Sampai akhirnya, pada tahun 1869, datanglah Jamaluddin al-Afghani yang di tengah pengajarannya, kembali merutinkan pembelajaran ilmu-ilmu sekuler. Tak hanya mereformasi Al-Azhar dari dalam, Jamaluddin juga mendirikan madrasah Darul-Ulum pada 1871. Sejak itu, Al-Azhar semakin berkembang menjadi universitas besar yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu, dari agama hingga sains.
Upaya Merangkul Keberagaman Â
Meski kini identik dengan Sunni, Al-Azhar tak pernah menutup keran-keran dialektika dari aliran-aliran lain. Pada era Syaikh Mahmud Syaltut (1893–1963), wacana pendekatan antar-mazhab (taqrib al-madhahib) sempat mencuat. Ia mengambil langkah berani dengan mengeluarkan fatwa yang mengakui mazhab Syi’ah Ja’fari sebagai mazhab yang sah dalam Islam, sejajar dengan mazhab-mazhab Sunni lainnya. Meskipun pada akhirnya, di masa Grand Syaikh Al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi, kerjasama antara Al-Azhar, Iran, dan Hizbullah sempat dihentikan. Beliau juga melarang mahasiswa dan akademisi Al-Azhar untuk meneliti semua buku yang ditulis oleh ulama-ulama Syi'ah.
Perdebatan seperti ini memang tak jarang memicu kontroversi, misalnya, ketika Grand Syaikh Al-Azhar, Syaikh Ahmad Muhammad ath-Thayyib, berkunjung ke Indonesia pada 2016. Beliau sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial bahwa Sunni dan Syi'ah adalah saudara. Pernyataan ini menuai respon negatif dari masyarakat, dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menolak pandangan itu.
Namun, di balik pernyataannya itu, jelas Syi'ah tidak bisa digeneralisasi. Memang ada segelintir pengikut Syi'ah yang mencela tokoh-tokoh ahlusunah, tapi menurutnya, hal itu berakar dari pengkultusan Ali bin Abi Thalib. Kitab-kitab Syi'ah klasik pun banyak menunjukkan penghormatan pada para sahabat. Baginya, perbedaan Sunni-Syi'ah bukan soal iman atau kafir, melainkan isu politik dan kepemimpinan.
Terkait dinamika doktrin Sunni-Syi'ah yang penuh gejolak, Al-Azhar juga mengalami pasang surut, terombang-ambing antara pro dan kontra. Namun, keberadaannya menjadi bukti bahwa perbedaan mazhab tidak semestinya dilihat sebagai jurang pemisah, melainkan sebagai kekayaan intelektual peradaban Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H