Eddy Sud, Bing Slamet, Ateng & Iskak, Idola Film Komedi Indonesia Tempo Dulu
foto : koleksi-plus.blogspot.com
Sebelum teknologi video betamax memasuki Indonesia, saya biasa menonton film di bioskop. Di Bandung, kota tempat tinggal saya, Paramount Theater, Bandung Theater, Nusantara Theater, Capitol Theater, Dallas Theater, Dian Theater, dan King’s Theater adalah bioskop-bioskop favorit warga kota. Paramount Theater dan Capitol Theater terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Bandung Theater terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani. Nusantara Theater, Dallas Theater, Dian Theater, King’s Theater tersebar di Alun-alun Bandung, seputar Jalan Merdeka dan Jalan Kepatihan. Tak heran jika saya hafal rata-rata nama dan lokasi bioskop-bioskop tersebut. Ayah dan Ibu, setiap kali ada film baru untuk SEMUA UMUR atau 13 TH KEATAS, pasti mengajak saya pergi menonton. Serial SUPERMAN I sampai IV, film-film Warkop (sejak masih bernama Warkop Prambors), adalah jenis-jenis film yang habis saya tonton. Tapi dibandingkan serial-serial tersebut, dua film paling berkesan buat saya semasa kecil adalah : “Sang Guru” yang dibintangi S. Bagio dan “Ratapan Anak Tiri” yang dibintangi Faradilla Sandy. Dua film ini berkesan karena dari dua film tadi saya mengenali apa kepahitan hidup dan apa kesedihan hati. Buat anak-anak seusia saya ketika itu, kegembiraan adalah kenyataan keseharian. Tidak pernah sedih. Baru setelah menyaksikan kedua film itu saya agak mudeng : oh, begitu, ya, rasanya sedih … Dan sepulang dari bioskop-pun, saya bisa menjadi pemurung. Orangtua sampai ikut khawatir. Jangan-jangan saya sakit atau marah, sebab tak dibelikan sate ayam. Begitu sangkaan ibu saya.
Seperti rata-rata keluarga Indonesia, salah satu menu hari raya keluarga saya selain makan ketupat dan silaturrahmi adalah nonton bareng film Warkop di bioskop. Hampir kebanyakan film Warkop diluncurkan saat masa liburan panjang dan hari raya Idul Fitri. Maka tak pelak, film-film Warkop dianugerahi Piala Antemas, satu penghargaan untuk film yang paling banyak ditonton orang. Celotehan Kasino, mimik wajah Indro, dan objek penderita yang diperankan Dono merupakan daya tarik tersendiri dari film-film Warkop. “Elu sih, Ndro…” ; “Waduh, Ndro, Si Mbahurekso ini…” ; adalah beberapa ungkapan dalam film Warkop yang masih saya hafal. Sayang, lama-lama Ayah dan Ibu mengeluhkan jalan cerita film-film Warkop. Terlalu banyak mengeksploitasi wanita, menurut Ibu. “Ceritanya begitu-begitu saja…”timpal Ayah lagi. Seiring usia anggota Warkop yang bertambah tua, ditandai dengan makin jarangnya rambut salah satu personilnya, Indro, mutu lawakannyapun makin kehabisan energi. Rating mereka saat tampil di televisi juga tidak istimewa. Saya lebih suka menyaksikan film-film box office mereka yang diputar ulang, seperti : “Maju Kena Mundur Kena” , “Pokoknya Beres”, atau “IQ Jongkok”, ketimbang sinetron Warkop yang ditayangkan televisi swasta. *** Teknologi video betamax menjangkau Indonesia sekitar 1984-1986. Saya agak lupa waktu tepatnya. Kisaran tahun tersebut berpatokan pada Piala Dunia 1986. Saat itu, saya membeli banyak video cassettes kosong untuk merekam pertandingan-pertandingan putaran final World Cup, diselingi dengan menonton satu-dua kaset video sewaan dari rental betamax terdekat. Serial silat “Legend Of Condor Heroes”, serial superhero Jepang seperti : “Megaloman”, “Lion Maru”, “Space Cop Gaban”, “Google V”, dan kartun “Voltus”, sedang begitu mewabah di kalangan anak-anak sekolah dasar dan menengah pertama. Tak sedikit pula orang dewasa yang kadang-kadang ikut duduk, nonton, dan menyimak jalan cerita. Nonton dan sewa videopun jadi kegiatan rutin. Paling senang jika Ayah membawa saya ke rental di akhir pekan. Kala itu saya bisa memilih tiga judul film favorit. Di akhir pekan, saya bisa menghabiskan waktu libur malam minggu dan hari minggunya dengan hanya menonton video sewaan. Diantara tiga judul video sewaan pilihan saya, pasti terselip satu judul film Indonesia. Biasanya saya memilih film-film komedi lama yang dibintangi Benyamin Sueb dan Ateng-Iskak. Alasannya : semua lucu dan untuk semua umur. “Benyamin Biang Kerok” I dan II, “Si Doel Anak Modern”, “Tarzan Kota”, dan “Samson Betawi” adalah film-film almarhum Benyamin Sueb yang sempat saya tonton. “Ateng Minta Kawin”, “Ateng Sok Tahu”, “Ateng Bikin Pusing”, “Ateng Sok Aksi”, “Ateng Pendekar Aneh”, dan “Ateng The Godfather”, adalah film Ateng-Iskak yang sangat saya gemari. Yang paling saya favoritkan diantara film-film Benyamin Sueb adalah “Benyamin Biang Kerok” I dan II. Dalam film tersebut, Benyamin memerankan tokoh Pengki, supir biang masalah, yang akhirnya malah diangkat adik oleh majikannya (Hamid Arief). Berkat akal bulusnya, Benyamin bisa menikahi wanita idamannya (Ellya Khadam), bahkan menjadi Wakil Direktur PT. Angin Ribut. Di akhir cerita, dengan lagak sinyo Belanda, Pengki yang telah berganti nama menjadi Franky Johansyah, menyapa Ibu sang majikan (Wolly Sutinah) dengan panggilan Mami, menyapa Istri majikan (Conny Suteja) dengan panggilan Zus, dan yang paling membuat saya geli adalah ketika ia memanggil majikannya dengan sebutan Brur. Film ditutup dengan adegan Pengki diarak sebagai pengantin sunat. Ternyata, Pengki alias Franky Johansyah, mesti dikhitan dulu sebelum melangsungkan pernikahan. Lain Warkop, lain Benyamin, lain pula film-film Ateng-Iskak. Jika Warkop memilih setting kehidupan mahasiswa, film-film Benyamin ber-setting-kan kehidupan orang kecil, maka film-film Ateng-Iskak menggarap beragam tema dan setting. Tidak itu-itu saja. Film-film yang mereka bintangi lebih kaya dari segi ide cerita, tema, dan setting. Ada kisah dua sahabat menaklukkan ibukota dalam “Sekejam-kejamnya Ibu Tiri Lebih Kejam Ibu Kota”. Ada hubungan emosional yang jenaka antara anak majikan dan batur dalam “Ateng Bikin Pusing.” Ada juga kisah ketakdziman seorang murid dalam “Ateng Pendekar Aneh.” Inilah film serial yang paling saya sukai, diantara film-film Ateng-Iskak yang lain. Ceritanya ber-setting-kan dunia persilatan : pengembaraan Pendekar Ateng dan Iskak untuk menangkap kakak seperguruannya yang sesat, Anom Subali (S. Bagio). Sang Guru, yang diperankan oleh Ijah Bomber, menitipkan Suling Buluh Perindu kepada Iskak dan Selendang Merah Sakti kepada Ateng. Suling Buluh Perindu bisa membuat musuh tuli atau spontan menari-nari sesuai irama musik yang dilagukan. Selendang Merah Sakti bisa membuat musuhnya gatal-gatal dan serba penurut, jika ia dikibasi selendang yang dililitkan di pinggang Pendekar Ateng. Satu kali, kedua senjata bertuah perguruan itu malah jatuh ke tangan Anom Subali. Bukannya Pendekar Ateng dan Iskak yang membuat Anom Subali dan komplotannya takluk. Melainkan justru Pendekar Ateng dan Iskak yang nyaris dibuat mati kegelian, dipaksa terus menerus tertawa, setelah dikibasi Selendang Merah Sakti oleh Anom Subali. Di akhir film, seorang Begawan Tua (Deddy Sutomo) datang menolong Pendekar Ateng dan Iskak. Begawan itu berhasil merebut dua senjata yang disalahgunakan Anom Subali. Tak hanya itu, sang Begawan lalu meringkus dan membawa Anom Subali yang konon berjanji akan bertaubat. *** Tidak sepenuhnya saya dan Ayah meninggalkan kebiasaan nonton bioskop. Waktu “Nagabonar” (1987) premiere di Nusantara Theater, saya dan Ayah termasuk pengantri karcis pertama. Bahkan, saya nonton “RA Kartini” dan “Pengkhianatan G 30 S/PKI” sampai dua kali. Yang pertama dengan Ayah, yang kedua bersama teman-teman sekolah. Kegiatan nonton bareng itu termasuk dalam kurikulum mata pelajaran Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB). Cerita “Nagabonar” membekas dalam ingatan sampai sekarang. Menyaksikan “Nagabonar”, ada tersirat di benak saya bahwa revolusi fisik tidak melulu gelap dan penuh horor. Ternyata masih ada tawa dan canda, meski tetap saja ada kematian yang ditangisi. Memang dasarnya komedi revolusi, adegan sedih itu bisa dibuat unik, tanpa meninggalkan sisi-sisi yang wajar dan manusiawi. Adegan bermula dari saat mayat Bujang (Afrizal Anoda) dibawa pulang dari Parit Buntar. Waktu upacara penguburan, Nagabonar (Deddy Mizward) malah menangis diiringi petikan gitar. Atas saran Lukman (Wawan Wanizar) Nagabonar menumpahkan kesedihannya dengan cara bernyanyi. “Kalau Abang menangis dan meraung-raung seperti itu, nanti menurunkan mental pasukan, Bang.”tegur Lukman saat Nagabonar menangis macam anak kecil.”Lalu aku harus bagaimana ? Dada ini rasanya sudah mau pecah !” jerit Nagabonar. Lukman lalu mengambil gitar bolong. Diiringinya Nagabonar menyanyi. Disela-sela nyanyian parau itu, ditengah kesedihan yang melanda Nagabonar, masih sempat ia mengingatkan Lukman bahwa kunci gitarnya salah. “ …A minor itu, bukan mayor. Ah, yang benar aja kau, Lukman !” Memang pada dasarnya saya penggemar berat film komedi. Dari film mencekam produksi PPFN,“Pengkhianatan G 30 S/PKI”-pun, yang saya perhatikan malah dialog-dialognya yang berlogat Jawa medok. Alhasil dialog logat jawa dalam “Pengkhianatan G 30 S/ PKI” itu sering menyelip diantara canda saya dan teman-teman semasa SD. “…situ adanya dalam dewan jenderal. Ayo teken. Teken !” bunyi cetusan dalam film itu yang sering saya kelakarkan. Karena kelakaran itu, sempat saya diingatkan oleh Orangtua dan Wali Kelas (bukan main !). Mereka takut kalau-kalau ada aparat yang mendengar. Maklum, jaman itu masih jaman Orde Baru, dimana aksen dan simbol-simbol komunis dianggap bahaya laten. Lantas apakah saya kapok meniru adegan, dialog, dalam film-film tersebut ? Ternyata tidak. Satu kali saya malah menyanyikan lirik lagu pengiring Tari Lenso jaman ORLA : “Mari kita bergembira, bergembira semua….” Hasilnya, telinga saya jadi merah dijewer Ibu. Dan paha serta betis ini habis pula dibantai gulungan koran oleh Ayah. Baru setelah itulah saya mengerti. Bahwa menari, menyanyikan lagu-lagu propaganda ORLA itu merupakan pelanggaran yang serius. Disamping “Pengkhianatan G 30 S/PKI” karya Arifin C Noer, diluar film komedi, saya sempat mengapresiasi karya-karya serius sineas Indonesia, seperti : “Doea Tanda Mata” dan “Ibunda”-nya Teguh Karya, dan “Tjoet Nja’ Dhien”-nya Eros Djarot. Karya-karya ini adalah masterpiece Teguh Karya dan Eros Djarot yang menangguk banyak nominasi dan penghargaan Piala Citra. Selain karya-karya serius itu, serial kolosal seperti “Jaka Sembung”,“ Saur Sepuh : Satria Madangkara”, “Sunan Kalijaga”, “Walisanga”, dan “Sunan Kalijaga VS Syech Siti Jenar” adalah film-film yang saya tonton di Bioskop. Film-film serius dengan latar sejarah tersebut membuka pengetahuan saya mengenai jaman kejayaan raja-raja (“Saur Sepuh: Satria Madangkara”), dakwah Islam awal di Indonesia (“Sunan Kalijaga”, “Walisanga”, “Sunan Kalijaga VS Syech Siti Jenar”), dan kiprah para pahlawan di masa perang daerah (“Tjoet Nja’ Dhien”) atau era pergerakan (“Doea Tanda Mata”). Semuanya, kecuali “Jaka Sembung” dan “Doea Tanda Mata”, saya saksikan di bioskop. Karena film-film itu memang untuk semua umur atau untuk 13 tahun keatas. Tidak lazim bagi anak seusia saya, bahwa ternyata film favorit saya diantara film berlatarkan sejarah itu adalah “Doea Tanda Mata” dan “Sunan Kalijaga.” Dalam “Doea Tanda Mata” diceritakan bagaimana tokoh perjuangan ditangkap dan dipenjarakan. Dari film itu, saya kemudian mengerti, bahwa orang yang dipenjarakan tidak selamanya seorang penjahat. Tema cerita yang tidak hitam-putih membuat saya yang masih kanak-kanak mulai berpikir, “Lho, orang baik kok dipenjara…” Selain karena jalan ceritanya yang tidak hitam-putih, saya mulai memperhatikan akting Alex Komang. Buat saya tipe wajah Alex Komang tidak seperti rata-rata aktor Indonesia. Laki-laki banget, kata Ibu saya. Di lain hari ternyata saya tidak salah menilai kualitas akting Alex Komang. Dia kemudian menjadi aktor kawakan Indonesia, spesialis peran-peran berkarakter kuat, dan banyak mendapatkan anugerah “Piala Makin bertambah kekaguman saya, ketika saya akhirnya tahu bahwa ternyata “Doea Tanda Mata” itu adalah film pertama yang dibintanginya. Begitu besar respek saya terhadap Alex Komang, lebih besar lagi kekaguman saya kepada seorang Deddy Mizward. Perannya dalam “Sunan Kalijaga” sebagai Raden Mas Syahid yang jago silat dan pintar mengaji, begitu berkesan buat saya yang saat itu sedang rajin-rajinnya belajar Qur’an. Figur “Sunan Kalijaga” yang diperankan Deddy Mizward berhasil memvisualkan siapa tokoh penyebar Islam di tanah Jawa itu, yang sebelumnya hanya saya dengar dari cerita Ustadz di surau. Saat ini, saya masih hafal setiap adegan yang merelasikan sang Sunan dengan tokoh-tokoh sentral lainnya di film tersebut. Bagaimana marahnya Tumenggung Wiladatikta (WD Muchtar) ketika mendengar Raden Mas Syahid mencuri, bagaimana Sunan Bonang (Zainal Abidin) ‘menyulap’ kolang-kaling menjadi emas dihadapan Raden Mas Syahid, bagaimana khalwat Raden Mas Syahid di pinggir kali, bagaimana Sunan Kalijaga memimpin taubat para penyembah berhala, dan bagaimana Sunan Kalijaga menghadapi ujian terakhir dari para Wali senior, adegan demi adegannya masih saya ingat betul. Diantara adegan dalam “Sunan Kalijaga” yang paling berkesan dan mengharukan buat saya, adalah ketika lafadz Surat Al-Baqarah yang dibacakan Raden Mas Syahid alias Sunan Kalijaga, terdengar di pesanggrahan Wiladatikta. Tumenggung Wiladatikta, Ayah Raden Mas Syahid, Ibu dan adik perempuannya, menghampiri ruangan tempat sang putra dan kakak biasa mengaji. Di ruangan itu lembar demi lembar Qur’an terbuka dengan sendirinya. Sementara suara seseorang melantunkan ayat suci bersatu dalam angin yang berhembus ke dalam pesanggrahan, seakan menggetarkan pilar-pilar yang menyangga temanggung. “Kamu baru boleh kembali ke tempat ini, setelah kamu bisa menggetarkan tiang-tiang temanggung dengan lantunan suara ayat suci !” teriak Tumenggung Wiladatikta dikala mengusir Raden Mas Syahid. Dan malam itu, ketika suara lantunan ayat suci terdengar di seantero temanggung, Tumenggung Wiladatikta teringat apa yang diucapkannya disaat mengusir sang putra tercinta. *** Pengalaman saya menonton film Indonesia mengecualikan banyak film anak-anak. Saat itu, bioskop kita memang tidak banyak memutar film anak, sebab memang jarang diproduksi oleh perusahaan film di Indonesia. Saya tidak berminat me-rental film-film anak terdahulu, sebab mutu dan jalan ceritanya kalah fantastis dari film anak produksi Jepang dan Amerika. Ceritanya banyak yang klise, kecuali “Ratapan Anak Tiri” dan “Harmonikaku” tentunya. Sesuatu yang ironik ketika “Petualangan Sherina” menjadi tonggak awal kebangkitan film Indonesia di era millenium. Anak-anak dengan ditemani orangtuanya mau beramai-ramai ikut dalam antrian panjang. Saya sendiri yang ketika itu sudah duduk di bangku perguruan tinggi, mau bersusah-susah ngantri sebab kangen dengan suasana bioskop. Kendati tentu eranya sudah berbeda : dulu bukan jaman bioskop twenty-one. “Petualangan Sherina”-lah yang mengakhiri musim kemarau panjang perfilman Indonesia, yang juga mengakhiri masa puasa saya menonton bioskop. Sayang sekali sukses “Petualangan Sherina” tidak diikuti oleh kesuksesan “Joshua Oh Joshua” dan “Petualangan Seratus Jam”. Senasib dengan “Panggung Pinggir Kali”, film dewasa yang dibintangi pedangdut Kristina, “Petualangan Seratus Jam”-nya Joshua Suherman menjadi film yang betul-betul tak laku di twenty-one. Saya sempat bertanya-tanya : mengapa “Joshua Oh Joshua” dan “Petualangan Seratus Jam” tidak laku di pasaran, padahal ceritanya cukup menarik walau agak klise. Pertanyaan yang sama seperti : mengapa “Rindu Kami Pada-Mu” dan “Kiamat Sudah Dekat” kalah laku dari “Ada Apa Dengan Cinta”, “Virgin”, atau “Jelangkung.” ? Kalau sudah begitu saya mulai mengira-ngira selera saya. Apakah saya terlalu konservatif, kolot, atau jangan-jangan yang saya gemari adalah suatu karya klise ? Lebih jauh lagi saya bertanya : apakah saya sudah menjadi apresiator asing di belantara film Indonesia masa kini ? Entahlah. Sulit bagi saya menjawabnya. Dengan pengalaman lama mengapresiasi film Indonesia, kendati “mateng keduluan” sebab lebih banyak mengonsumsi film dewasa ketimbang anak-anak, setidaknya saya bangga dan mempunyai kesan tersendiri terhadap film-film Indonesia, dahulu dan sekarang.(aea) dimuat juga di blog saya : save indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H