Dominasi bingkai dikotomis pula yang akhirnya menyiptakan reaksi masyarakat saat berhadapan dengan kekerasan dalam relasi dengan pernyataan penuh keheranan; 'kok bisa tega sih?', 'gak mungkin orang normal melakukan hal sekeji itu', dan seterusnya. Dominasi binari yang kita pahami menggiring stereotipe sakit jiwa dan mental disorder yang dilekatkan pada para pelaku (bukan berarti kondisi ini tidak ada). Namun beragam stereotipe dapat kian menguburkan, mengaburkan akar isu ‘proses sistematis menjaga kuasa dan kontrol’, dan mengembangkan persoalan kekerasan dalam relasi di tengah masyarakat. Ini menjadi lingkaran setan yang menyakitkan pasangan dalam relasi, dimana pelaku dirasionalisasi harus diisolasi dan tidak dapat memiliki solusi sekaligus yang mengalami harus pergi dari relasi tersebut dan menyelamatkan diri. Bagai kotak pandora yang menafikan satu elemen yang tersisa.
Sebagaimana kita pahami, bingkai binari kekerasan telah membentuk stereotipe atas distinksi antara yang 'normal' dan yang 'anomali'; seolah dapat dibedakan dalam pematuhan kriteria stereotipe yang disusun; seolah pelaku adalah spesies diluar bingkai normal sehari-hari. Kenyataannya salah satu masalah utama yang dihadapi oleh ‘korban’, teman-teman, keluarga dan juga pelaku adalah bagaimana tidak adanya distinksi antara yang normal dan anomali.
Faktanya adalah kita semua normal. Atau bisa dikatakan kita semua sakit. Terlebih saat kita memahami bahwa abuse adalah proses sistematis dari kuasa dan kontrol dalam relasi. Kedua pihak dalam relasi sangat mungkin untuk melakukan abuse pada pasangannya sekali waktu. Sebagai contoh roda kontrol (lihat gambar), satu dapat sedang melakukan abuse secara ekonomi (memaksa satu pasangan untuk membayar semua tagihan misalnya) dan satu melakuan abuse privilege (memaksa peran gender dalam relasi tersebut). Namun, abuse biasanya baru tersadari saat terjadi kekerasan fisik. Lalu bertanya; kenapa pelaku melakukan kekerasan dalam relasi? Apa yang membuat mereka tergerak? Apakah mereka menderita semacam penyakit? gangguan mental? Apakah yang 'normal' bisa tiba-tiba menjadi pelaku? dstnya.
 Bagi yang melakukan kekerasan, bisa jadi kebutuhan dominasi atau agresi sebagai hasil panjang reaksi lingkungan atas kebutuhan dasarnya yang menyiptakan individu yang kekurangan empati, sehingga mudah melihat segala hal sebagai obyek dan bukan manusia. Contoh perilaku ke prostitusi atau perselingkuhan rekreasional merupakan indikasi atas bergeraknya kekurangan empati (untuk informasi saja, lebih banyak populasi kekurangan empati daripada kelebihan empati). Hasil semua perilaku dan tindakan merupakan perjalanan panjang yang terbentuk dari kebutuhan diri dan dinamika aksi-reaksi internal-eksternal pribadi. Intinya tidak normal dan anomali bukanlah hitam-putih dan ada proses kompleks di dalamnya.
Persoalan yang menarik dari dinamika psikologi manusia adalah saat yang kita sebut sebagai ‘karakter’ atau ‘watak’ kerap merupakan hasil dari mekanisme diri yang telah menjadi refleks. Mekanisme dalam mengelola emosi dan kebutuhan dasar manusia berjalin erat dengan kondisi eksternal kita. Faktanya kita perlu mengakui bagaimana budaya kita tidak memberikan ruang pengelolaan emosi yang ‘sehat’. Berbicara pada tataran general, data menunjukan budaya timur memiliki tingkat kesehatan mental yang lebih rendah daripada budaya barat. Karakter adalah manifestasi kebutuhan rasa aman (aman tidak mengubah diri kita). Bukankah mengerikan untuk mencoba menjadi orang lain dan mempelajari arketipe perilaku yang berbeda? Namun sangking super-canggihnya dinamika otak manusia dalam membentuk diri, hingga mampu menyiptakan realitas baru (contoh skizofrenia) dalam mengatasi isu-isu yang dihadapi dalam keseharian.
Kompleksitas kekerasan dalam relasi keintiman memadukan kondisi psikologis, sejarah sosio-kultural subyektif dan konteks sosio-kultural tak dinyana merupakan kondisi nyata yang hadir demikian dekat dalam keseharian kita. Dalam kompleksitas ini sebenarnya menyisakan ruang sejauh mana kita menyadari interkoneksi abuse dan kekerasan. Atau sederhananya, sejauh mana masing-masing pasangan bersedia sadar psikologis, mengakui bahwa pada dasarnya semua relasi dan diri bersifat abusive, dan belajar bekerjasama dalam menyehatkan relasi.
Mungkin itu agaknya utopia dan pastinya kita akan kembali menemukan (atau mengalami) keheranan-keheranan kenapa kekerasan dalam relasi keintiman terus terjadi dengan beragam analisa kausistik sana sini.
Â
Â
Yogya, belakangteras. 20160914.