Suatu ketika di saat saya bertugas sebagai kepala SMP-SMA di sebuah sekolah swasta, saya mendapat panggilan darurat dari ketua OSIS, "Mr. Frengky, saya perlu Mr. Frengky untuk hadir, ini penting sekali", "Ow ada apa?, kok dadakan?". "Pokoknya penting, ayo ke ruangan pertemuan!". Tanpa pikir panjang, saya langsung bergegas bersama ketua OSIS SMA dan rekannya menuju ke ruang meeting.
Ternyata di ruang meeting ini sudah berkumpul seluruh murid saya dan saya barulah sadar kalau ini sebuah gerakan demo ala murid milenial. Mereka tidak setuju dengan keputusan tertentu yang kami buat di sekolah, lalu mereka meminta untuk mendiskusikan kembali aturan tersebut. Aturan yang mereka tidak setuju yaitu terkait penggunaan smartphone di lingkungan sekolah. Para murid SMA tidak setuju aturannya disamakan dengan murid SMP yaitu mendepositkan smartphone mereka di box yang disediakan. Alasan mereka sederhana, "Kami bukan murid SMP lagi, beri kami kepercayaan untuk mengatur penggunaan smartphone kami".
Syukurlah, saya sebagai kepala sekolah terbiasa membuka ruang komunikasi bersama murid. Saya sering makan siang bersama mereka di kantin sekolah, bermain basket atau berolahrga bersama mereka, berdiskusi dengan mereka sehingga mereka menerima saya bukan karena takut sebagai kepala sekolah, mereka menerima saya sebagai kepala sekolah yang dapat berdialog dan tanpa aturan birokrasi yang super ribet.
Setelah mendengar orasi sopan mereka waktu itu, saya memandang ke arah mata para murid yang diam-diam melakukan demo yang apik tanpa sepengetahuan saya. Mereka memberikan kesempatan saya untuk memutuskan hal yang mereka sampaikan.Â
"Saya setuju jika kalian hendak membuat kalian lebih berbeda dengan adik kelas kalian, namun sebelum saya memutuskan, saya minta kalian menjawab pertanyaan saya terlebih dahulu, kalian siap?", "Siap Mr. Frengky", riuh murid dalam ruang terdengar kompak.Â
"Baik, jika usulan kalian saya restui, artinya kalian dapat membawa smartphone kalian dan hanya digunakan di jam istirahat dan pulang sekolah tidak selama pembelajaran, kalian setuju?", "Setuju, Mr. Frengky".Â
"Lalu jika ada di antara kalian yang melanggar aturan ini apa sanksinya?", beragam usul muncul dari yang sanksi singkat hingga yang jangka panjang.Â
"Baik, saya minta ketua OSIS yang mengundang saya untuk memberi usulan terkait sanksi ini". Sang ketua OSIS akhirnya mulai mendengarkan beberapa usulan dari peserta demo, dan akhirnya ia mengusulkan,"Mr. Frengky, sanksinya smartphone-nya di sita selama 1 minggu".Â
"Oke, pertanyaan berikutnya, jika orang yang sama melakukan pelanggaran yang sama, apa sanksi untuk orang ini, apakah sama atau berbeda?", sontak salah satu murid bersuara lantang, "Dihukum lebih berat Mr. Frengky, dengan menyita smartphone selama 1 bulan", "Baik usulan ini bisa diterima?".Â
"Kami terima Mr. Frengky" jawab para murid yang dengan pikiran logisnya menerima usulan temannya. "Berikutnya jika orang yang sama melanggar hal yang sama untuk ketiga kalinya, apa sanksi untuk orang tersebut?" lanjut saya untuk memastikan semua kemungkinan pelanggaran. "smarphone-nya disita sampai siswa lulus baru dikembalikan", sahut ketua OSIS yang dengan lantang memastikan ketegasan dalam cara ia berpikir.
Suatu ketika, setelah acara demo selesai, dan kami sepakat dengan aturan yang dibentuk, saya menemukan sang ketua OSIS yang melanggar aturan yang disepakati.Â
Sang ketua OSIS ini tanpa penolakan atau bahkan tanpa ragu langsung memberikan smartpohonenya dengan suka rela. Begitu juga murid-murid lainnya, mereka yang melanggar dan ketahuan langsung menyerahkan smartphone-nya tanpa keras kepala untuk menolak.
Apa yang saya ceritakan di atas adalah kejadian nyata yang saya hadapi waktu itu sebagai kepala sekolah untuk murid SMP dan SMA. Saya belajar dari mereka dengan cara dekat dengan mereka, bukan hanya melalui teori perkembangan atau teori komunikasi, tapi saya juga benar-benar bersama mereka untuk memahami cara mereka berpikir.Â
Pembelajaran yang saya peroleh waktu itu, saya menjadi tercerahkan terkait bagaimana ego sebagai kepala sekolah jika tidak diarahkan dengan baik akan membuat kepala sekolah menjadi sosok yang menakutkan, menegangkan hingga membinasakan karakter murid-muridnya.Â
Bersama mereka, kita tidak perlu mengubah mereka secara langsung, cukup tunjukan bahwa kita hendak mendengarkan mereka, memahami mereka, juga mengajak mereka untuk lebih baik dalam memanfaatkan momen remaja mereka. Mereka bukan manusia labil atau manusia intoleransi atau manusia nakal, namun mereka adalah manusia yang dinamis, kreatif dan penuh semangat juang.
Hidup bersama remaja memerlukan kebesaran hati kita untuk menerima kedinamisan mereka. Remaja hari ini biasa menyatakan suka dan tidak suka secara gamblang kepada pendidiknya, dan jika pendidiknya tidak berhati besar maka sulit bagi pendidik untuk memahami maksud baik dari suka atau tidak sukanya mereka.Â
Remaja sangat kuat dalam pemahaman arti mana yang patut dan mana yang tidak patut, asalkan pendidik mau memberikan ketegasan bukan kekerasan dan juga lebih banyak mendengarkan bukan menasehati, maka remaja mudah untuk luluh dan mau untuk bersama-sama berjuang untuk sebuah prestasi.
Pengalaman saya bersama remaja SMA waktu ujian nasional masih menjadi momok, serta profil sekolah sangat ditentukan oleh nilai ujian nasional. Walau di SMA yang saya pimpin waktu itu, input siswa beragam dengan prestasi akademis yang terbatas. Saya bersama guru bekerjasama dengan para remaja ini untuk mendongkrak mereka agar mendapatkan peringkat baik SMA di provinsi.Â
Alhasil kami berhasil menduduki peringkat SMA swasta terbaik di provinsi DIY waktu itu di dua program IPA dan IPS. Ini merupakan prestasi yang gemilang, dan saya dan tim SMA sangat bahagia sekali, karena dapat membuktikan kepada masyarakat khususnya orangtua murid SMA bahwa para murid mampu berjuang mencapai titik terbaik baik di usia SMA.Â
Inilah penting sekali untuk berhati besar, kurangi ego sebagai pendidik, lebih banyak mendengar, tegas, terus bersama mereka, jadikan mereka bagian dari sekolah, ajak mereka terlibat menentukan aturan sekolah, adakan pendekatan informal yang santai tetapi bermakna, terima kritik dan saran dari mereka, serta beri mereka kesempatan untuk bangkit menjadi bagian pembinaan remaja yang perlu diperhatikan.Â
Semoga sharing ini memberikan inspirasi kepada para pendidik dan orangtua yang sedang bersama remaja SMA khususnya, alhasil kita dapat kurangi dampak negatif dari kenakalan remaja yang marak terjadi di negara ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H