Konon katanya, bahasa merepresentasikan cara pandang dunia, selain tentu struktur kognitif manusia. Kata kunci ‘cara pandang dunia’ mengindikasikan bahwa bahasa menjadi medium mengekspresikan ide (sekaligus membatasi ide yg ingin diekspresikan). Sebagai ekspresi ide, bahasa menentukan cara berpikir dan berperilaku.
Memahami perilaku manusia dalam kultur cara hidup tidak bisa tanpa memahami bahasanya. Titik. Dalam runtutan logika yang sama, lebih banyak bahasa yang dipahami berkorelasi dengan perluasan cara pandang hidup. Interkorelasi bahasa dengan cara hidup masyarakat tidak lagi diragukan. Pengembangan ilmu sosio-lingistuistik sudah demikian jauh sejak sudut hipotesis Sapir-Whorf (1956) melontarkan sudut pandang ini.
Bahasa dibentuk dan membentuk budaya atau cara interaksi warganya. Bahasa menentukan rangkai intertekstualitas konsep, logika, dan perilaku manusianya. Maka wajar dalam paparan Emmit dan Pollock (1997) bahwa orang yang hidup dalam lingkungan dan latar belakang kultur yang sama, akan memiliki cara pandang hidup yang berbeda bila menggunakan bahasa yang berbeda. Bagaimanapun, asumsi dominannya adalah bahasa merefleksikan kultur kehidupan masyarakatnya.
Dalam peggunaan bahasa ‘apa makna yang disampaikan’ dengan ‘bagaimana makna disampaikan’ adalah dua hal yang berbeda. Lalu langsung teringat pada McLuhan yang bisa banal dimaknai cara menyampaikan juga memiliki makna. Makna tidak selalu sejajar dengan pilihan kata-kata (setidaknya definisi atas kata tersebut); kata-kata memiliki makna berbeda kala disampaikan dengan cara berbeda; kata-kata sama sekali tak punya makna dibanding sebuah rangkaian peristiwa; struktur logika dan intertekstualitas konsep dapat berbeda meski dengan kata yang sama; belum lagi bila memasukan konteks sosio-kultural-historical di dalamnya. Bahasa merupakan hal yang rumit! Mungkin karena aku bukan seorang linguist.
Ambil contoh ungkapan “mbak kalau aku telpon ada yang marah gak?” maknanya ‘apakah anda sudah punya pacar?’. Alih-alih ada yang marah, aku yang mendengar merasa marah. Kalimat itu mengisyaratkan lelaki memiliki hak penuh atas perilaku dan ekspresi ‘perempuan’-nya, dan hilangnya perempuan sebagai subyek individual. Menghilangkan subyek adalah menyingung identitas, mengobyektifikasi, merendahkan, dan membunuh eksistensi manusia tersebut. Tetapi, yang tidak bisa dielakan, adalah kalimat itu representasi dari budaya dan segala nilai yg mengakar dalam interaksi masyarakat kita.
Kompleksitas relasi cinta tidak lepas dari bahasa dan implikasi nilai di dalamnya. Cinta dan relasi cinta adalah dua hal yang berbeda. Cinta merujuk pada rasa, subyektif, dan sepenuhnya personal. Relasi cinta (bahasa sosiologisnya relasi keintiman) merujuk pada praktek menjalankan hubungan untuk mengekspresikan cinta, yang bersifat interpersonal. Perbedaan sifat ini tampak jelas dengan penggunaan kata cinta (merujuk pada rasa) dan mencintai (merujuk pada kata kerja relasi). Cinta bersifat individual dan mencintai bersifat interpersonal. Maka, ‘Aku cinta kamu’ berbeda dengan ‘Aku mencintaimu’.
Namun dalam prakteknya dua kata ini melebur menyiptakan kompleksitas relasi yang akut. Kalimat: ‘bagaimana mungkin kamu melakukan hal tersebut bila kau menyintaiku?’ adalah kalimat umum yang mengindikasikan mis-intertekstualitas konsep dari praktek peleburan dua kata itu. Cinta disamakan dengan mencintai. Rasa disamakan dengan perilaku. Cinta dan mencintai jadi ambigu. Elusifnya mendorong kata cinta sebagai mencintai, padahal disanalah rangkaian sakit hati dimulai.
Mencintai seseorang dalam relasi cinta merupakan hal yang kompleks. Mencintai merupakan kata kerja ekspresi cinta yang bersifat interpersonal dan berdasar pada relasi antar-manusia. Hal ini menegaskan bahwa mencintai merupakan tindakan dalam menghargai satu sama lain dengan mengekspresikan cinta (sebuah rasa dalam filosofi kebaikan dan melampui kepentingan ego diri).
Dalam praktek sebuah relasi cinta maka mencintai mensyaratkan tiap rangkai perilaku/tindakan personal dengan mempertimbangkan sosok dicinta melebihi ego sendiri. Disinilah saling menghargai dan mengappresiasi dalam relasi cinta mewujud. Dua elemen yang berbeda tapi saling berkaitan dan menjadi inti sifat relasi interpersonal. Menghargai merujuk pada subyek sebagai individu/manusia dan apresiasi merujuk pada ekspresi menghargai.
Sebagai contoh sederhana, pasangan Anda suka sekali nonton tarian dan Anda membencinya. Tapi Anda melampaui ego Anda menemani menonton tarian bersama. Tindakan Anda merupakan wujud menghargai pasangan Anda sebagai seorang manusia yang merupakan subyek individual. Sedangkan pasangan Anda memberikan appresiasi tertentu (paling sederhana kata ‘terimakasih’) atas tindakan Anda menghargai dirinya.
Salah satu kompleksitas praktek relasi cinta terletak pada kata-kerja relasi yang hampir menjadi doxa tanpa makna. Menyiptakan bingkai peran, belum lagi bingkai seksualitas, dan serentetan ‘kewajiban’ dan berujung stereotipe tanpa lagi terpikirkan.