tak ada yang paling basah, dari darah yang muncrat sia-sia. pertarungan ini, pertarungan untuk apa ? jika karena dendam, dendamnya karena apa ?
pertanyaan itu terus saja menyelubungi benak saya, waktu selesai menonton berita di TV : anak sma negeri 6 jakarta tewas karena tawuran. saya mencoba merunut lagi peristiwa demi peristiwa yang pernah saya alami - peristiwa yang sempat membuat saya marah besar, membuat saya berkelahi, diwaktu saya seusia mereka. ah, bukan karena sok baik atau sok suci, saya baru sekali saja beradu fisik, bahkan sudah lama sekali, seingat saya waktu kelas 4 SD.
waktu itu saya berkelahi dengan kawan saya, Gumilar. seorang kawan yang kebetulan lebih tua 2 tahun, satu kelas dengan saya karena sempat satu kali tak naik kelas. saya berkelahi karena perkara sepele. ketika itu saya ditantang Gumilar beradu tinju, karena dia ingin mempraktikkan cara bertinju Mike Tyson, sang juara dunia kelas berat yang dia kagumi. sayang, sparring partner kami akhirnya menjurus pada perkelahian sebenarnya. gara-garanya, Gumilar meninju terlalu keras perut saya sehingga saya merasa mual dan kontan marah. tanpa berpikir panjang, saya balas pukulan hook Gumilar itu dengan sebuah jab yang mendarat telak pada hidungnya. Bleg ! Dan Gumilarpun tersungkur ke lantai selasar. Untung saja hidungnya tidak sampai berdarah. Tapi secepat saya membalas pukulan hook-nya, melihat dia tergeletak saya kontan menghambur memeluknya dan meminta maaf. Gumilar juga ternyata tidak marah. Dia malah ikut-ikutan minta maaf, sebab tadi meninju perut saya terlalu keras.
setelah hari itu, Gumilar yang biasanya punya ego, merasa paling jago  karena paling tua dikelas, berubah menjadi anak yang sportif dan membaur dengan saya dan kawan-kawan. bahkan kami jadi sering pulang naik angkot bersama-sama, lantaran rumah kami memang satu arah. persahabatan kami bahkan berlanjut dalam kegiatan Pramuka. Guru-guru, kawan-kawannya dari kalangan "preman cilik", dan kawan-kawan lainnya yang satu kelas maupun lain kelas jadi merasa takjub, menyaksikan Gumilar berubah menjadi anak yang penuh persahabatan dan meninggalkan kebiasaan fighting dan sok jagoannya. kenangan indah bahkan  sempat kami ukir pada Lomba Tingkat II Pramuka se-Bandung Raya. kami bahu membahu membawa nama sekolah, hingga menjadi juara umum dalam lomba tingkat tersebut.
**
sekelumit pengalaman singkat saya semasa sekolah dasar itu menyeruak, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul selepas membaca tragedi memilukan yang terjadi pasca tawuran, yang tampaknya sudah menjadi penyakit sosial yang akut dikalangan pelajar. remaja-remaja pelajar ternyata telah tersesat sedemikian jauh, sehingga tidak lagi bisa mengenali - mana yang konyol, mana yang tidak konyol. hanya karena dendam yang sifatnya abstrak dan absurd, mereka sampai menghilangkan nyawa seseorang. "menghilangkan nyawa satu orang manusia, sama saja dengan membunuh seluruh manusia"sabda Nabi Muhammad SAW, untuk menggambarkan betapa besarnya dampak dari sebuah pembunuhan.
filosofi sistem pendidikan di negeri ini tampaknya sudah penuh kekeliruan, jika menyaksikan dampak negatifnya yang begitu besar itu. ya, anak-anak dan remaja belajar dan dididik, dipersiapkan hanya untuk bersaing menjadi yang lebih tinggi jabatan dan lebih hartawan, bukan dibimbing untuk menjadi pribadi-pribadi yang bersaing menjadi orang yang paling banyak manfaatnya untuk alam dan sesama- sehingga bila kelak ditakdirkan menjadi seorang hartawanpun menjadi pribadi yang penuh kedermawanan. karena dididik dalam sistem yang landasannya demikian, yang berhasil secara akademikpun menjadi person-person yang agul, jumawa dan sombong, sementara yang frustasi dalam akademik beralih mencari prestise dengan cara lain, salah satunya dengan menjadi jagoan disekolah atau disekolah lain.
dalam sistem yang landasan filosofisnya lemah tersebut, yang pudar pada akhirnya adalah nilai-nilai budi pekerti seorang manusia. para peserta didik dijejali dengan berbagai rumus, buku teks, dan sejenisnya, namun tidak ada silabus atau kurikulum yang dirancang untuk khusus menyentuh hati mereka. tanpa kurikulum dan silabus yang menyentuh hati, maka akal dan tubuh para remaja dan pelajar itu akhirnya hanya terobsesi dengan hal-hal yang sifatnya material saja. baik ketika ia mengikuti kegiatan belajar mengajar, maupun setelah ia lulus dari institusi pendidikan. celakanya, dengan obsesi seperti itu, dampak paling parah akan dialami oleh mereka yang merasa kebutuhan materialnya dari proses pembelajaran tidak terpenuhi. alih-alih menjadi orang terdidik, malah menjadi orang yang picik dan brutal- seperti FR pembacok Alawy Yusianto Putra dan AD pembacok Dedi Yanuar.
saya beruntung, karena saya besar dan belajar disekolah dasar hingga menengah dalam suasana pendidikan yang tak jauh dari program-program pendidikan yang menyentuh hati. program wajib belajar, program penghapusan buta aksara, program ekstrakurikuler kepramukaan yang diwajibkan dari SD hingga SMA, program remaja masjid, adalah program-program yang saya ingat begitu besar gaungnya ketika itu. memang saya juga merasa lelah dan kadang agak malas juga untuk mengikuti program-program yang diwajibkan, seperti ikut kepramukaan misalnya. tapi setelah dijalani, kegiatan itu ternyata mengasyikkan dan setelahnyapun saya merasa terpuaskan- karena banyak dapat pengalaman dan dapat teman. entah kenapa, program-program yang mengarahkan para peserta didik menjadi pribadi manusia seutuhnya (artinya matang akal, hati dan tubuh) itu seperti kurang gregetnya, mulai dari tahun 2000-an hingga sekarang ini. entah karena media kurang mengekspos program-program pendidikan yang menyentuh hati (baik program yang dicanangkan pemerintah maupun yang diinisiasi oleh suatu institusi pendidikan), atau memang program pendidikan yang menyentuh hati itu memang sungguh tidak ada. (aea)
sumber :Â http://ayahrashif.blogspot.com/2012/09/adakah-program-pendidikan-yang.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H