Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Lainnya - juru tulis serabutan

verba volant, scripta manent

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Iklan Perempuan & Kejahatan Televisi

23 Januari 2025   15:00 Diperbarui: 23 Januari 2025   17:02 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Depositphotos

Di era postmodern ini, televisi masih menjadi media dominan yang menguasai ruang publik. Tercatat sekitar 61,43% rumah tangga secara global di tahun 2024 memiliki televisi, baik untuk hiburan maupun sekadar pajangan. Kehadirannya tak hanya memenuhi kebutuhan informasi, tetapi juga berfungsi untuk memenuhi hasrat psikologis, mulai dari fashion hingga pendidikan. Tak jarang, televisi menjadi pengalih utama perhatian ketika sedang berkumpul bersama.

Sebagai media, televisi lebih dari sebatas gudang informasi. Apa yang ditayangkannya sangat signifikan dalam membentuk perilaku, pola pikir, dan gaya hidup masyarakat. Diantara tayangan-tayangan tersebut, iklan menjadi selingan yang tidak kalah menarik. Iklan menjadi referensi utama yang menentukan definisi penampilan ideal, konsumsi, dan identitas sosial. Di dalamnya ada daya tarik konsumtif untuk mereka yang sedang mencari selera dan gaya hidup. Untuk bisa menyampaikan pesan dari iklan tersebut secara efektif, dibutuhkan seorang mediator yang bisa menjadi sorotan. Biasanya, mediator ini mewakili kelompok-kelompok tertentu yang tentunya disesuaikan dengan segmentasi pasar. Menariknya, perempuan kerap menjadi objek utama yang menghiasi iklan-iklan di televisi.

Tapi, mengapa harus perempuan? Apakah karena tubuh mereka punya daya tarik eksotis yang tak bisa ditandingi siapa pun? Jawabannya sudah ada sejak peradaban manusia belum memasuki usia masehi, di mana perempuan telah diposisikan sebagai kelompok kelas dua. Kitab Hammurabi mencatat jika seorang pria boleh berselingkuh dengan seorang wanita, tapi seorang wanita harus dihukum berat bila berselingkuh dengan seorang pria. Bahkan, kalau ada pemerkosaan, si pelaku biasanya hanya dihukum ringan. Pun dalam budaya Arab jahiliyah, ketika seorang bayi perempuan lahir, sebagian besar masyarakat justru menganggap itu sebagai aib. Tidak jarang mereka tega mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Masa-masa itu menunjukkan bagaimana perempuan adalah makhluk yang ditakdirkan untuk tidak memiliki nilai dan peran apapun kecuali persoalan kasur dan dapur.

Memasuki abad modern, tepatnya di era revolusi industri 2.0 dan "Roaring Twenties", beberapa perempuan mulai berjuang untuk mencari validasi dari masyarakat melalui emansipasi. Hasilnya, perempuan sukses membuka babak baru dalam koridor industrialisasi dengan mulai dilibatkannya mereka dalam komersialisasi produk industri secara masif. Banyak perempuan yang mengisi barisan tenaga kerja di pabrik-pabrik, dan menjadi pencari nafkah alternatif. Namun, bagi perempuan yang terlibat dalam industri televisi, mereka mesti merelakan dirinya sebagai ikon gaya hidup, simbol kemewahan, dan tentu saja, standar kecantikan yang serba terpatri di iklan-iklan. Perempuan menjadi mediator yang menggoda konsumen, yang tidak jarang perempuan itu sendiri lebih tenar daripada produk yang dijual.

Ambil contoh saja iklan shampo kenamaan Eropa yang dibintangi oleh Anggun C. Sasmi, seorang musisi berbakat tanah air. Dapat dilihat bagaimana Pantene seakan menjadi figuran di dalam iklannya sendiri, karena nama Anggun ternyata lebih nge-blend di benak konsumen ketimbang produk yang diiklankannya. Fenomena ini membuat Pantene seperti menggantungkan eksistensinya pada popularitas Anggun, seolah merek ini tidak punya nyawa kalau bukan karena pesona bintang iklannya.

Perempuan memang seharusnya memiliki ruang tersendiri di publik. Dan iklan membuka kesempatan itu, kesempatan bagi perempuan untuk aktualisasi diri. Tapi ironisnya, kesempatan itu justru juga semakin memposisikan mereka sebagai objek yang dieksploitasi untuk meraup cuan. Televisi memang memberikan tempat bagi perempuan untuk tampil, tapi sesungguhnya hanya mengukuhkan mereka dalam bentuk yang sangat terbatas, yakni komoditas. Iklan perempuan sebagai sarana untuk ekspresi diri beralih fungsi menjadi alat jualan dalam ekonomi pasar bebas.

Inilah yang disebut oleh Pierre Bourdieu sebagai violence symbolique atau kekerasan simbolik. Sebuah fenomena di mana nilai dan norma sosial dominan disematkan pada individu melalui simbol-simbol yang diterima masyarakat begitu saja. Tanpa kita sadari, iklan yang terus mempersembahkan perempuan dalam balutan standar kecantikan yang semu ini pada akhirnya menanamkan pikiran bahwa tubuh perempuan itu adalah komoditas yang sah untuk diperdagangkan.

Kekerasan simbolik ini akhirnya menumbuhkan tekanan psikologis yang terus-menerus menghantui perempuan, seolah-olah mereka harus memenuhi definisi kecantikan yang ditetapkan oleh iklan. Perempuan yang tidak memenuhi citra tubuh ideal ini sering kali merasa terpinggirkan atau bahkan hilang harga dirinya. Dan di sinilah televisi ikut andil dalam memupuk pandangan yang sangat sempit tentang kecantikan dan kesuksesan.

Ya, seperti itulah kejamnya kapitalisme, segala hal, baik yang materiil maupun immateriil tidak pernah luput dari nilai dan stratifikasi. Sesuatu dianggap layak apabila telah memenuhi nilai-nilai tersebut. Padahal, kapasitas perempuan jauh melampaui ukuran fisik semata. Lantas, dengan sudah terlanjur membudayanya fenomena ini apakah televisi semakin mengglorifikasikan masifnya budaya patriarki dan subordinasi perempuan? Jika ya, maka itulah yang disebut dengan kejahatan televisi. Karena selain pembuat iklan yang menerima cuan, pihak televisi pun juga ikut ketiban untung. Televisi sebagai salah satu media propaganda, mempunyai andil yang signifikan dalam merekonstruksi realitas sosial. Terutama dalam kehidupan manusia postmoderen ini, tiada pengaburan batas yang tegas antara kenyataan dan yang tidak nyata.

Jean Baudrillard pernah menjelaskan tentang simulakra, yang mana realitas kini telah digantikan oleh simulasi. Apa yang kita anggap sebagai kenyataan, pada kenyataannya adalah representasi dari sebuah realitas yang telah terdistorsi. Televisi adalah satu diantara pihak yang berperan dalam mendefinisikan perempuan kepada realitas. Ketika definisi perempuan yang disepakati adalah objek untuk tujuan konsumsi, maka pernyataan ini semakin menegaskan bahwa televisi merupakan agen kapitalisme terkejam. Ia bertanggungjawab atas dunia paralel di mana standar kecantikan menjadi semacam mitos kolektif yang kita terima begitu saja, dan perempuan pun dipaksa untuk terus mengikutinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun