[caption id="attachment_237279" align="aligncenter" width="640" caption="Old Montreal"][/caption]
Selalu ada cerita menarik di setiap perjalanan. Ketika saya harus menghadiri konferensi di Montreal, Canada, ada cerita yang rasanya waktu itu menjengkelkan, tetapi menjadi cerita yang unik bila dikenang kemudian.
Untuk masuk ke negara Canada, orang Amerika tidak memerlukan visa dan demikian pula sebaliknya. Tetapi bagi mahasiswa internasional seperti saya, tetap harus mendapatkan visa untuk bisa masuk ke negara itu. Mungkin karena pencari visa dari Amerika jarang dan pasti bukan penduduk Amerika, pelayanan pemberian visa di kedutaan Canada tidak terlalu bagus. Butuh waktu lama dan kedutaan tidak menyediakan kontak bila pelamar ingin mengecek progres perolehan visanya. Waktu itu saya mengirim lamaran visa tersebut ke kantor kedutaan Canada di Washington DC.
Saya janjian dengan teman-teman untuk berangkat di suatu hari Sabtu di bulan Maret karena pembukaan konferensi hari Minggu malam. Kebiasaan saya, kalau bepergian saya memesan tiket dan hotel agak awal melalui internet agar mendapat hotel yang tidak terlalu jauh dari lokasi konferensi. Tetapi karena tidak kunjung mendapatkan kepastian akan visa, saya tidak berani memesan tiket pesawat dan hotel, sementara teman saya, Jenny, menunggu saya karena kami janjian untuk sharing kamar hotel.
Singkat kata, setelah hampir menyerah, hari Kamis saya ditelpon oleh petugas dari Kedutaan Canada bahwa visa saya diberikan tetapi mereka tidak ingin mengirimkan paspor saya melalui jasa pos karena pasti tidak keburu. Akhirnya saya harus mengontak teman di Washington DC untuk mengambilkan paspor tersebut dan minta tolong untuk mengirimkan dengan jasa pengiriman satu hari.
[caption id="attachment_237281" align="aligncenter" width="600" caption="Montreal skycraper"]
Setelah mendapat kepastian visa saya berbagi tugas dengan Jenny, saya memesan tiket pesawat dan Jenny yang mencari hotel secara online, sementara teman-teman yang lain sudah berangkat duluan. Berhubung memesan secara mendadak dan pengin berangkat diakhir pekan (Minggu) harga tiketnya selangit. Akhirnya kami sepakat berangkat hari Senin, toh presentasi saya masih hari Kamis. Itu pun kami harus berangkat dari bandara Jacksonville, sekitar 3 jam perjalanan dari kota dimana kami tinggal. Bukan itu saja, Jenny yang mencari hotel bilang bahwa alternatif hotel yang dia pilih ternyata baru tersedia Selasa siang, tetapi harganya miring. Waduuuh… terus gimana dengan Senin malamnya? Jenny rekomen untuk mengambil hotel itu karena hotel-hotel lain penuh, mungkin karena ramainya acara konferensi, sementara Senin malamnya bisa istirahat di bandara toh nyampainya tengah malam. Deg… istirahat di bandara? Bagaimanamandinya, bagaimana sholatnya…? Selain itu, saya memikirkan Jenny yang stylenya seperti seoranglady, rapi dan feminin banget, bagaimana mungkin mau ngemper di bandara. Tetapi saya sudah tidak punya waktu menimbang karena ada kekhawatiran hotel itupun akan dibook orang lain kalau kami tidak segera memutuskan. Bahkan mengecek situs hotel yang dipesan Jenny pun saya tidak sempat.
Hari Senin saat keberangkatan, Jenny menjemput ke apartemen saya. Ketika kami cek terakhir bawaan, sebenarnya saya agak heran karena teman saya ini kok membawa sprei (bed sheet). Bukankah di hotel pasti sudah disediakan dan bisa minta ganti kapan saja. Jenny hanya menjelaskan… buat jaga-jaga. Maka mulailah perjalanan kami ke Montreal.
Singkat cerita, setelah perjalanan ke Jacksonville dan transit di bandara O’Hare, Chicago, tengah malam kami tiba di bandara Trudeau, Montreal. Kami pun berjalan cepat untuk mencari ruang dimana bisa beristirahat. Saya berharap setidaknya ada ruang tunggu dengan sofa sehingga bisa menyandarkan badan. Ternyata di ruangan yang kami temukan sudah ada beberapa orang mendahului kami dan memakai dua set sofa di ruang tunggu. Terpaksa kami duduk di bangku tanpa sandaran. Tak disangka, Jenny yang feminin langsung pules berbaring miring berselimut mantel di salah satu bangku. Karena tidak merasa mengantuk dan tidak yakin bisa tidur di atas bangku, kemudian saya membuka laptop. Dengan fasilitas wi-fi gratis bandara saya kontak teman karib saya di Indonesia melalui Skype… pengin ngadu. Boro-boro kasihan, saya malah diketawain habis: “Gayane meh konferensi tibake dadi gelandangan…ha ha ha”. Sial! Setelah beberapa jam kontak keluarga dan internetan, menjelang pagi rupanya saya tidak sanggup juga menahan lelah dan kantuk. Saya tertidur duduk diatas kopor dan meletakkan kepala di bangku dengan menutupi kepala dengan hood jaket saya. Ketika terbangun…astaga hari sudah terang dan orang berlalu lalang. Benar-benar seperti “gepeng”… he he… tapi saya pikir EGP deh, nggak kenal ini. Sementara saya lihat Jenny sudah rapi dan cantik. Kemudian saya cepat-cepat ke restroom, membersihkan badan sebisanya dan bedakan dikit (Hi hi hi… nggak mandi cuma fotocopy). Setelah itu kami menuju ke hotel lokasi konferensi dengan shuttle bus, dan barang bawaan kami titipkan ke petugas hotel.
Setelah registrasi, mendapatkan bahan-bahan dan jadwal konferensi, bertemu teman-teman lain yang sudah duluan tiba, dan mengikuti beberapa acara konferensi hari itu, sorenya kami menuju hotel. Kami bertanya kepada petugas hotel arah dan transportasi menuju hotel kami. Untuk ke hotel tersebut ternyata kami harus naik kereta bawah tanah (Metro) dan kami menandai peta dimana stasiun kami harus berhenti.
[caption id="attachment_237285" align="aligncenter" width="500" caption="Peta kereta bawah tanah Metro, Montreal"]
Jalan menuju stasiun Bonaventure harus turun ke lantai bawah hotel dan kami harus berjalan kira-kira 300 meter. Jalan di bawah tanah tersebut seperti berjalan di koridor mal-mal di Jakarta, berlantai keramik sehingga kami tidak kesulitan menyeret kopor yang berat. Jalan melewati banyak pintu dan belok ke kiri ke kanan. Dibanding kota-kota besar lain yang pernah saya kunjungi, subway/Metro di Montreal paling nyaman. Mungkin karena Montreal bukan mega city, dibanding dengan misalnya New York yang subwaynya nyebelin dan petugasnya nggak friendly, maka lalu lintas Metro di Montreal sangat simple dan efisien, dan petanya pun sangat mudah dibaca. Kita hanya perlu menemukan stasiun dan lintasan yang tepat. Kereta melintas setiap 4 menit, jadi kalau ketinggalan tidak terlalu lama menunggu kereta berikutnya. Kami sudah diwanti-wanti petugas hotel untuk turun di stasiun Mont-Royal, 5 stasiun dari Bonaventure. Tanpa banyak kesulitan kami keluar dari stasiun tujuan menuju jalan raya untuk menemukan alamat hotel kami. Di luar rupanya hujan turun tidak terlalu deras tetapi tetap memaksa kami memakai payung. Kami sudah tahu dari ramalan cuaca bahwa selama 4 hari kami tinggal, Montreal diprediksi akan selalu turun hujan…hiks.
Berbekal peta kota Montreal, berpayung di bawah hujan, menggendong ransel di punggung dan menyeret kopor, kami berjalan mencari alamat hotel kami. Jalan untuk pedestrian yang terbuat dari con-block membuat kami agak berat menyeret kopor. Setiap berjalan 10 meter Jenny berhenti, demikian berkali-kali, dia tampak kelelahan. Dia bilang: “Aku nggak sanggup membawa koporku.” Hmm…seperti yang saya duga lady satu ini tidak biasa angkat berat. Akhirnya tidak ada jalan lain, saya menutup payung, menutup kepala dengan hood jaket dan meraih kopornya… astagaaaa… ternyata kopornya beratnya satu ton (Berat bangeeeeet! Hari berikutnya dia mengaku kalau membawa sepatu ganti saja 3 pasang). Dengan ransel berat mengantung di punggung saya menyeret dua kopor berat di bawah terpaan air hujan, perut lapar, dan udara dingin (awal musim semi masih cukup dingin di Montreal). “Ah.. sebentar lagi sampai di hotel, saya bisa segera mandi, memesan makan malam, dan tidur sepuasnya”, demikian pikir saya. Saya berjalan dengan penuh harap segera sampai, satu blok, dua blok, tiga blok… kok saya tidak melihat ada bangunan hotel sama sekali di depan. Saya mulai was-was karena sepanjang jalan tersebut merupakan jalan kota tua dengan bangunan tua rumah-rumah penduduk. Tetapi jalan yang kami cari sudah benar, jadi mestinya tidak tersesat.
[caption id="attachment_237287" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana lengang di sepanjang jalan menuju lodge, bunga mulai bersemi"]
Ketika kami menemukan alamat yang kami cari, di hadapan saya adalah rumah tua berlantai tiga, yang jelas tidak ada mirip-miripnya sedikitpun dengan hotel dan blas tidak ada papan nama hotel. Pasti salah!! Berkali-kali saya melihat catatan alamat dan kembali melihat alamat rumah tersebut. Cocok! Saya panik… berdiri kaku sambil memandangi bangunan tua dan kusam dengan tangga besi melingkar ke atas tersebut. Berkali-kali saya memandang Jenny menuntut penjelasan, tapi matanya menghindar dari mata saya. Setelah beberapa lama berdiri, pintu di lantai dua terbuka dan seorang laki-laki muncul di pintu. “Are you Pierre?” tanya Jenny dari bawah. Rupanya ketika memesan hotel tersebut lewat internet, Jenny berkomunikasi dengan pemiliknya yang bernama Pierre. Karena dongkol saya ogah naik sambil bawa kopor-kopor berat menaiki tangga besi yang licin tersiram air hujan. Akhirnya si Pierre turun dan mengangkut kopor kami.
Ketika masuk ke pintu di lantai dua tersebut saya mencoba menduga apa yang ada di dalamnya. Dalam hati saya berkhayal mungkin saja bangunan ini hanya jelek di luarnya, di dalamnya mungkin sudah direnovasi menjadi kamar-kamar yang setidaknya sekelas hotel melati di daerah wisata di Indonesia. Begitu pintu terbuka, dibalik pintu ada meja persegi dan kursi sederhana untuk registrasi…tetapi begitu memandang keliling ruangan berukuran kira-kira 6x8 meter itu…oh my God…ada 3 tempat tidur bertingkat yang dipaksakan muat disitu dan semuanya penuh terisi, di depannya dibentangkan tali yang disampiri entah gordin beneran atau sprei untuk sekedar menutupi. Saya terbungkam tidak bisa bicara apa-apa lagi. Setelah Jenny selesai urusan registrasi, seperti orang lingung saya berjalan mengikuti Pierre dan Jenny menuju kamar kami… melewati meja yang berantakan penuh barang-barang, kemudian belok kiri ke dapur. Persis sebelah dapur itu lah “kamar” kami, ruangan berukuran 2x3 meter dengan kasur digelar dilantai dan dua bantal. Hanya itu thok, tak ada yang lain. Saya terduduk tidak bisa bicara apa-apa lagi, baru menyadari kalau yang dipesan Jenny ternyata bukan hotel tetapi semacam lodge untuk para backpacker transit beristirahat sementara. Dan kami tidak transit, tapi harus tinggal disitu selama 3 malam! Terjawab sudah kenapa Jenny membawa sprei dari rumah. Belum lagi kamar mandi yang dipakai oleh semua orang, laki-laki dan perempuan, dan untuk mencapainya pun harus melalui lorong yang dipinggir-pinggirnya ada dipan-dipan berisi orang tidur. Dalam hati gondok bin dongkol karena tidak diberi tahu sebelumnya, tapi saya terlalu lelah untuk bicara. Hilang begitu saja rasa lapar yang tadi melilit perut saya.
