Di kelas, mereka tidak lagi berbicara soal gosip, kehidupannya, atau gurauan lain, tetapi mulai berbicara soal pelajaran terutama pelajaran sejarah
Sejarah yang tak pernah lekang oleh waktu, senantiasa menjadi diorama manusia dari masa ke masa. Soekarno selalu berkata “Jas Merah”, jangan sekali-sekali melupakan sejarah, Abraham Lincoln berpesan kepada bangsanya, “suatu negara yang tak punya sejarah, sama halnya tak punya identitas”. Mao Tse Dong, seorang kaisar Cina yang berhasil membangun negara ini bukan hanya menjadi kerajaan besar di masa lalu tapi juga raksasa ekonomi hingga hari ini memiliki motto, “remembering history, exploring future” (Filosofi Tiongkok Kuno, 2015). Bermakna bahwa sejarah adalah hal penting yang tidak bisa disepelekan, bahkan jika hilang, keberadaan suatu negara menjadi taruhannya. Hal ini tentu menjadi garis merah bagi para stakeholder untuk membelajarkan sejarah kepada generasi muda melalui pendidikan yang merupakan akar kemajuan bangsa.
Pembelajaran sejarah atau history of teaching menurut Koehar (2008), sangat membutuhkan tenaga profesionalitas yang mampu menghidupkan sejarah didalam kelas melalui berbagai pendekatan dan strategi pembelajaran.Namun sayangnya, kita menghadapi problematika yang cukup mengecewakan. Karena berdasarkan realitas di Indonesia pada umumnya, sejarah hanyalah pelajaran yang menurut pada terdidik “bikin mengantuk, pelajaran membosankan, geje, disuruh ngerjain lks terus, atau mengapa pangeran Diponegoro mati?takdir pak, bu!”.Kira- kira itulah yang sering terjadi ketika pembelajaran sejarah berlangsung. Padahal, tanpa sejarah kehidupan modern tidak pernah terbentuk.
Komplektisitas permasalahan dalam pengajaran sejarah tak lepas dari faktor pendidik dan terdidik, dimana keduanya harus memiliki hasrat yang sama untuk mengkomunikasikan proses pembelajaran. Karena manusia selalu berpotensi menjadi sempurna, dan pembelajaran adalah nalurinya. Jika pembelajaran sejarah dikatakan cukup membuat si terdidik tertidur pulas dalam waktu lima menit maka strategi mengajarlah yang harus disempurnakan. Metode debat dapat menjadi referensi. Hal ini pernah penulis terapkan dalam pengajaran sejarah.
Saat itu faktor-faktor pendukung pembelajaran seperti kondisi kelas, dan siswa anggaplah berada di kondisi bobrok karena karakter kelas yang memang unik. Siswa kurang wajin, dan cenderung lama untuk berpikir. Pelajaran sejarah sebagaimana biasanya di kelas penulis, tidak boleh ada satupun siswa yang mengantuk sewaktu pelajaran alias ‘molor’ karena akan dikenai sanksi seperti menjawab pertanyaan sulit agar siswa cenderung fokus. Juga sangat diwajibkan bagi siswa untuk bertanya segala hal yang tidak dimengerti saat pembelajaran berlangsung, dan diadakan tanya jawab sewaktu kondisi ‘mereka’ benar-benar mengantuk tidak tertolong. Untuk waktu dua minggu, penulis menggunakan strategi indirect learning (pembelajaran tidak langsung), serta model interaksi sosial, dan metode debat agar tujuan pembelajaran tercapai.
Minggu pertama, kelas yang diprediksi ‘kurang’ ini melakukan presentasi dan diskusi secara berkelompok, dan hasilnya sesuai dengan prediksi. Penulis kemudian mencoba memotivasi peserta didik bahwa kelas tersebut belum terlalu ‘aktif’ dalam melakukan diskusi karena antusias yang masih sangat kurang, padahal “Anda memiliki potensi besar untuk melakukan yang terbaik”. Percobaan pertama yang gagal di satu kelas, disusul satu kelas yang lain dengan metode sama. Bisa dibayangkan hal ini menuntut penulis untuk berpikir ulang tentang pendekatan, dan tingkah laku yang bagaimana yang harus dipakai siswa agar diskusi berjalan menarik. Karena materi sejarah memang harus membaca dan membaca belum membudaya di kalangan siswa.
Minggu kedua, penulis mencoba memberi pengarahan pada kelas yang sama agar mereka cermati baik-baik materi yang akan disampaikan oleh kelompok lainnya, tanyakan yang sekiranya tidak paham, sanggah jika bertentangan dengan kebenaran, dan tambahkan jika kelompok di depan tidak bisa menjawab. Satu lagi, baca materi yang ada! Dengan sedikit wejangan, perlahan siswa yang terlibat dalam diskusi hanya satu dua orang saat memberikan pertanyaan pada sesi tanya jawab. Kemudian bertambah menjadi tiga empat lalu hampir semua kelas. Semula suasana diskusi hening, satu orang kemudian bertanya secara kritis kepada kelompok penyaji, yang membuat tepuk tangan dari satu kelas. Kemudian mulai muncul si penyanggah dan si penambah, hingga semakin banyak siswa yang terlibat didalam kelas sehingga diskusi tersebut menjadi sangat interaktif. Di kelas, mereka tidak lagi berbicara soal gosip, kehidupannya, atau gurauan lain, tetapi mulai berbicara soal pelajaran terutama pelajaran sejarah karena rasa curiousity. Suatu pembelajaran dapat dikatakan mendekati sempurna apabila siswa aktif bukan hanya karena nilai, tetapi karena keingintahuan yang besar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H