Beberapa waktu yang lalu penulis pernah membantu para relasi penulis yang mengalami gangguan mental ringan hingga cukup berat, mulai dari takut menyebrang hingga melakukan percobaan bunuh diri. Walau penulis bukan seorang psikolog, namun penulis memiliki ketrampilan dalam membangun komunikasi persuasif dan mempelajari cara manusia berpikir sehingga dapat membantu para relasi tersebut keluar dari cengkraman ingatan masa lalu yang menganggu mental mereka.
Cengkraman ingatan adalah kata yang cukup tepat untuk mendeskripsikan kata trauma, fobia, atau hal lainnya yang terkait memori atau ingatan yang senantiasa menganggu mental manusia sehingga manusia sulit untuk keluar dari cengkraman ingatan tersebut lantaran mereka belum memahami cara untuk melakukan pendekatan persuasif agar cengkraman ingatan tersebut bisa lambat laun dilepas dan diselaraskan dengan kehidupan saat ini.
Pengalaman penulis dalam memberikan pendekatan persuasif mulai dari seorang anak usia 6 tahun hingga seorang dewasa berumur lebih dari 60 tahun memberikan beberapa hal penting yang dapat penulis bagikan dalam tulisan ini.
Hal pertama dan utama adalah bahwa pikiran manusia sangat rentan untuk bergejolak atas kejadian yang diterima pada waktu tertentu khususnya terkait kejadian yang menghadirkan rasa takut, rasa gelisah, rasa kecewa, rasa khawatir, rasa terancam, rasa tertipu, rasa diabaikan, rasa dirundung, rasa disakiti dan rasa penderitaan lainnya. Kata rasa yang penulis selipkan ini menunjukkan penguatan kepada ranah afeksi atau emosi atau perasaan yang kita miliki. Ranah afeksi inilah yang merupakan bagian pikiran yang patut dipahami oleh kita bahwa bagian pikiran berupa ranah afeksi sangat penting dalam membentuk mental seseorang.
Ranah afeksi sering kali kurang dikuatkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Kurikulum lebih banyak terjun ke ranah kognitif saja yang lebih mengutamakan sisi rasionalitas semata. Padahal ranah kognitif ini lebih sering tidak membuat seseorang yang mengalami cengkraman ingatan untuk keluar dari cengkaraman tersebut.
Relasi penulis ada yang berpendidikan sarjana bahkan pasca sarjana dimana dapat dipastikan ranah kognitif mereka sangat baik, namun mereka tetap kesulitan untuk melepas cengkraman ingatan mereka yang mengganggu mereka sepanjang hari. Bahkan ada relasi penulis yang mencari informasi artikel, jurnal dan bentuk pengetahuan lainnya dalam upaya keluar dari cengkraman ingatan, masih belum dapat keluar dari cengkaraman itu.
Berdasarkan pengalaman ini, penulis menyadari bahwa sangatlah penting bagi kita untuk mengembangkan ranah afeksi guna memudahkan kita untuk memahami cengkraman ingatan yang menganggu.
Bagaimana ranah afeksi berkaitan dengan cengkraman ingatan? Dalam satu kejadian, katakanlah di saat anda memiliki cengkraman ingatan pernah tenggelam waktu menyusuri sebuah sungai berarus di masa pramuka saat sekolah menengah pertama. Saat proses tergelincir, terseret arus, terbenam beberapa saat di dalam air, hingga anda selamat tentu perasaan anda yang bekerja saat itu sangatlah kuat. Anda tentu tidak menggunakan logika anda untuk menerima kejadian tersebut, namun perasaan anda yang menterjemahkan kejadian tersebut sebagai suatu kejadian yang menakutkan, membuat anda akhirnya takut ketika melihat sungai, laut, bahkan kolam renang pun anda pun mengeneralisasi ketakutan tersebut.
Perasaan yang menjadi bagian dari afeksi ini seketika itu pun bah gurita yang mencengkram ingatan anda terkait sungai berarus hingga air dalam tampungan besar seperti kolam renang yang membutakan rasionalitas anda sehingga anda mendefinisikan semua air yang ditampung dalam tempat yang luas adalah menakutkan.
Jika kita dibekali baik dari rumah atau pun dari sekolah untuk memahami bagaimana meregulasi perasaan, mempelajari ranah afeksi secara praktis dan juga memahami bagaimana cara mengelola perasaan tentu cengkraman ingatan tengelam saat itu tidak menghantui kehidupan kita hingga puluhan tahun lebih.
Ini bagian penting yang penulis temukan dari semua relasi yang penulis bantu untuk memahami perasaan yang muncul saat ingatan yang lampau yang menganggu itu mencengram mereka. Perasaan itu perlu dikenal labelnya, ada perasaan takut, perasaan khawatir, perasaan kecewa, dan lainnya, namun jika labelnya sulit ditentukan, penulis mengajak relasi penulis untuk mendeskripsikan dengan sebuah analogi. Apapun perasaannya, perasaan itulah yang membuat cengkraman ingatan itu mengurita.