Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kartini, Seorang Boneka Belanda?

1 Oktober 2016   07:54 Diperbarui: 1 Oktober 2016   09:36 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kartini: Boneka Belanda?

Peringatan hari Kartini setiap tahunnya, menjadi penghormatan rakyat Indonesia terhadap tokoh perempuan. Perjuangan emansipasi perempuannya sudah terkenal sampai ke negeri Belanda. Siapa yang tak tahu buku “Habis Gelap Terbitlah Terang?”, siapa yang tahu tulisan “Als Ik Nederlander Was” yang diciptakan Suwardi Suryaningrat? Mengapa hanya majalah “De Locomotif” yang mau menerbitkan tulisan ini? itu pun juga orangnya harus dipenjara. Mungkin inilah keistimewaan Kartini. Lahir dari keluarga bangsawan, anak seorang patih Rembang. 

Perjuangannya dikenal tidak memperlihatkan radikalisme terhadap Belanda bahkan dapat dikatakan sangat kooperatif. Jika kita cermati perjuangan tokoh-tokoh bangsa sebelum Kartini sebut saja Cut Nya Dien, Martatiahahu, dan lainnya, mereka semua bernasib naas karena dianggap pemberontak penjajah. Padahal mereka juga memberikan pemikiran sumbangsih bagi rakyat. Apalagi era setelah Kartini, organisasi se kooperatif appaun, akan selalu bertentangan dengan Belanda. 

Hidup di akhir abad-19, tidak membuat Kartini mudah dalam hal berjuang menginspirasikan pikirannya, karena perpolitikan Hindia-Belanda yang ketat saat itu. Semua bangsawan pribumi harus tunduk pada Belanda. Meski Kartini selalu bersurat-suratan dengan sahabatnya di Belanda, memangnya orang Belanda mana yang berani dan mau menghubungkan keduanya jika itu pada akhirnya akan merobohkan kekuasaan Belanda di Indonesia.

Rushdy (2016) seorang Doktor Sosiologi lulusna Universitas Harvard, menceritakan pertemuan Kartini dengan Nyonya Rosa Manuela Abendanon-Mandri, istri Jacques Henrij Abendanon, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia tak terjadi secara kebetulan. J.H. Abendanon mengunjungi kediaman keluarga Raden Mas Ario Sosroningrat di Jepara atas rekomendasi dari Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda. 

Sebenarnya pada saat itu, sekitar tahun 1900, ujar Rushdy, ada rencana Nyonya Abendanon akan menjadi petinggi di Belanda. Ditambah adanya niat untuk mengangkat Politik Etis secara menyeluruh. Karena itulah JH Abendanon mencari figur yang paling tepat untuk menonjolkan pentingnya Politik Etis di tanah jajahan. Dari pihak wanita, dipilihlah RA Kartini. Pemilihan ini sendiri, didasari beberapa alasan. Pertama dan paling kuat, dalam diri Kartini tidak ada motivasi melawan kolonialisme Belanda. Kedua, Kartini berjuang hanya sebatas kemajuan wanita agar tidak melulu menjadi konco wingking. Ketiga, Kartini merupakan bagian dari kepriyayian. Dalam perspektif Belanda, priyayi adalah jalan tengah sekaligus tempat bergantung. Jika mereka ingin menerapkan sesuatu di tanah jajahan, Pemerintah Hindia Belanda akan mendekati para priyayi terlebih dahulu. 

Sepak terjang Kartini dianggap tidak berbahaya karena Kartini hanya membuat sekolah di belakang pendopo rumahnya serta melakukan diskusi kepada para wanita lainnya. Dengan alasan itulah, kemudian proyek Kartini dijalankan. Tujuh tahun setelah kematiannya, terbitlah Door Duisternis Tot Licht(Habis Gelap Terbitlah Terang), kumpulan surat-surat Kartini yang disunting oleh Abendanon. Sekolah-sekolah Kartini di seluruh Indonesia juga didirikan. Harsja W Bachtiar mencatat, dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Boy-Boissevain mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan sebuah sekolah di Jawa Tengah. Pada 27 Juni 1913, didirikan Komite Kartini Fonds yang diketuai C Th Van Deventer. Usaha pengumpulan dana ini lebih memperkenalkan nama Kartini serta ide-idenya kepada orang Belanda.

 Jangka panjangnya adalah, sebagai modal awal pembentukan Politik Ethiek. Untuk memperlancar usaha ini maka Belanda berusaha membentuk tokoh agar inlander percaya bahwa Belanda memiliki itikat baik bagi kemajuan pribumi. Kenyataannya, Ethiek hanya dibentuk untuk brand image Belanda agar baik di depan kemaharajaan Kolonialis Eropa. Di masa depan, penokohan semacam ini digunakan sebagai simbol utnuk mengatur pola pikir bangsa Indonesia agar terpecah belah. Masih benarkah seorang Kartini bukanlah boneka Belanda?

Sumber :

  • Legene S, Walldijk. 2007. Mission Interupted: Gender History and The Colonial Canon. Pallgrave Press: NYC
  • Majalah National Geographic, 2012. Mnemonic and Emantipation of Women. New York: N.G. Press
  • Adam, A. 2009. Membongkar Manipulasi Sejarah: Kontroversi Pelaku dan Perisiwa. Jakarta: Kompas
  • Wollstonecraft’s, M. 2013. Vindication of The Rights of Women. Indiana: Hackett Publishing 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun