[caption id="attachment_215263" align="aligncenter" width="300" caption="tribunnews.com/hendragunawan"][/caption] Bandung adalah kota Dirgantara. Kesan itu terpupuk, terutama sejak saya duduk disekolah dasar yang letaknya kurang lebih 1 KM dari Bandara Husein Sastranegara (d/h Nurtanio). Sempat ada juga keinginan untuk menjadi pilot, setiap hari menyaksikan pesawat latih terbang rendah diatas sekolah saya. Tapi kemudian keinginan itu tinggal setengah hati saja, ketika suatu saat saya menyaksikan bangkai pesawat ringan yang terbujur diantara lahan sawah dekat sekolah saya. Bangkai pesawat itu sudah tak keruan bentuknya. Tinggal sisa-sisa saja dari kebakaran yang sempat saya saksikan kepulan asapnya dari rumah, yang juga tak begitu jauh jaraknya dari Bandara. Sebagai kota Dirgantara, hari jadi Bandungpun dimeriahkan juga oleh pameran kedirgantaraan, yakni : Bandung Air Show. Antusiasme warga Bandung untuk menyaksikan gelaran Dirgantara ini sempat memacetkan akses jalan menuju tempat penyelenggaraan acara. Pada penyelenggaraan tahun 2010 lalu, saya sampai harus memarkir kendaraan 1 KM dari lokasi pameran, kemudian berjalan bersama lautan massa untuk sekadar menyaksikan berbagai jenis pesawat dari jarak dekat. Yang tak kalah menarik adalah atraksi akrobat pesawat, yang selalu mengundang decak kagum dan ketika kecil dulu juga membuat saya berkhayal duduk didalam cockpit-nya. Saya, dan mayoritas warga Bandung bangga dengan gelaran Air Show yang berlangsung rutin 2 tahun sekali itu. Tapi kebanggaan dan kegembiraan kami waktu menyaksikan gelaran itu, selalu saja harus sedikit ditekan mengingat dalam dua tahun penyelenggaraannya, atraksi akrobatik ini selalu saja menelan korban. Tahun 2010, pilot senior Alex Supeli, mengalami kecelakaan fatal bersama pesawat Decathlon-nya yang terbakar pasca menghantam landasan pacu. Mantan Kepala Divisi Aircraft PT Dirgantara Indonesia dan peraih juara dalam Australia Championship pada tahun 1997 itu, menghembuskan nafas terakhir beberapa hari kemudian. Tahun ini, kejadiannya justru malah lebih tragis. Sebuah pesawat Bravo 202 yang sedang melakukan aksi akrobatik jatuh menghantam halaman gedung logistik dikawasan Bandara Husein Sastranegara, serta menewaskan pilot dan co-pilotnya. Kalau tahun 2010 saya mendengar peristiwa tragis kecelakaan pesawat dari televisi, maka pada tahun 2012 ini saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana pesawat akrobatik itu melakukan aksinya sebelum kemudian menghilang dibalik bangunan hanggar, disusul dengan sebuah ledakan dan kepulan asap yang membuat para pengunjung Bandung Air Show 2012 tersentak kaget. Belum hilang dari rasa kaget, sesampainya di rumah saya mendengar dari sebuah siaran radio, yang menginformasikan bahwa pilot pesawat nahas itu adalah Marsekal Muda dr.Norman Lubis, Sp.M. Sebuah nama yang tentunya tidak asing bagi saya, karena Norman Lubis adalah dokter spesialis mata yang kliniknya, Bandung Eye Center, sempat menangani gangguan mata ringan yang dialami anak saya. Tentu saja ini sebuah kehilangan yang sangat besar untuk kota Bandung, mengingat klinik beliau ini begitu banyak jasanya bagi para penderita penyakit mata, dari mulai yang ringan hingga sampai penyakit mata berat sekalipun. Bagi saya, warga Bandung, musibah sudah terlanjur terjadi. Mengenai sebab-musababnya, tentu ada tim yang lebih ahli, untuk menyelidiki apa-apa saja yang menjadi penyebab kecelakaan itu. Mudah-mudahan, hasil forensik kecelakaan itu nantinya bisa transparan, tidak ditutup-tutupi sekalipun misalnya simpulan tim forensik ternyata harus "mengorbankan" seseorang di posisi tertentu atau "melibatkan" sebuah divisi atau institusi penting. Kejujuran ini perlu, agar tidak sampai terjadi lagi peristiwa serupa, khususnya dalam perhelatan Bandung Air Show ditahun-tahun mendatang. Selain itu, sebagai warga Bandung yang lahir dan besar dikota ini, saya perhatikan lama-kelamaan Bandara Husein Sastranegara ini semakin tidak layak lagi untuk dijadikan sebuah pangkalan udara. Bandara Husein Sastranegara ini sudah terlalu dekat dengan pemukiman padat penduduk, sehingga amat riskan bagi kondisi ketika pesawat terpaksa harus melakukan pendaratan darurat. Tidak ada lagi dataran yang betul-betul lapang, bahkan didekat kawasan ini banyak sekali terdapat gedung-gedung tinggi, salah satunya Bandung Trade Center, sebuah pusat perbelanjaan besar yang juga kerap menjadi Center Point bagi mereka yang datang atau hendak bepergian keluar kota. Bandar Udara Husein Sastranegara juga memiliki landasan pacu yang pendek. Terkadang, beberapa kawan sempat mengalami, pesawat sampai harus pergi ke Bandara Soekarno Hatta dulu bila kondisi pendaratan di Bandung tidak memungkinkan disebabkan cuaca jelek. Barulah setelah ada kawat dari Bandung yang menyatakan pesawat bisa melakukan landing, pesawatpun kembali bisa mengangkasa dan mendarat di Bandara Husein Sastranegara. Mengenai landasan pacu yang pendek dan Bandar Udara yang clear dari pemukiman penduduk ini rasa-rasanya bukan hanya masalah yang dihadapi oleh kota Bandung saja. Namun, mengingat Bandung juga telah menjadi tujuan banyak tamu dari mancanegara, saya kira Pemkot harus memikirkan dan segera melakukan tindakan nyata untuk memecahkan masalah ini. Mungkin, ada pertanyaan : darimana biayanya ? Saya kira Bandung yang konon katanya kota jasa, macet karena didatangi wisatawan setiap akhir pekan dan hari-hari libur, dan juga ditumbuhi dengan berbagai jenis Mall diseluruh penjuru kotanya, tidak harus terbentur masalah pembiayaan untuk menangani masalah relokasi Bandara. Atau, jangan-jangan biayanya memang tersedot untuk membuat Stadion dikawasan Bandung Timur, yang sempat menuai polemik ketika ada isyu yang berkembang bahwa Stadion itu akan dinamai dengan nama walikota Bandung, Dada Rosada. Catatan ini sekadar ungkapan hati saya, warga Bandung, yang menginginkan transportasi udara dikota ini semakin baik dari waktu ke waktu. Sama saja dengan harapan saya dan sebagian besar warga Bandung terhadap kondisi jenis transportasi lainnya dikota ini, yang rasa-rasanya dari hari ke hari makin sesak oleh masalah. Mudah-mudahan kejadian tragis yang membuat mendung kembali bergelayut diatas perhelatan Bandung Air Show ini bisa menggerakkan hati aparatur kota untuk segera membenahi masalah transportasi udara di Bandung.(aea)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H