Menengok Kedalam Keluhuran Ramadan
Ramadan adalah sebuah cerita tersendiri bagi penulis yang telah berbaur dengan sahabat penulis yang mayoritas beragama Islam. Lantaran penulis dari kelas 4 SD hingga kuliah selalu di sekolah negeri yang tentu sudah biasa dengan tradisi Ramadan.
Beberapa tradisi Ramadan yang menurut penulis sangat luhur adalah ketika para sahabat penulis yang hendak menjalankan ibadah di bulan Ramadan, mereka memulai dengan meminta maaf terlebih dahulu. Ini sungguh luar biasa, sahabat penulis menjelaskan bahwa permintaan maaf sebelum menjalankan ibadah di bulan Ramadan sangat penting agar ibadah yang dijalankan menjadi lebih memiliki kekuatan yang datang dari dalam alhasil dapat memperkuat mental menghadapi gempuran nafsu yang datang dari dalam diri.
Permintaan maaf merupakan suatu upaya diri yang aktif dan positif guna memberikan ruang pada mental untuk melepaskan ego sempit atas perbuatan-perbuatan masa lalu yang mungkin sengaja atau tidak segaja membuat orang lain menderita. Di saat kita berupa untuk meminta maaf tentu batin kita bereaksi hebat yaitu menahan ego yang umumnya ingin menang sendiri dan merasa paling benar. Hal yang tersulit yang dihadapi batin di saat meminta maaf adalah di saat tidak diberi maaf oleh orang yang dimintai maaf.
Di saat orang yang kita mintakan maaf tidak memberi maaf itu sebuah latihan batin tersendiri, hal ini menjadikan batin teruji apakah pernyataan permintaan maafkan adalah sungguh datang dari kalbu terdalam, atau hanya ala kadarnya saja. Jika permintaan maaf ini adalah suatu praktek luhur, maka di saat ada orang yang tidak memberi maaf, maka kita cukup merenungkan bahwa itu adalah urusan orang tersebut, karena kita cukup meminta maaf secara tulus. Kita tidak bisa mengatur cara orang lain berpendapat atau berpikir atas permintaan maaf kita. Karena itu, kita cukup mengatakan maaf sekali lagi untuk segala hal yang salah yang pernah kita lakukan.
Budaya lainnya yang menurut penulis sangat luhur adalah budaya mengunjungi makam leluhur atau keluarga sebelum memasuki ibadah di bulan Ramadan. Budaya ini menunjukkan praktek bakti itu hadir bukan hanya di saat leluhur atau keluarga dalam kondisi hidup namun juga dalam kondisi telah meninggal. Bakti yang ditunjukkan dengan menabur bunga, berdoa di dekat makam, serta berkumpul sesama keluarga di sekitar makam untuk mengenang kenangan baik bersama leluhur atau sekedar tegur sapa antar sesama keluarga.
Budaya bakti berkunjung ke makam ini juga merupakan penguatan batin agar mengembangkan ego agar tidak sempit dan mulai mengingat keluhuran budi dari para mendiang yang telah meninggal. Budaya ini mengajak para keluarga untuk membalas budi baik mendiang tidak hanya di saat mereka hidup namun juga di saat mereka telah meninggal.
Di saat ibadah Ramadan berlangsung, budaya berdoa dan mendengarkan kotbah setelah membatalkan puasa atau berbuka. Menurut penulis budaya ini juga merupakan suata keluhuran, selama kurang lebih 30 hari para sahabat yang menjalankan ibadah Ramadan setiap hari melakukan doa dan mendengarkan kotbah-kotbah penguatan batin tanpa absen. Di saat melakukan doa dan mendengarkan kotbah inspiratif tentu batin seseorang sangat terkendali dan menghindari mereka dari perbuatan-perbuatan buruk. Sikap tubuh yang dikendalikan lewat doa dan duduk manis mendengarkan kotbah inspiratif sangat kuat untuk membuat batin bebas dari nafsu serakah, nafsu benci dan tentu kebodohan batin. Batin yang terbebaskan dari nafsu serakah, nafsu benci serta kebodohan batin dapat membantu individu mengurangi penderitaan batinnya, hidup lebih sederhana, lebih bahagia dan tentu mendukung untuk fisik lebih sehat.
Ada budaya lainnya yang menurut penulis menjadi suatu yang istimewa dalam bulan Ramadan adalah budaya bangun subuh sebelum jam 4 pagi, di saat bangun subuh ini dilakukan, tentu para sahabat yang menjalankan ibadah Ramadan cenderung tidur jadi lebih awal agar dapat memenuhi total jam istirahat normal sekitar 6-8 jam. Tubuh otomatis menjadi lebih sehat jika kita tidur teratur dan bangun subuh. Saat tubuh beristirahat sebelum jam 11 malam dan bangun sebelum jam 5 pagi membantu metabolisme tubuh secara teratur dan cenderung mendukung untuk lebih sehat.
Penulis memperhatikan para sahabat penulis yang menjalankan ibadah Ramadan cenderung lebih sehat daripada di saat mereka tidak menjalankan ibadah Ramadan, hal ini sangat dimungkinkan salah satunya karena budaya tidur sebelum jam 11 dan juga bangun sebelum jam 5.
Budaya buka bersama pun menurut penulis merupakan budaya yang luhur yang memberi arti sebuah kekuatan dari kepedulian, keakraban, keharmonisan, serta juga kekeluargaan antar yang beribadah Ramadan dengan yang tidak. Acara buka bersama sering kali penulis pun diundang untuk hadir bersama para sahabat yang menjalankan ibadah Ramadan. Bahkan di saat penulis menjadi kepala sekolah pun walau pendidik dan tenaga kependidikan kami minoritas, namun kami tetap menjalankan ibadah buka bersama sebagai praktek kekeluargaan, keharmonisan, keguyupan, kepedulian.
Di saat buka bersama, kita bisa saling berbincang-bincang yang seru dan lucu, tatap muka satu sama lainnya, melepas kepenatan rutinitas, merasakan kehadiran orang lain yang menguatkan, menjadikan pertemanan yang lebih solid, yang lebih menyatu bebas dari fitnah, bebas dari gosip dan bebas dari iri dan dengki.
Setelah berakhirnya Ibadah Ramadan, budaya yang juga luhur adalah saling memaafkan, berkunjung dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor, dari instansi ke instansi serta dari negara ke negara untuk sebuah budaya yaitu saling memaafkan. Dari usia anak hingga usia tua, semua saling bermaafan. Budaya ini melahirkan kembali pribadi yang tidak menyimpan benci dan dendam, pribadi yang terbuka, pribadi yang memberi kesempatan orang lain dimaafkan dan ruang bagi diri sendiri untuk merelakan diri meminta maaf.
Kekhasan budaya di bulan Ramadan ini mungkin menjadi kekhasan peribadahan Ramadan khusus di negara kita Indonesia, dan budaya ini secara turun temurun tak tergantikan walau kecanggihan teknologi dan mesin pintar atau mesin belajar telah hadir bersama kita. Semoga budaya ini pun dapat menjadi pembiasaan bangsa Indonesia di setiap bulannya bahkan di setiap momen kehidupan berbangsa dan bernegara. Berawal dari budaya yang luhur di sanalah lahir bangsa yang penuh keharmonisan, kehangatan, kebersamaan serta kepedulian antar manusia dan alam semesta, sehingga kelak bangsa ini menjadi bangsa yang berbudi luhur yang menarik untuk dijadikan tempat untuk investasi batin dan fisik atau material.
Selamat menunaikan ibadah Ramadan untuk para sahabat yang menjalankannya, semoga kita semua semakin mantap dalam keluhuran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H