Saya mengamini pernyataan Bang Zul. Tujuan negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan pokok penting yang harus dicapai. Untuk mencapai itu semua dibutuhkan pedoman dan semangat yang sama yaitu empat pilar berbangsa dan bernegara yang selalu disosialisasikan kembali oleh MPR RI.
Dipandang perlu adanya program semacam penatararan penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) di masa Orde Baru. Tentunya dengan semangat yang sama dan kemasan yang berbeda dan jauh dari kesan doktrinasi seperti dahulu. Tujuan yang utama yang ingin dicapai adalah internalisasi dan implementasi nilai-nilai empat pilar tersebut.
Reformasi mengubah tugas pokok dan fungsi MPR secara luas. Kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara yang memberikan mandataris kepada presiden sudah tidak dimiliki lagi oleh MPR. Presiden kita dipilih secara langsung oleh rakyat. Pergeseran demokrasi perwakilan menuju demokrasi langsung.
Satu lagi yang “hilang” dari tata kenegaraan kita sejak reformasi adalah Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Butir-butir GBHN yang dahulu menjadi pedoman penyelenggaraan pemerintahan sekarang sudah tidak ada lagi. Masing-masing presiden dan kabinetnya berjalan sesuai dengan kehendaknya sendiri (harapannya mewujudkan janji kampanye dulu). Hal ini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi banyak pihak. Akan terjadi ketidaksinambungan antar pemerintahan. Padahal, pembangunan harus berkelanjutan, Indonesia harus ada dan diperjuangkan selamanya. Bukan pada periode kepemimpinan tertentu saja.
Berharap GBHN Edisi Baru
Haluan negara mutlak diperlukan sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Perlu adanya grand design Indonesia masa depan yang harus dicapai dan diwujudkan secara bertahap, siapapun presidennya, siapapun kabinetnya. Dalam menjalankan pemerintahan harus ada rambu-rambu dan petunjuk arah. Dengan demikian, kehidupan bernegara jelas dan lebih stabil.
Untuk melahirkan “GBHN Edisi Baru” , MPR membutuhkan usulan dan inisiatif dari berbagai pihak. Pihak yang dimaksud adalah masyarakat umum, mulai dari akademisi, birokrasi, dan juga kekuatan sosial lainnya, salah satunya netizen. Akademisi dan birokrasi jelaslah memiliki peran dominan dalam hal ini. Namun, kita tidak boleh menutup mata social power dari netizen dan media sosial.
Sejarah telah mencatat bagaimana hebatnya media sosial untuk membentuk opini publik, menyukseskan pasangan calon dalam pemilihan presiden dan kepala daerah, serta yang tidak kalah penting adalah kekuatan kontrol sosial yang dimiliki. Agaknya adalah sebuah kenyataan sejarah dan strategi yang tepat dilakukan oleh MPR untuk menggandeng netizen mengambil bagian dalam sosialisai empat pilar dan penyadaran publik dunia maya tentang pentingnya memahami negara dan bangsa.
Tagar #4PilarUntukNetizen