Sekolah perlu sekali menjadi wadah yang menguatkan mental murid sejak dini
Minggu lalu berita utama di Harian Kompas mengangkat permasalahan calon dokter spesialis yang berupaya untuk mengakhiri hidupnya lantaran dengan segudang sebab yang melatarbelakanginya. Penulis ikut menyimak dari segala sudut pandang yang disampaikan oleh penulis berita hingga penulis opini terkait hal ini.
Beberapa renungan yang penulis dapatkan terkait hal ini adalah ternyata untuk dapat berdaya hidup atau berani untuk hidup lebih lama itu tidak mudah. Sulit sekali bagi kita untuk menyatakan diri agar berani menghadapi hidup kita dan untuk terus hidup dalam kehidupan kita.
Apalagi jika kita dalam kondisi yang tidak nyaman seperti yang dialami oleh para calon dokter spesialis yang terindikasi mendapatkan perundungan hingga perlakukan jam kerja yang melampui kebiasaan umumnya.
Salah satu rujukan yang disampaikan salah satu penulis opini di harian kompas yang menarik bagi penulis adalah pentingnya membangun kebiasaan menghadapi tekanan sejak dini, salah satunya dengan keberanian untuk mengkomunikasikan tekanan yang diperoleh kepada orangtua atau orang yang dipercaya agar dapat menurunkan tensi tekanan yang diperoleh.
Kebiasaan untuk bercerita menjadi penting untuk dijadikan pembelajaran yang dapat dilatih bagi para murid di sekolah. Penulis pernah mengembangkan sebuah program penguatan murid SMP dan SMA dalam mengkomunikasikan tekanan yang mereka peroleh selama di rumah dan di sekolah.
Penulis memanggil setiap murid dan mereka mendapat waktu maksimal 1 jam pelajaran untuk berdialog dengan penulis (sebagai kepala sekolah) dan guru BK atau BP.Â
Dalam dialog itu, penulis melontarkan pertanyaan yang menukik, mengarah langsung ke hal-hal esensi kehidupan murid yang penuh tekanan salah satunya terkait hubungan mereka dengan orang tua mereka dan juga dengan teman-teman mereka.
Isi pertemuan ini sangat rahasia, murid mendapat jaminan bahwa apa yang mereka alami tidak diceritakan kepada murid lainnya juga ke guru lainnya, namun dapat diceritakan ke orang tua mereka asalkan memang pantas untuk disampaikan dalam hal ini mendukung untuk ke solusi.
Para murid yang tertekan, awalnya terpatah-patah untuk bercerita, mereka sering diam, namun kami menggali terus, dengan beragam teknik komunikasi pendekatan.Â
Syukurlah sebagian besar murid bercerita dan meneteskan air mata mereka sebagai bentuk melepaskan tekanan yang mereka dapatkan selama ini. Setelah mereka menangis dan bercerita terkait tekanan yang mereka alami, kami meminta mereka untuk dapat memahami bahwa semua itu telah terjadi di masa lalu, dan mereka dapat merubahnya di masa depan dengan cara memaafkan dan mau merubah diri untuk lebih baik lagi ke depan.