Mohon tunggu...
Ari Kurniawati
Ari Kurniawati Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Simply complicated

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

After Disaster (Merapi Eruption)

18 November 2010   10:32 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:30 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MERAPI, GEJOLAK ERUPSI BERANGKAI

5 November 2010

Merapi

Kali ini perilakunya sukar diprediksi dan karenanya pula, banyak sudah korban yang berjatuhan. Gunung yang terletak di sebelah utara kota Yogyakarta ini ternyata tidak puas mengorbankan juru kuncinya, Mbah Maridjan, tetapi juga sebagian warga lereng merapi lainnya. Sejak erupsi pada 26 Oktober lalu Merapi telah menelan ratusan korban jiwa dan puluhan ribu orang mengungsi. Hingga hari ini, saat bulan November baru berlalu selama tujuh hari, status gunung teraktif di dunia ini masih dalam status yang berbahaya. Bahkan, radius zona aman yang ditetapkan meluas dari yang awalnya 10 km menjadi 20 km.

Saya berada pada jarak sekitar 22 km dari puncak Merapi. Tepatnya di perbatasan kecamatan Turi dan Sleman. Saya tinggal di dusun paling utara kelurahan Pandowoharjo. Dusun setelahnya masuk ke kelurahan Donokerto, kecamatan Turi. Kami menjadi penduduk paling dekat dengan Merapi setelah warga Turi berbondong-bondong mengungsi. Sejak erupsi pada Jum’at dini hari lalu, sebagian besar warga di wilayah saya berdomisili sudah melarikan diri ke arah selatan kabupaten Sleman yang dirasa lebih aman. Saya sendiri bersama keluarga dan beberapa kolega dekat tetap bertahan sambil bersiaga di rumah. Tak lupa kami terus mengkondisikan situasi dengan kerabat lainnya yang berada di lain tempat.

Saya baru saja tidur selama kurang lebih tiga puluh menit dan tersadar oleh suara gemuruh dari arah utara serta berdetak dari atas yang semakin lama semakin riuh. Logika saya langsung tanggap bahwa Merapi erupsi besar-besaran lagi. Saya lantas keluar rumah sambil berupaya mengkondisikan keadaan Merapi dengan beberapa rekan yang ada di luar sana. Ketika sampai di depan rumah, hujan abu dan pasir menyambut saya. Pun gelegar Merapi berkali-kali terdengar jelas.

Semua orang terbangun saat itu juga dan berlarian keluar memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Selang beberapa detik, kepala dusun kami menyiarkan pengumuman mengenai erupsi Merapi. Baru setengah jalan berita disiarkan melalui corong masjid, listrik padam dan membuat suasana kian mencekam. Sementara itu gemuruh terus terdengar dari arah utara dan hujan mengguyur disertai pasir serta bau belerang yang menyengat. Saya lantas mengomando orang serumah untuk memakai masker yang beberapa hari sebelumnya saya beli.

Saya mendengar informasi dari bulik saya yang meghubungi suaminya yang kebetulan sedang bertugas di bagian logistik Pemda Sleman. Kabarnya semua pengungsi dievakuasi ke Stadion Maguwoharjo yang terletak sekitar 35 km dari Merapi. Sayangnya kami tidak bisa mengakses televisi dan internet, jadi saya tidak mendapat konfirmasi pasti soal kabar tersebut. Namun nalar saya mengatakan demikian karena dengan erupsi sebesar itu kemungkinan evakuasi ke lokasi yang lebih jauh dari gunung itu sangat besar. Apalagi saya berkeyakinan terjadi kepanikan luar biasa di barak-barak pengungsian yang ada di jarak 10-15 km dari Merapi. Terlebih jika kita ingat erupsi pada 30 Oktober lalu. Saat itu letusan tidak sedahsyat ini namun para pengungsi dari lereng Merapi di evakuasi ke tempat yang jaraknya lebih jauh dari puncak Merapi sementara PVMBG memperlebar jarak zona aman.

Kami sempat berjaga-jaga di depan rumah seraya memasang tajam indera-indera kami. Dalam suasana gelap dan rasa kaget yang belum sirna, kami melihat lalu lalang kendaraan yang lewat di jalan dusun kami. Orang-orang rupanya mengarah ke selatan keluar dari kecamatan Turi menuju tempat-tempat aman di wilayah kecamatan Sleman. Saya bersama ibu sempat kedatangan saudara yang tinggal di Kemirikebo, Girikerto, Sleman. Sepupu saya mampir mencari ember untuk mengambil air dari sungai guna menyiram kaca depan mobil yang penuh lumpur campuran abu vulkanik, pasir halus, dan air hujan.

Di dalam mobil, saya mendapati kakak perempuan bapak saya bersama suami dan juga saudaranya. Kami sempat mengabarkan keadaan mereka dan syukur mereka baik-baikk saja. Hanya anak perempuannya belum ketemu, mungkin evakuasi dari pihak sekolah, kata mereka dengan nada cemas. Rencananya, mereka akan dibawa ke Wonosari, tempat besan. Setelah saling mendoakan, mereka berlalu dengan pick up ditengah guyuran hujan air bercampur pasir dan juga rasa panik serta khawatir.Kami menduga banyak warga lain di kecamatan Turi yang mengevakuasi diri secara swadaya.

Beberapa menit hujan reda menyisakan rintik-rintik kecil sementara hujan abu masih berlangsung. Kami dan beberapa tetangga berkumpul di teras rumah kepala dusun kami yang sedari awal erupsi terus berkeliling mengontrol keadaan. Setelah ngobrol beberapa lama dan keadaan dirasa sudah aman, saya memutuskan untuk kembali tidur. Ya… dengan masih memakai masker saya menikmati sisa malam disertai debu vulkanik dan pasir yang bertebaran di kasur tempat saya berbaring.

Keesokan paginya, hujan abu masih berlangsung dan kami mengalami krisis ketersediaan air. Abu vulkanik mencemari bak penampungan air dan juga sumur kami yang terletak di bagian belakang luar rumah. Listrik masih belum dialirkan oleh PLN. Saya menduga, jaringan listrik terganggu akibat erupsi besar lalu. Kamiterpaksa menggunakan air yang ada di kamar mandi sebelah dalam yang lebih jernih untuk membasuh muka dan buang air kecil. Sedangkan untuk memasak, kami mengambil air dari sumur tetangga yang tidak tercemar debu vulkanik.

Kondisi di sekitar rumah seperti kota mati yang baru saja selesai perang. Pohon-pohon salak yang semula berdiri tegak kini rebah sementara daun-daun pisang yang ada di sekitar rumah saya layu dan melengkung ke bawah tak kuat menahan paparan material vulkanik Merapi. Hal serupa terjadi pada pohon-pohon lainnya. Hanya pohon kelapa yang daunnya tetap seperti biasa meski terpapar material yang sama.Tidak hanya itu, jalan-jalan tertutup debu putih keabu-abuan setebal kurang lebih 3 cm.

Saya sempat berkeliling areal barat dusun dimana sawah-sawah milik penduduk terhampar. Tanaman jagung siap panen yang menghampar di sepanjang pandangan mata saya terlihat layu terpapar abu vulkanik. Sebuah bukti kebesaran Tuhan yang terlihat. Di arah utara, gunung Merapi tertutup kabut sehingga saya tidak dapat melihat aktifitasnya. Saya sedikit menyesal tidak memiliki gear untuk mengabadikan situasi ini. Tapi tidak jadi masalah, saya masih bisa menuliskannya dalam sebuah kisah feature.

7 November 2010

Hari ini saya mendapat informasi yang cukup mengejutkan dari Bulik saya. Harga sayuran melonjak drastis. Kacang panjang yang semula berada pada kisaran Rp 1000,00-Rp 2000,00 per ikat sekarang menjadi Rp 7.000,00 per ikat. Harga tempe pun melonjak dari yang semula Rp 300,00 menjadi Rp 1.000,00. Melonjaknya harga dua bahan makanan tersebut setidaknya menjadi gambaran betapa luas dampak yang diakibatkan oleh erupsi Merapi sejak 26 Oktober lalu. Kesulitan yang sama tidak hanya dirasakan pengungsi dari lereng Merapi saja, warga lain yang tidak mengungsi pun mengalami kesulitan bahan makanan seperti sayuran, tahu, dan tempe.

Bisa anda bayangkan bagaimana mereka yang berada di pengungsian. Kami yang bertahan di daerah tempat kami tinggal yang berjarak sekitar 22 km dari Merapi dan masih memiliki daya untuk mencukupi kebutuhan harian mengalami kesulitan bahan makanan dan sanitasi. Air sumur yang ada di areal luar rumahmenjadi keruh karena jatuhan abu dan pasir halus vulkanik yang dimuntahkan Merapi pada Jum’at dini hari lalu. Sedangkan penjual sayur yang biasanya berkeliling sudah beberapa hari terakhir ini tidak lewat. Saya menduga mereka ikut mengungsi ke posko-posko yang disediakan pemerintah atau ke tempat kerabat mereka. Warung yang biasa menjual sayur di tempat saya tinggal pun tutup. Pemiliknya, yang masih satu RT dengan saya, mengungsi entah kemana.

Hari ini kami mendapat sayuran dari kebun di belakang rumah. Berkah Dalem… ibu saya tidak perlu mengeluarkan uang untuk memberi kami sayuran. Kebetulan hari ini juga warga Yogyakarta mendapat titah dari Ngarso Dalem untuk membuat sayur bobor, sambel jenggot, dan tempe garit goreng. Tak hanya itu, kami juga diperintahkan untuk membuat minuman berupa teh dan kopi yang masing-masing diberi pemanis gula jawa. Menu tidak biasa itu harus kami makan. Saya tidak tahu pasti apa maksud Ngarso Dalem menitahkan kawulanya untuk melaksanakan hal tersebut. Secara logika pun saya hanya bisa menangkap tujuan dari titah meminum teh dan kopi tersebut sebagai “healing” karena masyarakat telah menghirup debu vulkanik yang timbul pasca erupsi Merapi. Ketika saya meminumnya, ada reaksi rileks yang saya rasakan. Harum campuran teh melati dan gula jawa memberi efek terapi melegakan bagi tenggorokan. Selain itu, rasa kedua minuman tersebut memberi sensasi tersendiri pada lidah. Saya jadi berspekulasi mungkin seperti ini orang jaman dulu menikmati teh dan kopi.

Terlepas dari logika yang belum tentu benar itu, sebagai kawula alit, saya hanya ndherek titahe Ngarso Dalem. Saya sangat menghormati tradisi yang mengakar di Ngayogyakarta Hadiningrat. Saya pribadi adalah orang yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan Jawa yang kental. Pun saya termasuk orang yang sampai saat ini berupaya untuk menjadi Jawa yang sebenarnya.

Tanpa mengabaikan analisis ilmiah dan upaya berbasis iptek tentang apa yang terjadi di Merapi, saya menyadari ada semacam keterkaitan spriritual antara Merapi, Kraton Dalem, dan Pantai Parangtritis. Terserah apa kata orang awam mengenai kepercayaan yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat Yogyakarta ini. Sebagai orang Jawa saya merasa perlu untuk menyikapi dengan bijak kearifan lokal ini dan menghormatinya sebagai warisan leluhur yang patut untuk dilestarikan.

November 10th

What a beautiful morning… langit di atas kota Yogyakarta terlihat cerah, setidaknya sampai tengah hari dan mengeringkan cucian saya kemarin. Sudah dua malam ini saya tidak terdengar suara semuruh dari Merapi. Saya pun bisa tidur dengan nyenyak. Tapi saat melihat ke arah utara keesokan harinya, ternyata awan panas membubung tinggi dari puncak Merapi. Saya tidak bisa mengukur berapa kira-kira ketinggiannya. Angin membawa awan panas yang berupa debu vulkanik dan gas panas itu ke arah barat daya. Daerah sebelah barat sepertinya harus menerima paparan material vulkanik erupsi gunung tersebut. Memang kalau erupsi terjadi pada siang atau pagi hari, angin cenderung mengarah ke barat, sedangkan jika terjadi pada sore hari, awan panas yang biasa disebut wedhus gembel itu cenderung mengarah ke timur dan selatan lereng Merapi.

Lain lagi kalau erupsi terjadi pada malam hari. Kota Sleman yang berada di sebelah selatan gunung bisa terpapar material vulkanik. Seperti yang terjadi pada 30 Oktober dan 5 November lalu. Erupsi besar terjadi pada dini hari dan menyebabkan pengungsi harus dievakuasi. Jika pada 30 Oktober jarak aman diperluas dari 10 km menjadi 15 km, maka pada erupsi 5 November PVMBG menetapkan 20 km sebagai jarak aman. Bisa anda bayangkan berapa kali penduduk yang berdekatan dengan lereng Merapi harus panik dan berpindah tempat.

Selain harus berhadapan dengan suasana chaos, mereka juga terpaksa diguyur hujan abu dan air. Hal ini menyebabkan keadaan fisik mereka lebih memprihatinkan. Dengan muka penuh abu, rasa lelah, khawatir, panik dan segenap perasaan yang berkecamuk dalam diri, mereka berpindah secara paksa ke titik yang lebih jauh dari Merapi. Belum lagi mereka yang tercerai berai dari anak dan juga sanak saudara akibat kepanikan saat evakuasi. Saya tidak bisa membayangkan jika saya adalah satu diantara para pengungsi itu.

Meski tidak mengungsi, dan berharap tidak mengalaminya, saya bisa merasakan ketidaknyamanan yang mereka alami. Mereka terpaksa menerima keadaan ini dengan persiapan mental dan materi seadanya. Penduduk lereng Merapi mungkin hanya membawa sedikit harta mereka ke pengungsian. Saya berharap, mereka tidak lupa membawa dokumen-dokumen penting seperti kartu identitas diri, ijazah, sertifikat tanah, buku tabungan dan lain sebagainya. Dokumen-dokumen tersebut jauh lebih penting daripada harta fisik lainnya. Jika mereka tidak memiliki atau membawanya bisa dipastikan kesulitan administrasi yang akan dialami. Pendataan korban bencana akan jauh lebih mudah dengan adanya dokumen tersebut.

Saya bisa memahami tindakan mereka yang memutuskan kembali ke tempat tinggal untuk mengurus ternak. Sebagian besar warga yang tinggal di dusun-dusun sekitar Merapi memang mengandalkan ternak sebagai sumber mata pencaharian. Kehilangan satu sapi ternak, sama saja kehilangan investasi untuk anak cucu mereka. Belum lagi aksi penjarahan yang mulai marak terjadi di beberapa titik yang ditinggalkan penduduknya. Tentu saja warga tidak menghendaki ini terjadi pada hewan ternaknya. Sebagian dari mereka terpaksa menjual hewan-hewan tersebut dengan harga murah daripada harus kehilangan.

Sebenarnya pemerintah sudah menyediakan posko pemeliharaan hewan ternak, akan tetapi rupanya warga tidak banyak yang memilih menitipkan ternak-ternaknya kesini. Mereka kebanyakan takut hewan-hewan ternaknya menjadi stres dan tidak diurus secara maksimal. Padahal pemerintah setempat tak lupa menempatkan dokter-dokter hewan dan sejumlah relawan yang khusus menangani masalah ini. Saya melihat di tayangan televisi, posko khusus hewan ternak tersebut hanya terisi beberapa hewan ternak. Akan lebih baik jika warga mau menitipkan ternak-ternaknya begitupun pemerintah daerah yang harusnya bisa memberi jaminan pengurusan hewan-hewan ternak tersebut.

11 November 2010

Keadaan mulai normal disini dan saya berharap begitu pula yang ada di barak-barak pengungsian. Setidaknya kami mulai merasakan kembali rasa tenteram tanpa mendengar suara gemuruh dari Merapi ataupun kabar-kabar yang membuat kami khawatir. Memang statusnya masih awas dan PVMBG belum mencabut ketetapan zona aman 20 km bagi masyarakat lerang Merapi, tapi saya yakin hari-hari kedepan akan dihiasi keadaan yang lebih baik dari sekarang maupun kemarin. Kami, warga Yogyakarta sedang dipersiapkan untuk hari esok yang lebih baik. Bencana Merapi bukan sebuah musibah yang merugikan. Saya yakin, ada hikmah dan kebaikan yang dapat kami ambil lewat peristiwa ini.

Merapi bergejolak, itu sudah sewajarnya, karena memang siklus alam menetapkan gunung itu bererupsi. Pun Tuhan sudah menggariskan demikian. There’s nothing nor none to blame, it’s just the wave of the world. Pada gilirannya, kami akan mengenyam hasil dari rasa sakit, duka, khawatir, kehilangan dan segala keterbatasan kami karena peristiwa Merapi yang terjadi secara berangkai ini. Kami hanya perlu bersabar dan ikhlas menerima rencana Tuhan kali ini.

Saya turut berduka bagi mereka yang harus kehilangan anggota keluarga, orang-orang terkasih yang tewas akibat terjangan awan panas Merapi. Semoga mereka mendapat tempat yang layak di sisi Tuhan dan bagi keluarga yang ditinggalkan semoga diberi ketabahan, kekuatan iman dan juga keikhlasan menerima ketetapan Tuhan ini. Simpati saya terhadap korban-korban Merapi yang berada di barak-barak pengungsian, sekalipun saya tidak bisa membantu apa-apa, tapi saya selalu berdoa semoga hari-hari mendatang kehidupan lebih baik dan Tuhan memberi kemudahan dalam setiap urusan kita, amin…

Memang sangat klise ketika mengucapkan ungkapan-ungkapan itu. Seolah-olah saya orang yang pelit dan keberatan membantu sesama. Tapi jujur saya katakan, saya sendiri diliputi perasaan yang kurang lebih sama seperti saudara-saudara saya yang ada di pengungsian. Saya merasa terancam oleh keganasan Merapi sekalipun sejauh ini daerah domisili saya terbilang aman dan baik-baik saja. Saya juga manusia biasa. Saya butuh menguatkan diri dan memulihkan perasaan itu sehingga saya bisa menjalani hidup dan melakukan segala urusan dengan normal. Saya tidak ingin ketika berada di posko-posko pengungsian ternyata saya tidak melakukan apa-apa. Dengan kata lain, saya harus berguna ketika berada diantara mereka. Saya harus memiliki sesuatu yang bisa saya sumbangkan, entah itu tenaga, materi, apapun itu. Saya tidak mau menjadi penonton warga yang mengungsi seolah mereka tontonan yang menghibur. They aren’t circus, right???

Lagipula saya berada jauh dari tempat-tempat pengungsian yang saat ini tersebar di beberapa titik di kota Jogjakarta, kabupaten Sleman bagian tenggara, kabupaten Bantul bahkan ada yang di Solo. Untuk menjangkau titik-titik tersebut, saya harus menempuh setidaknya 30 menit perjalanan dengan sepeda motor. Belum lagi debu vulkanik di jalanan yang masih bersisa dan beterbangan menyebabkan gangguan pernafasan dan juga jarak pandang. Anjuran memakai masker dan pelindung mata masih akan berlangsung hingga debu-debu tersebut hilang. Debu vulkanik yang dikeluarkan Merapi mengandung partikel mirip kaca yang tepiannya runcing. Data ilmiah menyebutkan, jika debu tersebut terhirup dan masuk ke paru-paru, bisa merobek jaringan paru dan apabila masuk ke mata bisa merusak kornea mata.

Banyak sudah pengidap ISPA akibat debu vulkanik. Penderita infeksi saluran pernafasan akut tersebut kebanyakan adalah pengungsi dari lereng Merapi yang lebih banyak menghirup material halus tersebut. Saya sendiri mengalami sesak saat bernafas meskipun tidak sampai berurusan dengan dokter. Itupun saya selalu memakai masker. Lendir atau dahak yang keluar saat batuk mengandung butiran-butiran debu vulkanik. Belum lagi iritasi mata yang saya alami. Dalam sehari, saya bisa berkali-kali meneteskan Visine untuk mengurangi perih pada mata. Dua hal tersebut hanya gangguan kecil dari sekian banyak problem yang dialami saudara-saudara kita yang ada di barak-barak. Permasalahan sanitasi, kesehatan, pendidikan, psikologis, ekonomi, dan masih banyak lagi menjadi makanan mereka sehari-hari. Kehidupan yang semula tenang, harmonis berdampingan dengan alam berubah seketika dalam waktu singkat. Tekanan psikologis membayang di wajah-wajah mereka.

Para tetua yang harusnya tinggal di tempat yang nyaman, tercukupi kebutuhannya, harus tidur tanpa alas yang baik bagi kesehatan tulang mereka. Demikian pula balita dan anak-anak yang harus bercampur dengan banyak orang dan kebutuhan khususnya tidak tercukupi. Banyak bayi kekurangan diapers, susu, makanan bayi, kasih sayang dan tempat bermain yang layak. Tak sedikit pula pasangan yang kehilangan momen privasinya karena harus tinggal di pengungsian. Mereka tak mampu memenuhi kebutuhan seksual dengan pasangan masing-masing. Berat memang, tapi itu lah yang harus terjadi. There is no other choice.

Saya rasa, dengan kesabaran dan keikhlasan, kita bisa melewati ini dengan baik. Pada waktunya nanti semua akan kembali, sooner or later. Saya percaya, Tuhan tidak pernah meninggalkan umatNya. Ia selalu baik terhadap kita. Buktinya, saat kesesakan seperti ini, banyak orang peduli dan memberikan bantuan dalam bentuk apapun. Tidak baik kiranya menganggap ini sebagai malapetaka atau kutukan. Tidak pernah ada kutukan dalam rencana Tuhan. Bukan hal yang bijak pula berburuk sangka terhadap alam ataupun rencana Tuhan. Sebagai umat beragama, saya yakin Tuhan sedang mempersiapkan kita untuk sesuatu yang lebih baik. Kita hanya perlu bersabar dan bertahan, berupaya memperbaiki diri dan terus bersyukur bahwa kita masih diberi kesempatan. Kehilangan hari ini akan diganti dengan sesuatu yang lebih baik. Yang awalnya kecil akan menjadi besar. Saya percaya, Tuhan memiliki rencana besar dan baik untuk kami, warga lereng Merapi dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

Tersenyumlah… bersukacita dalam bencana lebih baik daripada terus menerus meratapi derita yang dialami. Tuhan tidak suka kita terus bermuram durja, Ia menghendaki kita untuk memetik segala kebaikan dan hikmah dari peristiwa ini. Tak perlu menyesali yang sudah terjadi atau terus menerus menangisi kepergian mereka yang menjadi korban. Berdamai saja dengan keadaan dan berupaya melaksanakan tugas kita, membangun hidup yang diberkatkan Tuhan. Hidup harus terus berjalan, hari-hari esok menjanjikan pengharapan baru. Mari bersiap untuk hari esok yang dijanjikan Tuhan.

12 November 2010

Debu vulkanik menutupi sebagian langit di atas tempat tinggal saya. Sebenarnya cuaca cerah pagi ini. Matahari bersinar penuh. Namun kiriman debu dari Merapi menimbulkan kesan mendung di langit. Sempat terjadi hujan abu tipis namun segera hilang. Gunung Merapi masih terlihat garang di utara. Secara visual ia terlihat lebih jelas dari jarak 22 km daripada kemarin. Asap sulfatara mengepul dari kawah yang menjulang ke atas. Rupanya gunung itu masih melakukan rangkaian erupsinya.

Saya sempat memantau kondisi terakhir Merapi lewat HT di depan rumah seraya melihat secara visual. Asap sulfatara pekat membubung tinggi dengan tekanan sedang dari mulut Merapi. Nampaknya terjadi turbulensi angin di puncaknya dan menyebabkan penyebaran debu vulkanik ke arah barat daya cenderung ke selatan. Dari radio HT saya mendengar pantauan petugas yang ada di sekitar Merapi. Ada yang memerintahkan relawan yang ada di Srunen untuk segera turun karena ada awan panas yang menuju kesana sementara kabut turun menyellimuti badan gunung. Di pos lain, petugas meminta sebagian relawan untuk menuju lokasi evakuasi. Nampaknya ada jenazah yang ditemukan.

Asyik juga memegang HT dan memantau keadaan yang tidak terjangkau karena alasan darurat seperti ini. Saya jadi tahu banyak informasi seputar kondisi terakhir Merapi dan sekitarnya dari pantauan para petugas yang tersebar di berbagai titik di lereng-lereng Merapi. Setidaknya pula, saya bisa tahu pergerakan para relawan yang melakukan penyisiran dusun-dusun yang diterjang awan panas Merapi untuk mengevakuasi korban yang diduga masih belum ditemukan.

Dengan mendengarkan sahut-sahutan suara dari alat komunikasi darurat ini, saya jadi lebih yakin akan apa yang terjadi. Lain hal kalau mendengar kabar-kabar sumir tentang kondisi Merapi dari orang-orang yang tidak jelas darimana sumbernya. Informasi yang saya terima kemarin sore sempat membuat jantung berdenyut lebih kencang. Ada yang bilang mau meletus lagi, jarak aman ditambah, evakuasi paksa warga yang ada di luar radius 20 km.. Wah bikin hati was-was pokoknya. Saya pikir, kesalahan informasi yang diterima masyarakat yang menyebabkan terjadinya sebuah kepanikan.

Sama seperti yag terjadi pada 5 November dini hari lalu. Kesalahan informasi membuat sebagian warga di daerah saya tinggal menyelamatkan diri. Padahal, kami berada di luar radius 20 km. Dalam kondisi darurat seperti ini, informasi yang valid dan akurat tentang sebuah situasi menjadi faktor penentu ketenteraman warga. Saya sangat menyesalkan tindalan oknum-oknum tidak bertanggungjawab yang menyebarkan informasi yang belum tentu benar kepada masyarakat.

Prayer..

Keep me awake…g ive us more time… we’ll have tommorrow…YOU’RE here right now with me and all my fears just fall away when you are all I see

(Awake-Josh Groban)

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun