Contohnya seorang istri yang membelanjakan uang bersama tidak menghargai suaminya sebagai manusia (membunuh subyek suami sebagai individu) atau seorang suami yang berselingkuh lepas keluar rumah tidak menghargai istrinya sebagai manusia (membunuh subyek istri sebagai individu).
Kedua contoh tersebut merupakan praktek relasi pada umumnya yang telah jatuh dalam perangkap bingkai dan kehilangan essensi menyintai. Baik menyintai yang mengandun resiprokalitas menghargai-appresiasi maupun cinta yang melampaui kepentingan ego sendiri.
Tidak heran kemudian begitu banyak relasi cinta yang jatuh dalam kompleksitas tidak memanusiakan manusia, karena membunuh subyek relasi. Â Bisa jadi kata menyintai digunakan terlalu dini, tanpa siap menjalani. Ya bila hanya rasa cinta, jangan masuk dalam relasi. Relasi cinta butuh saling menghargai. Memanusiakan manusia bukan semata obligasi.
Mengingat interkoneksi bahasa dan kultur cara hidup manusia. Betapa celaka leburan cinta dan menyintai dalam percakapan kita. Tapi bahasa sebagaimana budaya selalu bekerja diluar kesadaran kita. Jangan-jangan kompleksitas budaya praktek relasi di Indonesia semata karena regenerasi bahasa. Menghidupkan kultur yg tidak mengakui /membunuh subyek sebagai manusia.
Mungkin besok perlu ditanya lebih dahulu semua pernyataan cinta; apa kau punya rasa cinta padaku? Atau kau menyintaiku? Sebelum kita terjebak dalam konsekuensi yang tidak terpahami.
Yogyakarta.thinkingoutloudoflovewithoutloving.20161122
Thanks-to:
Emmitt M & Pollock J (1997) Language and learning: an introduction for teaching (2nded). Melbourne: Oxford University Press.
Sapir, Edward (1921), Language: An Introduction to the Study of Speech, Harcourt, Brace
Whorf, Benjamin (1956), Carroll, John B., ed., Language, Thought, and Reality: Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, MIT Press
*catatan ini terarsip juga dalam fb dan web personal.