Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

“Kolonialisme Historiografi dan Perempuan Indonesia”

28 September 2016   22:29 Diperbarui: 29 September 2016   00:12 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara psikologis, derita batin rakyat jajahan terutama kaum inlander bukan para tuan tanah pribumi akan sangat terasa. Pun ki Hadjar Dewantara juga pernah mengkritisi masalah penokohan berlebihan terhadap Ratu Wilhelmina ini terhadap Belanda. Dalam tulisannya Als Ik Nederlander Was yang diterbitkan melalui koran De Locomotif (1913), beliau mengkritik keras bahwa Belanda tak layak mempergunakan uang jajahan untuk berpesta pora dan mabuk-mabukan dengan alasan sedang memperingati hari jadi negaranya. “Seandainya aku jadi orang Belanda, aku harus seperti ini?”

Baiklah, kita kembali pada Ratu Wihelmina. Dari biografinya, dia adalah puteri dari Orange Nassau yang dibesarkan untuk menjadi ratu di usia yang masih dini. Menurut Arkansas Castle (www.queenwilhelmina.com), di masa awal jabatannya, dia harus menerima titah dari ibunda untuk mengelola tanah jajahan di Hindia Belanda. Representasi yang dibuat kerajaan Belanda tentang dirinya di tanah jajahan dia adalah sosok Ratu, harus dihormati seperti Raja-Raja Hindu – Budha terdahulu. Rakyat harus patuh terhadap ratunya, satu-satunya ratu yang boleh dipatuhi. Tak jarang pula bawahan-bawahan kerajaan selalu membawa nama ratunya ketika bertugas menjajah, entah titah asli atau tidak.

 Tidak cukup jika hanya membangun ‘brand image’, Ratu Wilhelmina harus melengkapi simbolisasi dirinya terhadap rakyat. Dicatat dalam artikel Susan Legene, dibuatlah boneka beserta kostum-kostumnya untuk menjelaskan bahwa harusnya kaum perempuan itu bermain boneka, bukannya malah bekerja di persawahan ataupun ikut andil dalam ranah laki-laki. Selain penggambaran boneka meski itu terlihat naif, namun ‘the meaning’ dibalik itu adalah Ratu Wilhelmina menginginkan perempuan-perempuan di tanah jajahan harus sesuai dengan peran perempuan seperti umumnya di negara Barat Klasik yakni hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan domestik. 

Diantaranya mencuci, memasak, merawat anak, dan tidak perlu membantu pekerjaan laki-laki. Gambaran ini sebenarnya tidak utuh melainkan hanya imajinasi yang dibuat kolonial agar pendidikan dan pengetahuan di negara jajahan tidak berkembang. Ini adalah kontrol Belanda untuk membuat mindset rakyat Indonesia bahwa terjajah adalah nasib mereka. Dalam konteks Kartini pun, sebenarnya tidak terlalu umum menggunakan istilah feminisme di Indonesia, Indonesia baik-baik saja tanpa itu, sebelum Belanda mencanangkan Politik Etis.

Penjara Historiografi Belanda

Apa yang saya sebut sebagai Penjara Historiografi adalah penulisan sejarah Indonesia yang masih tak lepas dari mindset dan pengaturan Belanda. Artikel Suzan Legene ini sangat menginspirasi, bahwasannya bukan hanya peristiwa-peristiwa epik saja yang dapat ditulis dari sejarah melainkan sisi-sisi tergelap partikular pun semacam harus mendapat tempat. Bagaimana tidak penjara, jika pa yang dibentuk ‘self-image’ dari Ratu Wilhelmina itu pun kemudian mempengaruhi pemikiran perempuan-perempuan muda saat itu yang biasanya turut membantu pekerjaan pribumi di sawah/ladang kecuali perintah untuk kerja paksa, harus menemukan pembedaan sosial antara pekerjaan laki-laki dan perempuan. Mereka berpikir, perempuan harus di ranah domestik bukan publik. 

Padahal apa yang mereka lihat setiap perayaan Hari Jadi Belanda yang saat itu dirayakan di salah satu kota di ujung Jawa Timur, Jember tahun 1830 adalah perempuan yang tampil di muka publik. Ini satu hal yang tidak terpikirkan dalam penulisan sejarah mainstream. Penulisan Sejarah orang Indonesia sendiri pun baru ditulis di awal-awal pencanangan politik Ethiek, itu yang menurut Belanda sesuai dengan pendidikan Barat. Ini artinya, masa sebelum itu bahkan sesudahnya, rakyat Indonesia harus bergantung pada penulisan Belanda yang dipengaruhi oleh pergantian kekuasaan politik di luar negeri. 

Peran Belanda yang mengikuti perang dunia I dan II memiliki dampak besar pada perpolitikan tanah jajahan, pun Indonesia harus mengikutinya mengingat penulisan sejarah nantinya hanya berfokus pada kejayaan kerajaan Belanda, kemaharajaan VOC, kemenangan Belanda dalam perang dunia, dan kekosongan keukuasaan yang terjadi masa penjajahan Jepang karena Ratu Wilhelmina harus mengungsi ke Inggris karena serangan Jepang. Ini tidak menjadikan penulisan sejarah Indonesia Independen, melainkan masih bergentung pada penjara kolonial sentris. Di era kekinian, besar harapan agar penulisan sejarah Indonesia lebih spesifik dan benar-benar mengintrepretasikan sejarah bangsa.

Sumber :

  • Legene S, Walldijk. 2007. Mission Interupted: Gender History and The Colonial Canon. Pallgrave Press: NYC
  • http://www.queenwilhelmina.com/ , dikunjungi pada 27 Spetember 2016.
  • Drake, E. 2012. Gayatri Rajapatni : Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit.Ombak: Yogyakarta.
  • Majalah “Marie Claire”, 2012, New York City
  • Pramayoza, D. 2013. Dramaturgi Sandiwara: Potret Teater Populer Dalam Masyarakat Poskolonial. Ombak: Yogyakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun