Mohon tunggu...
Aryni Ayu
Aryni Ayu Mohon Tunggu... Penulis - Asisten Peneliti

Cleopatra

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Dekolonisasi Historiografi Indonesia “Historiografi Tirani”

8 September 2016   07:17 Diperbarui: 8 September 2016   07:37 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bersyukurlah suatu bangsa yang tidak punya sejarah. Begitulah adigum yang terdengar di awal abad 19. Ketika itu pemerintahan Eropa berganti-ganti. Sama halnya dengan periodisasi umum penulisan sejarah. Mereka terbagi sejarahnya berdasar rezim yang sedang berkuasa. Dari masa kejayaan Yunani, sebagai akar peradaban Barat, terhapusnya masa jaya dalam The Dark Ages, terbit kejayaan kembali dalam Renaissance (reborn menurut perkuliahan Prof. Swarozky, 1 September 2016 di Universitas Gadjah Mada), hingga Eropa awal modernisasi. Dalam post modernis, semua-semua serba dikritisasi, dibredeli, dan dipertanyakan segala kebenarannya. Hal ini tidak bertentangan dengan epistemologis filsafat, the truth harus selalu dicari. Benar rupanya, bahkan para sarjana mulai mengkritisi adanya nation state. Apa yang diunggulkan Perancis dalam La france? La state? mulai dipertanyakan banyak negara. James Scoot “Seeing Like a State (1998)” dalam bukunya setebal 461 halaman, menerangkan betapa konsep negara sudah gagal total. Perspektif Scoot melihat desain kota modern sebagai percobaan dan kritikan secara bersamaan. Begitu pula cerita-serita sejarah yang berkembang, ditulis berdasarkan kerangka negara. Padahal, Henk (2004) menuliskan pendapat Scoot bahwa lebih penting mengkaji sejarah lewat indigenous people terkoneksi dengan local genius dan sejarah lokal. Apapun itu, lebih tepat menuliskannnya dalam kerangka sebenar-benarnya seperti sejarah masyarakat di kehidupan sehari-hari (daily life history). Alih-alih menuliskan sejarah, sejarawan-sejarawan ternama pada masanya seperti Braudel (1981) mengkritisi betapa kisah-kisah masa lalu di negaranya hanyalah taktik pemerintah untuk berkuasa, itu kosong. Adapun tulisan-tulisannya seperti Jilid I: The Strucutre of Everyday Life (1981); Jilid II: The Wheels of Commerce (1982); Jilid III: The Perspective of the World (1984). Ketiga buku tersebut ditambah buku-buku karangan lainnya bukan hanya menggambarkan tentang kehidupan Raja Spanyol Philip II atau kawasan Laut Tengah itu sendiri, atau tentang kejatuhan pemerintahan, melainkan pada upayanya untuk menganalisis perubahan sosial dan irama waktu dalam sejarah. Ini memberikan cukup kerangka pemikiran bagi sejarawan lain, Denny’s Lombard yang mengkaji silang kebudayaan, dan ilmuwan awal, Annales menjadi inspirasi bagi penulisan sejarah struktural. Apapun itu, konstruksi penulisan sejarah berkonstruk pada penjajah, yang pada periode selanjutnya dikonstruk oleh negara. bisa saja kita sebut dari Nusantara (Gadjah Mada), beralih ke Hindia Belanda (kolonial), berubah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), ujungnya berganti NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya pikir ini konsep yang bagus, gagasan hebat dari upaya para founding fathers ‘mempersatukan’ Indonesia perspektif territorial. Sayangnya, hanya berganti struktur formal pemerintahan dan nama, bukan kultur. Apa yang dituliskan Henk Schulte (2004) tentang Dekolonisasi Indonesia Historiografi banyak benarnya, mengingat penulisan sejarah Indonesia sampai hari ini belum menemukan bentuknya. Polanya masih sama “state narratif”. Padahal, sejarawan Perancis awal abad 19, menuliskan sejarah Perancis 1848-1945 dua Jilid (1973, 1977), dan yang lebih baru The Franch (1982). Secara blak-blakan dia menghapuskan nasionalitas (kebangsaan) dalam penulisan sejarah, baik sebagai realitas maupun sebagai unit kajian yang berguna (meaningful) dalam metodologi sejarah. Bukan hanya unsur “bangsa” yang dibuangnya dari penulisan sejarah, melainkan juga kategori-kategori lain, yang biasa dikenal dalam konvensi penulisan sejarah seperti kronologi, kausalitas, kolektivitas, termasuk kelas-kelas sosial, masyarakat dan nasionalitas.