Sebenarnya saya bukan tipe orang yang terlalu rewel karena saya juga menyukai perjalanan, tetapi kali ini tidak mengira saja, pun tidak mempersiapkan bawaan selayaknya backpacker. Untuk konferensi semacam itu saya membutuhkan setidaknya meja dan kursi di kamar untuk menyiapkan presentasi dan kegiatan harian konferensi. Malam itu saya hanya ingin tidur dan melupakan ada dimana. Akhirnya saya mandi cepat-cepat, sholat dan kemudian merebahkan diri…I missed my bed! Jenny terlihat geli melihat kegalauan saya. Akhirnya saya jatuh tertidur kelelahan. Paginya saya bangun jam 5 karena ingin memakai kamar mandi yang pertama dan memastikan orang-orang yang tidur di lorong menuju kamar mandi belum bangun. Setidaknya mengurangi rasa tidak nyaman saya. Jam 6 pagi gantian Jenny mandi dan…astaga… dia kembali dari kamar mandi melewati lorong itu hanya dengan berlilit handuk di badan. Speechless!!! Terlalu jauh beda budaya kami.
Saya mempersiapkan diri untuk pergi ke tempat konferensi dengan membawa segala yang saya butuhkan dari laptop, kamera, payung, dan membawa baju ganti yang lebih santai untuk jalan. Saya tidak ingin terkurung di kamar lodge dan bertekad berada di luar selama mungkin. Saya tahu Jenny tidak suka jalan, jadi saya berencana jalan sendiri setelah acara seminar selesai hari itu. Saya juga menolak sarapan sereal yang disediakan lodge…dendam dengan tempat itu…hi hi hi.
Hari Rabu itu ternyata saya seharian mengikuti acara konferensi. Selain itu di luar juga hujan deras tak henti-henti. Setelah acara selesai, akhirnya saya hanya duduk di lobby hotel sambil mempersiapkan presentasi esok hari. Jam 9 malam saya kembali ke lodge, bersih-bersih diri, sholat dan langsung berbaring meresapi indahnya kamar sampai terlena ke alam mimpi.
[caption id="attachment_237363" align="aligncenter" width="640" caption="Olympic Stadium"]
Hari Kamis pagi giliran presentasi dan setelah itu saya hadir di beberapa sesi presentasi lain yang menarik minat saya. Jam 2 siang, setelah makan siang, saya berencana jalan keluar meskipun di luar gerimis dan mendung masih menggayut. Turun ke stasiun dan naik Metro ke jurusan yang membawa saya ke Olympic Stadium. Saya ingin mengunjungi stadium yang dulu dibangun untuk Olimpiade Musim Dingin. Sesampai disana, stadium yang sangat megah itu sepi pengunjung, mungkin karena cuaca yang kurang bersahabat atau memang tak banyak yang berminat. Saya naik ke tower untuk melihat Montreal dari atas. Namun karena cuaca, pemandangan dari atas tidak terlalu jelas. Saya turun dan berkeliling mengambil gambar dan meninggalkan stadium. Karena belum pengin balik ke lodge saya melanjutkan perjalanan ke tempat lain.
[caption id="attachment_237382" align="aligncenter" width="576" caption="St. Jacques Street yang basah terguyur hujan rintik"]
Mengunjungi kota besar, saya selalu ingin melihat kota tuanya. Dimana-mana kota besar selalu tipikal dengan gedung-gedung tinggi, keramaian, dan pusat perbelanjaan. Dalam persepsi saya, kalau ingin melihat sesuatu yang khas tentunya harus melihat cikal bakal kota tersebut. Mungkin juga karena ketertarikan saya akan sejarah dan arsitektur, karenanya saya ingin mengunjungi kota tua, Old Montreal. Ada beberapa tempat yang ingin saya lihat di Old Montreal. Montreal adalah ibukota negara bagian Quebec yang 70% penduduknya berbahasa Perancis dan hanya sekitar 15% dari mereka berbahasa Inggris, sementara 15% lainnya berbahasa lain. Dominannya Bahasa Perancis karena koloni yang menduduki Montreal adalah bangsa Perancis yang menjuluki kota Montreal dengan Ville-Marie atau City of Mary. Dengan berbekal peta dan bertanya kepada orang setempat, saya tidak kesulitan menemukan Old Montreal. Menyusuri jalan di kota tua tersebut sambil menikmati rintik hujan dan suasana jalan dengan deretan bangunan bergaya Perancis. Tanpa saya sadari hari mulai gelap tetapi terlihat Notre Dame of Basilica di depan, bangunan gereja tua yang megah. Saya menduga bangunan bergaya gothic itu arsitektur interiornya pasti menarik. Ketika sampai di bangunan gereja itu, petugas di depan pintu bilang kalau jam kunjungan sudah selesai, besok pagi saya akan kembali.
Hari Jumat adalah hari terakhir di Montreal dan penerbangan kami jam 7 malam. Kamis malam itu saya membereskan semua bawaan karena paginya masih ingin melanjutkan acara jalan-jalan mengunjungi Old Montreal, sementara Jenny memilih tinggal di lodge karena nantinya semaleman kami akan ada di perjalanan. Jumat pagi saya meninggalkan lodge jam 8.30 dan berjanji kepada Jenny akan kembali pukul 3 sore.
[caption id="attachment_237375" align="aligncenter" width="500" caption="Desain interior langi-langit Marie du Monde yang menakjubkan"]
Sebelum ke Old Montreal saya mampir ke Catedral Reine Marie du Monde tak jauh dari hotel tempat konferensi, Hotel Queen Elizabeth. Ketika masuk dalam katedral itu sudah banyak pengunjung disana. Ornamen interior warna kuning keemasan dalam katedral sungguh cantik. Namun saya tidak mengerti fungsi-fungsi tata ruang gereja dan saya tidak sempat bertanya kepada guide karena si guide sibuk dengan pengunjung yang lain. Jadi saya hanya melihat keliling dan mengagumi detail ornament interiornya.
[caption id="attachment_237377" align="aligncenter" width="640" caption="Notre Dame of Basilica di ujung jalan dari Place d"]
Selanjutnya saya meneruskan menyusuri jalan di Old Montreal, dari Bonaventure ke stasiun Place d’Armes. Ketika keluar stasiun saya melewati hotel Place D’Armes dengan bangunan tua khas Perancis, Bank of Montreal yang berhadapan dengan Notre Dame of Basilica. Kemudian saya memasuki antrian panjang untuk masuk ke gereja Notre Dame of Basilica. Bangunan bergaya gothic ini merupakan gereja terbesar kedua di Montreal. Dengan membayar $5 saya masuk ke dalam gereja yang sudah dipenuhi pengunjung. Suasana di dalam agak gelap, saya tidak tahu apakah penerangan di dalam gereja memang demikian atau disengaja untuk memaksimalkan pemandangan interiornya. Karena saya tidak bisa bertanya kepada guide yang sangat sibuk, akhirnya saya hanya mengambil gambar dan menikmati indahnya desain interiornya. Lampu-lampu yang tidak terlalu terang menciptakan cahaya dramatis kebiruan pada ornament dan detail bagian dalam gereja yang membuat terlihat makin manakjubkan. Karena tidak punya banyak waktu kemudian saya segera keluar setelah cukup mengambil gambar.
[caption id="attachment_237384" align="aligncenter" width="640" caption="Detail ornamen dengan cahaya kebiruan yang dramatis"]
Keluar dari gereja saya menyusuri St. Jaques Street yang merupakan Wall Streetnya Montreal jaman dulu, dan kemudian ke Sainte Helena dan Recollete Street, juga melewati City Hall yang dulu pernah terbakar pada tahun 1922 dan museum Chateau Ramezay. Namun tidak sempat memasuki satu per satu bangunan tersebut karena waktu saya tidak banyak. Namun cukuplah saya melihat Old Montreal. Kemudian saya kembali ke lodge melalui stasiun Champ de Mars.
[caption id="attachment_237386" align="aligncenter" width="640" caption="Salah satu sudut dari museum Chateau Ramezay"]
Pukul 3 siang saya dan Jenny meninggalkan lodge untuk makan siang dan meneruskan perjalanan kembali melalui bandara Trudeau. Menginap di lodge yang tidak nyaman telah membuat saya tak sengaja menjadi backpacker untuk menikmati Montreal lebih banyak. Meskipun hanya sebagian yang bisa saya lihat, cukuplah perjalanan backpacking saya untuk melihat indahnya Old Montreal. Sungguh saya tidak menyesal karenanya. Au revoir Montreal… selamat tinggal Canada… sampai ketemu di kotamu yang lain.
~ * ~
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H