Mohon tunggu...
Ari Kurniawati
Ari Kurniawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Simply complicated

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Keruji, Nostalgia Masa Silam

3 September 2011   03:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tak akan pernah lupa kisah ini. Pengalaman yang pada akhirnya saya sadari sebagai kenangan manis bersama almarhum ayah. Saya masih ingat betul bagaimana kaki kiri saya masuk ke jeruji roda depan sepeda Gaselo ayah kemudian darah yang mengalir dari luka terbuka serta kepanikan ibu dan orang-orang yang berada di sekitar.

Pagi itu seusai shalat Ied, orang tua saya mengajak kami sowan ke rumah simbah dukun bayi. Sudah menjadi tradisi keluarga Jawa jika Idul Fitri tiba, mereka akan membawa serta anak-anaknya berkunjung ke rumah dukun bayi yang merawat dan memijat anak-anak mereka saat masih bayi. Orang Jawa menyebutnya dengan "fitrah", yaitu memberi tanda terima kasih berupa uang atau barang kebutuhan sehari-hari.

Ayah membawa kami dengan sepeda Gaselo. Waktu itu tahun 90an. Sepeda motor masih menjadi barang mewah di lingkungan kami yang merupakan perkampungan kecil di pinggiran kota Yogyakarta. Di tengah jalan kami berjumpa dengan banyak keluarga yang memiliki niat sama, fitrah. Suasana waktu itu sangat semarak, hangat dan membumi. Semua orang tersenyum riang, saling menyapa dengan suara renyah serta raut ceria pertanda kemenangan sudah didapat setelah sebulan berpuasa.

Kami baru sampai di persimpangan jalan yang menghubungkan kampung tempat tinggal kami dengan kampung simbah dukun ketika kaki kiri saya tanpa sengaja masuk ke roda belakang sepeda. Greeeegg... begitu kira-kira bunyi yang saya dengar. Tak ada rasa apapun yang menyakitkan. Hanya perih yang bisa saya tahan. Meski terbilang masih balita, saya cukup tegar mampu menahan tangis hingga pertolongan datang. Ibu saya yang justru panik.

Seorang tetangga yang lewat membawa saya dan ayah ke rumah sakit terdekat. Darah mengucur dari luka terbuka di telapak kaki belakang. Saya baru benar-benar menangis ketika dalam perjalanan ke rumah sakit. Ayah memegangi kedua kaki saya. Tangannya dingin pertanda ia gugup dan khawatir. Namun ayah tetap tenang.

Sampai di meja tindakan, saya menangis keras. Dingin alkohol yang diguyurkan suster di kaki yang luka sedikit mengurangi rasa sakit. Saya takut berada di tempat yang baru, mencari-cari ayah. Setelah itu saya tak ingat apa yang terjadi. Bukannya pingsan, memori kecil saya tak  mampu lagi mengingatnya.

Bekas luka itu masih ada di bagian belakang telapak kaki kiri saya. Sampai saat ini, ketika umur saya sudah 22 tahun, kejadian itu selalu saja membayang. Seperti lebaran ini yang untuk kesembilan kalinya tak ada ayah. Momen kaki kiri saya masuk ke jeruji belakang Gaselo ayah menjadi nostalgia intim dan romantis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun