Evaluasilah saat ini juga bagaimana gaya hidup kita. Lihatlah apakah kita memahami apa saja yang dapat memuaskan kehidupan kita?, perhatikanlah selama kita hidup hingga saat ini, kepuasan apa saja yang membuat kita puas? Apakah kita memperhatikannya, atau kita hanya menikmatinya saja?
Pertanyaan pertama yang Boddhisatva utarakan dalam diri beliau saat itu, menunjukkan bahwa beliau ingin agar kehidupan beliau tidak terombang-ambing dalam ombak kenikmatan duniawi tanpa menyadari hal sesungguhnya yang dapat membuat individu terpuaskan dalam kehidupan ini. Dalam perenungannya beliau mendapat satu pemahaman bahwa pemuasan kehidupan duniawi berupa kesenangan dan kegembiraan yang menjadi buah dari kenikmatan yang diterima indera manusia.
Saat kita makan makanan yang memiliki bau yang menggoda, penampilan yang menawan, rasa yang berselera maka kita akan memakan makanan ini dengan kesenangan dan kegembiraan. Ini salah satu contoh kepuasan dalam hidup ini. Selanjutnya di saat kita berbaring di sebuah ranjang yang empuk dan padat, udara kamar yang sejuk, cahaya yang redup, ditemani bantal dan selimut yang nyaman, hal ini mampu menghadirkan kepuasan dalam berbaring atau tidur di sebuah kamar. Ini pun sebuah kepuasan dalam hidup yang mendatangkan kegembiaraan dan kesenangan.
Kepuasan dan kegembiraan yang dipahami ini dapat membawa kita kepada sebuah pertanyaan berikutnya "Apa bahaya dari kesenangan dan kegembiraan ini?, apakah kesenangan dan kegembiraan ini selalu ada?, apa yang terjadi saat mereka tidak ada dalam waktu tertentu?".
Pertanyaan ini muncul di saat alarm penyadaran kita diaktifkan yaitu berupa sebuah refleksi atas fenomena kehidupan duniawi yang terjadi pada kita dan pada orang banyak. Wajar suatu saat dalam kehidupan ini kita mengalami dua kondisi kehidupan yaitu kondisi senang atau gembira dan kondisi susah atau sedih. Kedua kondisi ini patut diterima sebagai kondisi nyata dalam kehidupan kita.
Guru Agung Buddha menjelaskan bahwa di saat kita memahami bahwa kepuasan hidup berupa kesenangan dan kegembiraan itu tidak langgeng atau tidak selalu hadir di setiap momen kehidupan kita, di situlah kita memahami bahaya dari sebuah kepuasan. Lihatlah dan renungkanlah seberapa lama anda dapat mempertahankan rasa gembira atau senang anda saat anda mendapat hadiah dari sebuah undian, mendapat kenaikan gaji, menikahi pasangan yang anda sukai, mendapatkan nilai ujian tertinggi, mendapat juara dalam kompetisi, dan lainnya.
Semua kepuasan pastilah tidak tetap selalu berubah, selalu bergilir untuk hadir bersama pasangannya yaitu ketidakpuasan yang berupa kesedihan, kesusahan, kekecewaan, kekhawatiran, kegelisahan, dan lainnya. Jika kita dapat menerima perubahan kepuasaan sebagai bagian dari kehidupan kita, maka kita mudah untuk keluar dari bahaya kepuasan.
Namun jika belum dapat memahami dan menerima bahaya dari kepuasan maka kita pasti terus-menerus terlilit untuk mencari kepuasaan dengan terus mengupayakan agar kepuasaan tak terhentikan yang pada akhirnya membawa kehidupan kita ke jurang penderitaan hidup, mengapa demikian?
30 Oktober 2024 yang lalu, harian Kompas memberitakan sebuah kasus gratifikasi yang dilakukan oleh pejabat Makamah Agung. Di sini dapat dipahami bahwa seseorang dengan jabatan sebagai pejabat yang diagungkan dalam sebuah penentu keputusan yang memerlukan keluhuran budi dapat ternodai lantaran kepuasaan yang tak terbendung. Jumlah uang dan aset yang disita sangat fantastis, namun akhirnya nama baik, kredibilitas, kualitas kehidupan, dampak sosial dan masih banyak penderitaan lainnya terbentuk akibat pemenuhan kepuasaan yang terus menerus tanpa penyadaran bahaya yang muncul dari pemuasan ini.
Pejabat Mahkamah Agung ini bukanlah orang yang tidak berpendidikan, namun seorang yang pandai, berintelektual yang baik, memiliki keyakinan tertentu serta pastinya ia memahami resiko akan akibat dari perbuatannya yang melanggar hukum lantaran ia bekerja di bidang hukum. Namun kenyataan yang terjadi pejabat ini lemah dalam mengendalikan dirinya, terseret untuk memuaskan kepuasannya dalam hal ini kepuasan dalam memiliki harta berlimpah.
Penderitaan yang panjang akhirnya menjadi buah dari kepuasaan yang tak terbendung. Untuk itu, Guru Agung Buddha memberikan penguatan bahwa penting kiranya agar kita selain menikmati kepuasan duniawi, kita juga tahu bahaya dari kenikmatan yang tak terbendung. Analogi sederhananya adalah di saat kita memahami manfaat sebuah pisau yang tajam dalam membantu seorang chef dapat menyajikan masakan yang nikmat, namun di sisi lain, pisau yang tajam ini pun dapat membawa ke kematian yang mengenaskan jika digunakan untuk menghunus seseorang. Demikianlah sebuah kepuasan memiliki dua fungsi yaitu mendatangkan kenikmatan dan jika tidak dipahami dengan baik kepuasan ini pun mendatangkan kematian.