Schult, menuliskan artikelnya sedemikian ‘gamblang’ yang berarti merunut apa-apa yang sudah diuraikan sejarah nasional dari tiap rezim. Dia mengkriti tidak kompleksnya sejarah, sejarah tanpa manusia, dan manusia tanpa sejarah. Pemimpin selalu menempatkan dirinya sebagai pusat yang menggerakan jalannya sejarah (the great men theory). Sejarah-sejarah-sejarah hasil tradisi rakyat dianggap tidak terlalu penting. Sejarah nasional, apa yang dianggap nasional hanyalah berkepentingan dengan pemerintahan, kepahlawanan. Selebihnya? Itu bukan sejarah, tetapi mitos.  Dari penulisan sejarah Indonesia sebelum Kemerdekaan selalu bertemakan penderitaan, jajahan, dan kemiskinan. Setelah kemerdekaan, bercerita tentang heroik kepahlawanan yang digambarkan Schult saat pemerintahan Soeharto. Rezim abadi dan tidak boleh dilawan. Sejarah menglair deras begitu saja sampai di tingkat sekolah. Guru tidak pernah tahu the truth mengajarkan Sejarah Indonesia. Ada hal-hal sensitif yang harus diwaspadai dalam pengajaran, semisal peristiwa gerakan 30 September, dan materi lainnya harus paten diajarkan berdasarkan struktur Orde Baru. Seperti: perkembangan teknologi (green revolution), pembangunan kota bombatis berujung pada hutang, dan impian sang pemimpin bahwa sejarah telah selesai, hari ini. tidak saja terjadi di Indonesia, bahkan penulisan sejarah nasional sama sakitnya selama terjadi peperangan Dunia, tak lepas dari kepentingan ideologis. Di masa reformasi, sejarah nasional Indonesia masih pada pendapat Schult, hanya tertarik pada ‘tragedi’, ‘kasus’ dan berbau peristiwa bombastis. Penulisan sejarah Indonesia harus lebih mengerucut pada kehidupan asli masyarakat Indonesia.

Benang merahnya, pembebasan sejarah sosial dari sejarah politik adalah langkah pertama dalam pembebasan dari tirani sejarah nasional, sebab sejarah sosial, bagaimana pun, masih menajdi budak tirani-tirani opresif lainnya seperti “tirani waktu” (sebagai mana tercermin dalam pendekatan evolusioner atau kronologis), tirani kelas sosial dan tirani kausalitas. Bahkan pendekatan baru yang dibanggakan dewasa ini seperti sejarah komparatif dan sejarah interdisipliner, menurutnya, sebetulnya memperkukuh tirani lama karena sejarah komparatif masih terus menggunakan kategori nation-state dan sejarah interdisipliner semakin menghilangkan otonomi sejarah karena mengabdikan dirinya pada ilmu-ilmu sosial (sosiologi, antropologi, ekonomi, geografi dan cabang ilmu sosial lainnya).  Untuk benar-benar bisa membebaskan dirinya dari tirani sejarah nasional dan sejenisnya, menurut Zeldin (1848), maka sejarawan haruslah mengadopsi apa yang disebutnya pointillisme, yaitu mengurai fenomena sejarah ke dalam unit-unit yang paling kecil, paling elementer  yaitu individu para aktor sejarah, lalu menghubungkan unit-unit tersebut dengan cara “merentangkannya” (juxtapositions) sedemikain rupa dibandingkan dengan membuat penjelasan sebab-sebab (causes). Selebihnya biar pembaca yang berfikir sendiri untuk menghubungkan mata-rantai peristiwa yang dianggap cocok dan logis menurut penalaran mereka sendiri. Hanya dengan cara demikianlah pembaca bisa membebaskan dirinya dari tirani negara. Kini sejarawan Indonesia menghadapi tugas dan tanggung jawab yang jauh lebih berat dari masa yang sudah-sudah. Belum pernah terjadi selama ini, kecuali dalam Era reformasi, ketika kontroversi sejarah ditelanjangi dan mengalami bongkar-pasang oleh tangan-tangan yang bukan ahlinya. Juga belum pernah terjadi sebelumnya, kecuali sejak pergantian abad ini, ketika kita hidup dalam suatu era timbunan pelbagai macam bentuk informasi, suatu era di mana garis pembatas yang semakin kabur (‘an age of blurred lines’) dan ‘intellectual frontiers’, suatu era yang sangat menarik tetapi sekaligus membingungkan” (Magnis Suseno, 2007). Dalam situasi krisis dan tak menentu dewasa ini, hanya sedikit cara untuk menghadapi benturan-benturan nilai, termasuk nasionalisme, yang tidak hanya berpengaruh secara langsung dan tak langsung terhadap kompleksitas realitas kontemporer, tetapi juga terhadap konstruksi kebangsaan kita hari ini dan di masa lalu. Maka, mari kita bawa penulisan sejarah Indonesia kembali pada sejarahnya.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun