Pertanyaannya: mungkinkah ada revolusi untuk menyadari bahwa apa yang ditampilkan televisi hanyalah sebuah medium, dan bukan ukuran dari siapa kita sebenarnya? Mungkin jawabannya berasal dari mereka yang menciptakan. Supaya kelompok perempuan berhenti mengejar definisi diri yang terus dipasarkan oleh iklan, harus ada upaya inovatif untuk mendobrak stereotipe dalam realitas. Harus ada inisiatif untuk menciptakan iklan yang menampilkan perempuan dalam berbagai peran, tanpa terjebak pada stereotip pekerjaan atau karakteristik yang feminis.
Bayangkan sebuah iklan sepatu lari yang menampilkan perempuan sebagai atlet maraton tanpa fokus pada bentuk tubuhnya, tapi memperlihatkan perjuangannya dalam mengejar garis finis. Atau bayangkan iklan kosmetik yang menampilkan perempuan dengan warna kulit yang sering dianggap marjinal, seperti hitam atau cokelat gelap. Iklan seperti itu dapat membentuk persepsi baru bahwa perempuan juga memiliki kekuatan fisik yang tidak kalah dengan pria sekaligus mengubah cara pandang masyarakat, terutama perempuan, terhadap standar kecantikan yang lebih inklusif dan beragam.
Namun, itu semua baru solusi tanpa implementasi. Jika para pemangku televisi tidak mau mengguncang tatanan yang sudah terbangun, maka kapitalisme akan terus bertakhta, mengemas perempuan dalam iklan-iklan sebagai komoditas layak jual. Jadi, apakah perempuan akan terus hidup dengan standar pasar bebas, atau mulai mencari ruang untuk mengekspresikan diri secara bebas?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI