Antara cerita dan sejarah, keahlian menuturkan cerita juga merupakan sebuah tema sejarah penting juga menarik, seorang sejarawan tidak bisa berpaling dari ini
Pernahkah kita mendengar mengenai Babad dan Pararaton? Atau cerita-cerita nenek moyang mengenai keajaiban, kekuatan supranatural, kepercayaan totenisme, keris yang dipuja. Apakah bisa menyebutnya sebagai bagian dari sejarah? Para sarjana Barat memiliki kontradiksi tentang hal ini. Pandangan Dr. Rassers dalam bukunya “Panji The Culture Hero”: A Structural Study of Religion in Java, membantu Anthony mengemukakan pandangan secara gamblang mengenai peran ‘lakon’ dalam sentrifugal peranan elitis Jawa. Hal ini dapat dilihat ketika Anthony menyebutkan Raja Kida Hindi, yang menikahkan puterinya untuk perluasan wilayah hingga ke Thailand dan Peninsula. Cucunya, kelak lahir diatas Gunung Seguntang Sumatera Selatan yang membantu pembentukan Kerajaan Melayu menggantikan Kerajaan Sriwijaya. Secara teoritis, Sejarah Melayu pertama kali terbit tahun 1400, bercerita mengenai pernikahan Raja Hindi, kemasyuran kerajaan, dan pernikahan menjadi katalis bagi perluasan kekuasaan. Terbukti, perkembangan kerajaan ini secara kontinuitas mempengaruhi kerajaan-kerajaan besar di Jawa berikutnya, mencakup Mataram dan Majapahit. Menurut Britannica Encyclopedia (2007), sejarah Melayu termasuk yang disematkan oleh Anthony adalah bagian koleksi cerita sejarah, bukan sejarah secara metodologis.
Jika kemudian terjadi kebingungan yang muncul diawal paragraf tentang dapatkah nilai-nilai sejarah diambil dari hanya sekedar cerita-cerita tentang keajaiban, keturunan, dan kekuasaan? Atau dapatkah cerita semi historis ini membantu keterbukaan informasi di masa depan mengingat struktur politik yang ada masih serba elitis dan mornarkhi? Maka, pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Anthony dalam artikelnya ini dapat dijawab jika kita mampu melihat tendensi perbedaan antara fakta dan fiksi, antara fantasi dari kenyataan, dan jalan tengahnya adalah menjadikan fiksi sebagai sumber pencari kebenaran. Melalui teori Expresivisme (Anthony dalam Ismaili Studies, 2010), sebuah fiksi, semi histori, dapat dilihat karakter kepengarangan teks-teks Melayu ataupun Babad dan Pararaton cenderung istana-sentris yang penceritaannya berpusat pada watak-watak raja, kaum brahma, sangat bergantung pada imajinasi si pembuat cerita. Penelitian Natalie Davis dalam Peter Burke (2001: 188) membuktikan bahwa keahlian menuturkan cerita juga merupakan sebuah tema sejarah penting juga menarik, seorang sejarawan tidak bisa berpaling dari ini.
Di paragraf berikutnya muncul tokoh-tokoh Jawa seperti Ken Arok-Dedes yang telah lama pula dikupas oleh penulis lain seperti Pramoedya Ananta Toer, telah dibahas secara menyeluruh dalam kitab Pararaton dan Babad. Karakter penokohan Ken Arok yang dibesarkan oleh seorang pencuri, penjahat, perampok dalam artikel Anthony, namun tumbuh sebagai seorang penguasa besar berkarakter cerdas, manipulatif, keras, analoginya tidak lepas dari sifat pewayangan Jawa yang memunculkan banyak karakter kontradiktif antara sifat baik dan jahat diantaranya seperti Pandawa dan kurawa (Anderson, 1996). Munculnya kepercayaan mengenai kehidupan sesudah mati kemudian hidup kembali dalam lingkar kehidupan baru (reinkarnasi), samsara di tradisi Hindu, tergambar melalui pengorbanan Ken Arok kepada Sang Hyang Yamadipati yang merupakan Dewa Pencabut Nyawa dalam tradisi Jawa. Pengorbanan ini sejatinya untuk memperoleh kehidupan serta kekuasaan yang lebih baik di masa mendatang. Terkait pula dengan kisah “Bubuksah” tentang Gagang Aking dan Bubuksah, mengingatkan pembaca pada pengorbanan seorang manusia terhadap pencipta-Nya. Pada perkembangannya, Ken Arok berhasil menggapai tahta tanah Tumapel-Kadiri meski dengan cara-cara pembunuhan dan penipuan khas intrik-intrik politik masa lalu. Penulisan historiografi semacam ini syarat tradisionalitas yang menggunakan mitos untuk melindungi dan melestarikan nilai-nilai suatu kisah bagi masa depan generasinya. Dalam Pararaton hasil penelitian Brandes yang menjadi rujukan Anthony, disebutkan mengenai perjalanan karir Arok muda yang awalnya adalah pencuri besar, licin, namun rupa-rupanya jatuh cinta pada Ken Dedes, sang permaisuri Tunggul Ametung. Untuk merebut kekuasaan yang begitu besar, Ken Arok memesan keris istimewa pada Mpu Gandring. Pada hari sebelum pembunuhan, keris tersebut dibawakannya pada Kebo Ijo untuk dipamerkan agar terbentuk opini bahwa sang pemilik keris itu tak lain Kebo Ijo. Sehingga tepat pada hari pembunuhan, bukan Ken Arok yang terkena hukumannya tetapi Kebo Ijo. Faktor eksternal juga mempengaruhi suasana kerajaan yakni terjadi pertentangan antara kaum brahma dengan Kertajaya yang ini lagi-lagi dimanfaatkan oleh Ken Arok untuk memperluas tahtanya. Para sarjana Barat memahami hal ini sebagai penulisan sejarah tradisional yang tercampur dengan magis. Sulit membedakan antara fakta dengan imajinasi. Untuk meluruskan hal ini, setidaknya kita dapat mempergunakan berbagai perspektif untuk mencoba menjawab kesulitan tersebut.
Dari spektrum politik, cara yang digunakan Ken Arok sebelum menjadi raja lebih mementingkan jalan spiritual “wahyu” ketimbang dari Dewata Agung lewat seorang sakti bernama Lohgawe yang mengambilnya sebagai anak. Atau seperti yang dituturkan Pararaton bahwa itu merupakan keputusan para dewa “wruhanto kabeh watek dewata, hana si yugamami, manusia wijiling wong Pangkur, iku angukuhi bhumi Jawa,” begitu ujar Sang Hyang Guru yang menunjuk Ken Arok sebagai wong Pangkur. Namun setelah berkuasa, Ken Arok cenderung menggunakan intrik-intrik politik penguatan yang memperlemah musuh dengan bantuan Ken Dedes. Berdasarkan cerita ini, penulisan sejarah dalam kacamata Anthony, dirinya lebih menempatkan kekuasaan raja tersebut pada teori orang Jawa mengenai Makrokosmos, Mikrokosmos, dan Metakosmos. Teori yang juga dapat dipakai untuk membangun ide dari tulisan ini adalah teori “dewa-raja” atau Manunggaling Kawula Gusti, sering dipakai memahami sistem pemerintahan kerajaan islam. Makrokosmos sebagai alam dan manusia sebagai mikro (kecil atau bagian) dari makrosmos, kemudian saling terhubung dengan metakosmos. Ketiganya saling berkolerasi dan berhubungan. Jika kita ingin menuliskannya sebagai historiografi tradisional dalam tataran ide baru, maka dapat digunakan tema besar sosiologi sastra, serta metode sosiologi sastra yang sebagian menggambarkan kebenaran fakta dan imajinasi sang penulis. Pandangan selanjutnya muncul dari C.C Berg, seperti yang digambarkan Anthony tentang hubungan kosmologis Jawa. Menurut C.C Berg, seorang sejarawan lulusan Universitas Leiden mengemukakan bahawa cerita Ken Arok dan Ken Dedes dalam kerajaan-kerajaan Agraris di Jawa selalu mendasarkan diri pada pandangan hidup masyarakat Jawa yang bersifat kosmis dan magis. Kajian dari sudut kemampuan berempati dan simpati, maka penyatuan kerajaan menjadi Singashari ini pada perkembangannya mengharuskan suksesi pergantian legitimasi politik dalam catur perpolitikan tradisional.
Benang merahnya, tulisan Anthony mencoba membandingkan antara Kitab Pararaton yang telah disebut diatas mewakili bentuk histriografi Jawa masa Singasari-Majapahit (1222-1451), dan Babad Tanah Jawi merupakan cerita bagian pula dari historiografi Jawa mengenai hubungan silsilah Senapati. Lagi-lagi, konsepsi semacam ini tidak dapat lepas dari apa yang disebut “manunggaling kawula gusti”, konsep “dewa-raja” yang menghubungkan kelahiran mereka (raja-raja) dengan sifat keilahian yang melegitimasi kosmologis rakyatnya dalam sistem pemerintahan kerajaan. Uniknya, pada babad tanah Jawa terdapat sinkretisasi antara ajaran Islam dan Hindu-Budha. Sosok Ken Arok sebelumnya digambarkan tidak memiliki ikatan trah apapun dengan penguasa sebelumnya, sedangkan senapati merupakan keturunan dari kerajaan Majapahit. Munculnya mitos lain yang mewarnai struktur kerajaan Islam yang dipimpin Senapati yakni menurut Serat Kandha Karawitan Jawi, kepercayaan terhadap Nyi Roro Kidul masa Kerajaan Mataram Kuno muncul sebagai istri mistis raja-raja Mataram. Cerita kosmis dan magis ini secara futuristik masih dilestarikan oleh masyarakat sebagai bagian dari Local Genius. Bentuk penulisan sejarah Tradisional semacam ini tentu memiliki keharusan untuk ditulis dari berbagai perspektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H