Mohon tunggu...
Ary Huruhara
Ary Huruhara Mohon Tunggu... -

ini lah hidup

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Riau akan menjadi padang mahsyar jika perambahan tidak dihentikan

20 November 2010   20:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:26 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hasil kajian Hasan Junus, seorang peneliti naskah Melayu di Riau mencatat paling kurang ada 3 kemungkinan asal nama Riau. Pertama troponomi Riau berasal dari penamaan orang portugis dengan kata Rio yang berarti sungai. Kedua mungkin berasal dari tokoh sinbad Al-bahar dalam kitab Alfu Laila Wa laila (seribu satu malam) yang menyebut Riahi,yang berarti air atau laut. Yang ke dua ini pernah di kemukakan oleh Oemar amin Husin. Seorang tokoh masyarakat dan pengarang Riau dalam salah satu pidatonya mengenai terbentuknya propinsi Riau. Yang ketiga berasal dari penuturan masyarakat setempat. Di angkat dari kata Rioh atau Riuh, yang berarti ramai,Hiruk pikuk orang bekerja. Nama Riau yang berasal dari penuturan orang melayu setempat, kabarnya ada hubungannya dengan peristiwa didirikannnya negeri baru di sungai Carang, Untuk dijadikannya pusat kerajaan. Hulu sungai inilah yang kemudian bernama Ulu Riau. Adapun peristiwa itu kira-kira mempunyai teks sebagai berikut: Tatkala perahu-perahu dagang yang semula pergi ke makam Tuhid (ibu kota kerajaan johor) di perintahkan membawa barang dagangannya ke sungai Carang di pulau Bintan (suatu tempat Sedang didirikan negeri baru) di muara sungai itu mereka kehilangan arah. Bila ditanyakan kepada awak-awak perahu yang hilir, “ dimana tempat orang-orang raja mendirikan negeri ?” mendapat jawaban “Di sana di tempat yang rioh”, Sambil mengisaratkan ke hulu sungai menjelang sampai ketempat yang di maksud jika di tanya ke mana maksud mereka, selalu mereka jawab “mau ke rioh” Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka nama Riau besar kemungkinan memang berasal dari penamaan rakyat setempat, yaitu orang melayu yang hidup di daerah Bintan. Nama itu besar kemungkinan telah mulai terkenal semenjak Raja kecik memindahkan pusat kerajaan melayu dari johor ke ulu Riau pada tahun 1719. Setelah itu nama ini di pakai sebagai salah satu negeri dari 4 negeri utama yang membentuk kerajaan Riau, Linggar, Johor dan pahang,. Kemudian dengan perjanjian London 1824 antara Belanda dengan Inggris, kerajaan ini terbelah dua. Propinsi Riau yang di diami oleh sebagian puak Melayu dewasa ini masih dapat di telusuri ke belakang,Mempunyai suatu perjalanan yang cukup panjang. Riau yang daerahnya meliputi Kepulauan Riau sampai Pulau tujuh dilaut Cina selatan lalu kedaratan Sumatera meliputi daerah aliran sungai dari Rokan sampai Kuantan dan Inderagiri. Sebenarnya juga telah pernah di rintis oleh sang Sapurba, seorang diantara raja-raja Melayu yang masih punya kerinduan terhadap kebesaran Melayu sejak dari Sri Wijaya sampai Malaka. Seperti di ceritakan dalam sejarah Melayu (Sulalatus Salatin) dalam cerita yang kedua, sang Sapurba telah mencoba menyatukan daerah Bintan (kepulauan Riau) dengan Kuantan di belahan daratan Sumatera. Kemudian Raja Kecil juga punya ambisi untuk menyatukan daerah Selat Melaka itu dengan Siak di belahan Sumatera. Yang terakhir Raja Haji Fisabilillah mencoba menyatukan daerah kepulauan Riau dengan Inderagiri, Diantaranya Pekan Lais. Pembentukan Provinsi Riau telah memerlukan Waktu paling kurang 6 tahun, Yaitu dari tahun 1952 sampai 1958. Usaha pembentukan propinsi ini melepaskan diri dari propinsi Sumatera Tengah (Yang meliputi Sumatera Barat, jambi dan Riau ) di lakukan di tingkat DPR pusat oleh ma’rifat Marjani, Dengan dukungan penuh dari seluruh penduduk Riau. Dalam Sejarahnya , daerah Riau pernah menjadi penghasil berbagai hasil bumi dan barang lainnya. Pulau Bintan pernah di juluki sebagai pulau seganteng lada, karena banyak menghasilkan Lada. Daerah Pulau tujuh, terutama pulai Midai pernah menjadi penghasil Kopra terbesar di Asia tenggara,paling kurang sejak tahun 1906 sampai tahun 1950-an. Bagan siapi-api sampai tahun 1950-an adalah penghasil ikan terbesar di Indonesia, Batu bata yang di buat perusahaan raja Aji kelana di pulau Batam,pasarannya mencapai Malaysia sekarang ini. Kemudia dalam bidang penghasil karet alam, dengan sisitem kupon tahun 1930-an belahan daratan seperti Kuantan,Inderagiri dan kampar juga daerah yang amat potensial. Pada tahun 1990 Propinsi  Riau masih merupakan daerah tutupan hutan yang rimbun,tapi sehubungan dengan marak nya penebangan hutan alam secara besar-besaran mengubah daerah ini menjadi jelmaan Padang Mahsyar. Kerusakan hutan di Riau menjadi salah satu pemicu meningkatnya suhu panas yang terjadi di bumi lancang kuning ini, hutan yang tersisa saat ini tidak lagi mampu berperan sebagai penyangga kehidupan Masyarakat sudah di lahirkan takdir di tanah melayu yang kata nya subur tapi akan hancur.. Hubungan antara lingkungan dan iklim sudah terumus dengan sistematis, kaitannya sangat erat Sekali. Karenanya semakin tinggi kerusakan hutan di Riau, semakin tinggi pula perubahan iklim yang terjadi. Persoalan kerusakan hutan dan lingkungan di Riau saat ini sangat komplek. Seperti kerusakan lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS), kerusakan lahan gambut, hutan tropis, pantai daratan rendah yang semakin hari semakin banyak terancam abrasi. Beberapa faktor tersebut bagian pendukung terjadinya perubahan iklim. Jika dibiarkan,tidak tertutup kemungkinan menyebabkan yang cuaca yang lebih ekstrim, dan akan mengkiamatkan bumi lancing kuning ini. Seiring kerusakan hutan alam kering, hutan gambut di Riau yang memiliki luas terbesar di Pulau Sumatera masuk dalam kondisi benar-benar terancam, dan bahkan sekarang dirusakan oleh pihak2 tertentu.  Berdasarkan penelitian WWF, selama periode 2002-2007, Provinsi Riau rata-rata kehilangan 135.438 hektar hutan gambut per tahun, atau dalam kurun lima tahun saja kerusakan hutan gambut Riau mencapai 677.190 hektar atau 19 persen dari total hutan alam yang tersisa pada tahun 2002. Kerusakan hutan gambut Riau diakui oleh Gubernur Riau Rusli Zainal. Dalam sambutan tertulis Gubernur Riau yang disampaikan Asisten III Pemprov Riau Ramli Walid, dalam kurun 12 tahun terakhir telah terjadi penyusutan karbon yang tersimpan di hutan gambut Riau sebesar 2.246 juta ton. "Semua itu disebabkan oleh ulah manusia, terutama karena alih fungsi lahan, penebangan hutan, dan kebakaran di lahan gambut. Pada Maret 2008, Riau sudah membuat MOU (nota kesepahaman) dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk menyelamatkan gambut yang ditandatangani tujuh bupati dan wali kota di Riau. Mungkin hal itu terlambat. Namun, lebih baik terlambat daripada kita tidak berbuat sama sekali. Tanah gambut adalah jenis tanah yang lebih mudah terbakar, menghasilkan lebih banyak asap dan emisi karbon dibandingkan jenis tanah lain. "Sekali terbakar, maka akan sangat sulit untuk memadamkan api di lahan gambut. Penerapan manajemen kebakaran hutan yang lebih intensif dan berkesinambungan haruslah dilakukan, bukan hanya di saat asap atau titik api meningkat. Setiap saat perusahaan dan masyarakat perlu diingatkan untuk mencegah pembakaran hutan. Riau dan Kalimantan Barat adalah dua propinsi dengan titik panas terbanyak selama Juli 2006 ini. Berdasarkan data Eyes on the Forest, titik panas yang terdeteksi di Provinsi Riau selama Juli 2006 mencapai 1.419. Dari jumlah tersebut, 786 titik (5 5,39 %) terdapat di lahan masyarakat, 338 titik (23,82 %) di konsesi HTI, dan 295 titik (20,79 %) di kebun sawit. Sementara itu, pada periode 1-25 Juli di Kalimantan Barat terdeteksi 684 titik panas, dimana 400 titik (58,48 %) terdapat di lahan masyarakat, 166 titik (24,27 %) di konsesi perkebunan/sawit, 60 titik (8,77 %) di konsesi HTI, dan 58 titik (8,48 %) di konsesi HPH. Krisis multidemensional yang berkepanjangan juga memberikan kontribusi yang cukup signifikjan terhadap kerusakan hutan alam Riau. Hal ini dapat dilihat dari indikator luas lahan kritis yang cendrung meningkat secara drastis yaitu di dalam kawasan hutan seluas lebih kurang 1,3 juta ha dan di luas kawasan hutan seluas lebih kurang 2,4 juta ha. DAMPAK PERAMBAHAN DAN KEBAKARAN HUTAN Beberapa aspek yang terindentifikasi sebagai dampak yang ditimbulkan dari perambahan dan kebakaran hutan tersebut adalah: 1. Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi a. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat di dan sekitar hutan. Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil hutan tersebut seperti rotan, karet dsb. b. Terganggunya aktivitas sehari-hari Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagian orang tidak dapat melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan. c. Peningkatan jumlah Hama Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain. Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya. Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang bertubuh besar lainnya ‘harus’ memorakmorandakan kawasan yang dilaluinya dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya karena habitat lamanya telah musnah terbakar. d. Terganggunya kesehatan Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di rumah sakit akibat asap tersebut. e. Produktivitas menurun Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari. 2. Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan a. Hilangnya sejumlah spesies Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan di Indonesia. b. Ancaman erosi Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar - sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi juga longsor. c. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan yang telah terbakar tersebut. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula. d. Penurunan kualitas air Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana. e. Terganggunya ekosistem terumbu karang Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa. f. Sedimentasi di aliran sungai Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat erosis yang terus menerus. Di SUSUN OLEH ARY HURUHARA (ZURY) 081266128626  SukaTidak Suka · 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun