanya agar terlihat senang saat memperingati hari Jadi Belanda. Menurut Badan Arsip Jakarta (2010), rasa senang tidaknya rakyat, senyum mereka, menjadi tolak ukur bagi keramainan perayaan hari Jadi Belanda. Hal ini menjadi kajian kritis karena apa yang saya pikirkan disini adalah sejauh mana usaha para penjajah Belanda untuk memaksa rakyat melakukan perayaan untuk Ratu Wilhelmina?