[caption id="attachment_215359" align="aligncenter" width="300" caption="circleoffood.com"][/caption]
Saya mulai dengan membuka layar laptop dan menyalakan rokok putih. Sambil menunggu loading-nya laptop ini, saya hisap dalam-dalam rokok putih itu, siapa tahu ada satu dua ide yang bisa nyangkut dikepala ini. Wuaduh, meja sebelah. Apa tidak lebih baik ganti mendengarkan musik dari earphone saja, tidak dengan menyalurkannya lewat speaker, yang suaranya berpantulan keseluruh dinding lalu suaranya berloncatan dari satu meja ke meja lainnya. Sambil menghisap rokok putih saya berandai-andai : suara-suara dari speaker meja sebelah itu dipantulkan dinding kearah meja, lalu suara-suara itu nyemplung kedalam gelas, cangkir atau cangkir yang sepagi itu sudah terisi dengan air putih, kopi, teh manis atau susu. Ya, susu, seperti yang mengisi cangkir saya.
Cangkir saya di meja kerja pada pagi hari selalu terisi dengan susu. Karena saya sangat dan selalu menyukai susu, baik yang non-fat maupun yang fat. Susu itu gurih di lidah dan entah kenapa genangannya bagi saya enak dilihat. Kalau menyaksikan susu menggenang didalam cangkir, saya selalu teringat hal-hal remeh yang membahagiakan semasa kecil dulu. Bagaimana saya beres mandi pagi lantas menemukan cangkir telah terisi susu yang masih mengepul hangat di meja makan, bagaimana saya selesai makan roti lalu menenggak susu dari dalam cangkir sebelum pergi sekolah, dan bagaimana bibir yang dipinggir-pinggirnya masih menyisakan noda-noda susu saya usap sambil memandangi kaca spion. Saat-saat tersebut adalah sekelumit saja dari momen-momen terindah dalam hidup saya, bersama susu tentunya.
Keinginan untuk meminum susu yang terpupuk semenjak kecil, membuat saya rajin minum susu sehingga kini. Pesuruh kantor selalu mengisi cangkir saya dipagi hari dengan susu. Padahal, pagi hari sebelum berangkat ke kantor, saya sudah menyempatkan diri minum susu.
**
Kemarin malam saya tahu, selain pesuruh, ternyata atasan juga hafal betul kegemaran saya. ”Diantara seluruh karyawan kantor ini, hanya Mas saja yang suka susu.”ucap atasan saya dengan mata berbinar pada waktu saya lembur kemarin malam.
”Ah, tidak juga, Bu.”jawab saya.
Sang atasan tidak juga berlalu setelah sekian lama saya mengucapkan perkataan pendek, jawaban yang acuh tak acuh itu.Dia malah terus berdiri dan menatap tajam mata saya. Dengan tatapan tajam seperti memerintahkan sesuatu. Sekali waktu saya berusaha agak lama menantang tatapan tajam itu. Sekilas saya lihat bibirnya yang masih disaput lipstik itu tampak seperti begitu basah. Makin berdegup kencang dada ini menyaksikan pemandangan itu. Merasa gugup saya mengalihkan pandangan darinya, lalu meminum sisa susu dalam cangkir sekali tenggak dihadapannya. “Glek.”begitu suara susu yang masuk sekaligus melewati saluran pernafasan dan membasahi saluran pencernaan.
Selesai saya meminum susu dalam cangkir itu dengan sekali tenggak, saya lihat mata atasan saya kontan memerah lalu menatap marah kearah saya. Satu detik, sepuluh detik, tigapuluh detik, sampai saya tidak tahan lagi ditatap tajam olehnya. Setelah gugup saya jadi panik. Dengan degup jantung yang tak beraturan, dalam kepanikan yang datang tiba-tiba dan entah darimana, tanpa kesadaran penuh saya menghambur memeluk tubuh atasan saya, menerkamnya dari belakang, sambil membisikkan entah kata, entah doa, entah mantra-pokoknya yang bisa saya ucapkan dan saya hembuskan dari arah belakang daun telinganya.
Tubuh atasan saya malah mengejang setelah saya meniupkan entah kata, entah doa dan entah mantra dari belakang telinganya itu. Makin kuat ia mengejang, sehingga pada suatu tempo tubuhnya mengejang keras lantas terlepas dari pelukan saya. Tubuhnya lalu mengejang lagi diatas meja kerja saya. Mengejang-ngejang beberapa saat lamanya, sampai kemudian berhenti bergerak seperti jasad yang baru saja meregang nyawa. Sekilas, saya lihat, dari bibirnya meleleh cairan putih yang mirip susu. Susukah itu ?
Ketika saya hendak menyeka bibirnya, mata atasan saya terbuka sambil bibirnya menyunggingkan senyum kearah saya. ”Bukan, Mas. Ini bukan susu.”katanya.
**
Di layar laptop tampak sudah bertebaran berbagai ikon short cut aplikasi. Laptop sudah selesai loading rupanya. Saya jentikkan abu rokok kedalam asbak, saya angkat cangkir lalu menyeruput susu didalamnya, meletakkan kembali cangkir, menghisap kembali rokok putih, menghembuskan asapnya, dan sayapun mulai membuka aplikasi. Ide demi ide sudah antri minta dikeluarkan dari otak ini. Tapi sebelumnya, saya ingin meminta kawan di meja sebelah mematikan speaker-nya, karena suara keras dari speaker itu terus saja memantul ke dinding dan dinding memantulkan suara keras itu sampai ke meja-meja.
Baru saja hendak bangkit dan memperingatkan kawan dimeja sebelah dari balik sekat space kerja kami, tiba-tiba terdengar suara ‘plung, plung, plung !’ dari cangkir susu saya. Setelah suara ‘plung’ itu hilang, hilang juga suara dari speaker meja sebelah. Saya angkat cangkir itu dan memperhatikannya. “Nah, akhirnya kecemplung juga suara-suara itu.”batin saya sambil mengangguk-angguk puas. Wah, jadi mendadak ingin minum susu lagi.
“Pelan-pelan minum susunya, Mas.”terdengar suara lembut mendesir ditelinga, sampai membuat berdiri bulu kuduk saya. Saya berbalik mencari arah suara yang datangnya dari belakang pundak itu.
“Eh. Selamat pagi, Bu.”ucap saya pendek pada pemilik suara lembut itu. Dengan perlahan yang empunya suara lalu meletakkan tangannya diatas pundak saya. Sekujur badan saya terasa dingin setelahnya. Seolah-olah yang punya suara dan punya tangan mampu mengalirkan salju keseluruh aliran darah disekujur badan ini. Ya, mengalirkan salju. Bukan mengalirkan susu.(aea)
diarsipkan di : ayahrashif.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H