Kemarin sore, penulis mendapat sebuah inspirasi di saat penulis mendengar cerita dari salah seorang Ibu yang kerap penulis sebut sebagai Ibu angkat. Beliau mengutarakan cerita terkait kebahagiaan dalam perjalanan kehidupan.
"Usia  tua bukanlah jaminan sebuah kebahagiaan, semakin tua bukan berarti kita semakin mudah bahagia". Petikan kalimat yang disampaikan sang Ibu angkat ini, membuat penulis tergoda untuk membahasnya dalam tulisan ini.
Kita sering mendapat pertanyaan ini dari teman atau orang yang baru kita kenal," Apa kabar?" dan kita pun sering menjawab dengan cepat dan sederhana, "Baik". Kebiasaan menjawab dengan kata "Baik", telah menjadi pembendaharaan kata kita dan hal ini tentu mengundang kita untuk hidup baik-baik saja.
Kata baik dalam terminologi ini tentu bermakna bahwa kita sedang dalam kondisi baik, tidak sakit. Kita lebih sering fokus kepada kondisi fisik kita sehingga kita menjawab di saat ditanya "Apa kabar?". Fisik menjadi sesuatu yang mudah kita lihat dan kita pastikan baik.
Penulis menantang kepada para pembaca, bagaimana jika ditanya, "Apa kabar?" pembaca berani untuk menjawab, "Saya Bahagia". Coba pembaca menyelami rasa yang muncul di saat pembaca menyatakan, "Saya bahagia"!. Ada suatu rasa yang kuat yang hadir di saat kita menyatakan, "Saya bahagia" di antaranya muncul rasa bahagia, rasa syukur, rasa gembira dan ceria, rasa legah, rasa terlepas dari segala beban masalah, dan tentu ada rasa terbebaskan.
Walau rasa bahagia yang muncul hanya sebuah momen yang singkat, namun itu menjadi bagian yang amat penting untuk kita bangkitkan sesering mungkin. Ingatlah bahwa kehidupan kita ini sangat singkat, dan penuh ketidakpastian, untuk itu momen bahagia perlu kita ciptakan sesegera mungkin dan sesering mungkin, karena kita semua setuju bahwa kehidupan yang kita jalani sejak kita lahir hingga menuju kematian adalah untuk menjadi bahagia.
Ada sebuah dialog klasik yang sering kita dengar dari beberapa tautan kebijaksanaan. Seorang ditanya apa yang ingin ia capai dalam hidupnya, ia menjawab dengan cepat,"Mau cepet selesai sekolah, terus bisa kuliah". Di saat selesai kuliah, pertanyaan yang sama ditanyakan,"Apa yang ingin kamu capai setelah lulus kuliah?". "Aku ingin bisa dapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi". "Setelah dapat pekerjaan dan mendapat gaji yang tinggi, apa yang ingin kamu capai berikutnya?", "Aku ingin dapat menikah, memiliki 2 orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan".
"Selanjutnya setelah kamu menikah dan memiliki 2 orang anak, satu laki-laki dan satu perempuan, apa yang ingin kamu capai lagi?". "Aku ingin punya rumah dan mobil pribadi dengan brand yang terkenal". "Lalu setelah rumah dan mobil dengan brand terkenal telah kamu punyai, apa yang ingin kamu capai berikutnya?". "Aku ingin punya pesawat pribadi, sehingga aku bisa keliling dunia bersama keluargaku".
"Sampai di usia yang sudah cukup tua saat ini, apakah kamu sudah bahagia, dengan segala pencapaian yang kamu raih sebelumnya?". "Aku tidak sempat menikmati semuanya, karena aku terlalu sibuk untuk mencapai semua yang ingin ku capai, aku akhirnya tidak dapat menjadi bahagia karena waktu yang ada ku habiskan untuk mengapai impian ku".
"Semua yang ku miliki saat ini tidak dapat ku nikmati karena aku sudah renta dan sulit untuk beraktivitas lagi. Saat ini aku jauh dari kebahagiaan ku, aku terlilit oleh ambisi ku yang tak kunjung padam. Kini ku paham bahwa bukan menikah, anak, rumah, mobil, pesawat pribadi yang dapat membuat ku bahagia, tetapi niat bahagialah yang dapat membuat ku bahagia, sekarang dan di sini. Andai aku tahu sejak aku masih muda, maka aku tentu sangat bahagia saat ini".
Dialog di atas menjadi cerminan yang nyata yang sering sekali kita lakukan untuk menjadi bahagia. Kita melupakan orang yang paling dekat dengan kita dan  kita terus menjauh dari mereka terus bergerak menuju ke angan-angan kita, alhasil kita menjadi pribadi yang tidak bahagia dan dijauhi oleh kehangatan dari orang-orang dekat kita yang ada di sekitar kita. Pembiasaan yang kita bangun ini menjadikan kita seorang manusia yang jauh dari nurani humanis, sehingga pada waktunya di usia senja kita hanya menyesal dengan piluh, tiada orang yang dapat menghangatkan kita di saat kita kedinginan, tiada orang yang mendengarkan kita di saat kita ingin bercerita, tiada orang yang menanyakan kita di saat kita ingin berbincang, tiada orang yang menyapa kita di saat kita ingin berkabar.