Mohon tunggu...
Denox
Denox Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis Pemula

Penulis Pemula

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Napak Tilas Kota Bandung: Berawal Dari Kerja Paksa Daendels Hingga Sempat Jadi Calon Ibukota Negara

13 Agustus 2023   10:15 Diperbarui: 13 Agustus 2023   10:17 194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota Bandung selalu punya daya tarik sendiri bagi para wisatawan. Baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan luar negeri, Bandung memiliki gudangnya tersendiri dengan berbagai macam kuliner, objek wisata, bahasa, seni, dan tentu saja bagi para penggemar foto, spot-spot fotonya yang bisa dibilang instagramable. Mulai dari peuyeum, bandros, surabi, hingga angklung itu semua hanya bisa kita jumpai di kota ini. Kalaupun menemukannya di kota lain tentu vibes nya pasti akan berbeda. Selain itu, Bandung juga mempunyai iklim yang sejuk karena letaknya yang dikelilingi oleh pegunungan.

Sadar atau tidak, di samping itu semua sering kali kita jumpai bahwa Bandung memiliki banyak peninggalan historis yang masih awet dan bahkan masih digunakan hingga saat ini. Entah sebagai sekolah, kantor pemerintah, bank, atau fasilitas umum lainnya. Hal tersebut menandai bahwa kota ini merupakan salah satu kota vital di masa kolonial. Dan berbicara mengenai historis, Bandung memiliki kisahnya sendiri. Konon Bandung ini berawal dari sebuah gunung api purba raksasa yang dinamakan Gunung Jayagiri. Ketika itu gunung tersebut mengalami erupsi bahkan mencapai 3 fase erupsi sekitar 500 ribu tahun yang lalu. Ledakan erupsi tersebut menciptakan kawah besar yang kini menjadi objek wisata, yakni Gunung Takuban Perahu yang kita kenal sekarang ini.

Selain itu, erupsi tersebut juga diyakini memunculkan genangan air raksasa yang dikenal dengan Danau Bandung Purba, yang tercipta dari lontaran material akibat erupsi terakhir yang mengubur lembah sungai Citarum. Yang mana timbunan material yang menyumbat aliran sungai Citarum itulah yang memunculkan danau purba tersebut. Adapun danau tersebut terbentang dari Bukit Dago di wilayah utara sampai Soreang di wilayah selatan. Dari sinilah nama Bandung tercipta. Menurut Edi S. Ekajadi selaku sejarawan Sunda dalam bukunya Sejarah Kota Bandung 1045-1979, sebutan Bandung diambil dari kata bahasa Sunda, yaitu “ngabandeng” yang artinya genangan air yang sangat luas atau bisa juga diartikan bendungan.

Keberadaan pemukiman penduduk di wilayah Bandung sendiri sudah terasa hidup sejak masa Kerajaan Pakuan Pajajaran, yang nama wilayahnya kala itu disebut Tatar Ukur. Di masa Kerajaan Pajajaran, Tata Ukur memiliki aktivitas pertanian yang cukup tinggi, terutama dalam produksi lada. Kalau dikira-kira produksi lada mereka mencapai 1000 bahar per tahunnya. Selain lada, komoditas penting Kerajaan Pajajaran di wilayah itu adalah cabai. Ketika Kerajaan Pajajaran runtuh, Tatar Ukur menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Sumedanglarang. Hingga suatu waktu terjadi invasi besar-besaran dari arah barat oleh Kesultanan Banten dan arah timur oleh Mataram Islam. Invasi tersebut mengakibatkan runtuhnya Kerajaan Sumedanglarang. Dan pada tahun 1579, dibawah pimpinan Sultan Agung, secara otomatis Tatar Ukur menjadi wilayah Mataram Islam. Di masa itu, Sultan Agung menjadikan wilayah Tatar Ukur menjadi kadipaten yang disebut Kadipaten Priangan. Salah satu bupati yang pernah diangkat oleh Sultan Agung untuk mengontrol wilayah tersebut adalah Dipati Ukur yang kini namanya dicantumkan sebagai salah satu nama jalan di Kota Bandung.

Masih menurut Edi S. Ekajadi dalam bukunya Cerita Dipati Ukur: Karya Sastra Sejarah Sunda, pernah di suatu ketika Dipati Ukur ditemani oleh Tumenggung Bahurekso, salah satu panglima perang Mataram, yang mana keduanya diperintah oleh Sultan Agung untuk menyerang Kesultanan Banten. Namun, keberadaan VOC di Batavia menghalangi rencana mereka sehingga mereka mesti mengalahkan VOC terlebih dahulu. Keduanya pun membuat rencana dengan Dipati Ukur menyerang melalui wilayah Cikao, kini berada di Purwakarta, sedangkan Bahurekso melalui jalur laut. Mereka berjanji akan saling bertemu di wilayah Karawang. Dengan berbekal 10.000 pasukan, mereka pun siap untuk menggempur VOC di Batavia. Akan tetapi, ketika Dipati Ukur memasuki wilayah Karawang, ia tak kunjung bertemu pasukan Bukahao. Setelah sekian lama menunggu, ia memutuskan untuk menyerang VOC. Pasukan VOC dengan persenjataannya yang lebih modern sempat terkejut di awal serangan, tetapi mereka berhasil memukul mundur pasukan Dipati Ukur. Di sisi lain, Bahurekso baru tiba di Karawang dan ia kesal lantaran Dipati Ukur meninggalkannya. Dan ia pun segera menyusul ke Batavia tetapi tidak menemukan Dipati Ukur dan pasukannya. Akhirnya, mereka juga mengalami nasib yang sama dengan Dipati Ukur.

Sementara itu, Dipati Ukur dan sisa pasukannya bersembunyi di Gunung Pangporang, salah satu gunung yang sulit dicapai lantaran letaknya yang dikelilingi oleh gunung-gunung. Di sana ia menyadari jika ia kembali ke Mataram, maka hukuman berat akan menanti. Sedangkan, Bahurekso kembali ke Mataram dan melapor pada Sultan Agung akan kekalahan mereka. Tentunya sang Sultan kecewa akan kekalahan tersebut namun yang membuatnya murka adalah tidak kembalinya Dipati Ukur ke Mataram. Ia menganggap tindakan itu sebagai pemberontakan. Akhirnya, Sultan Agung mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur. Hingga pada tahun 1632, Dipati Ukur ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

Singkat cerita, di tahun 1808 tepatnya saat Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels berkuasa, pemerintah kolonial berencana membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan yang rencananya berjarak sekitar 1000 km dan mesti rampung setidaknya dua tahun. Tujuan dibuatnya Jalan Raya Pos itu sendiri sebagai bentuk antisipasi pihak kolonial (saat itu Prancis) yang ketika itu sedang berperang dengan Inggris dalam Perang Napoleon. Sehingga melalui jalan itulah disiapkan beberapa unit infantri di setiap posnya untuk membendung serangan pasukan Inggris jika suatu hari menyerang Pulau Jawa. Pembangunan itu disebut-sebut memakan 7.000 sampai 14.000 orang pribumi. Mereka dipaksa bekerja sepanjang harinya tanpa diberi upah. Tetapi dibalik itu, nyatanya Daendels memberikan upah yang nominalnya masih belum diketahui sebagai gaji para pekerja dan uang itu diberikan pada bupati. Akan tetapi, entah kemana uang itu tidak pernah sampai pada para pekerja, sehingga banyak dari mereka yang mati kelaparan. Sejarawan Peter Carey pernah berpendapat bahwa uang tersebut dikorupsi oleh para petinggi pribumi.

Pada 25 Mei 1810, Daendels mengirim sepucuk surat pada Bupati Bandung saat itu, R. A. Wiranatakusumah II untuk memindahkan ibukota kabupaten yang bermula di Karapyak, kini berganti nama menjadi Dayeuhkolot ke lahan kosong berupa hutan di tepi sungai Cikapundung. Pemindahan itu terjadi lantaran Karapyak sering dilanda banjir di musim hujan, sedangkan Cikapundung dianggap memiliki lokasi yang bisa mempermudah akses pembagunan Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Namun, menurut laman Pemkot Bandung, pembangunan Kota Bandung sudah direncanakan sejak tahun 1809 oleh R. A. Wiranatakusumah II sendiri. Penebangan hutan besar-besaran pun dimulai. Adapun sepanjang Jalan Sudirman hingga Jalan Ahmad Yani berlanjut ke Sumedang menjadi bukti rekaman pembangunan Jalan Raya Pos ini di Kota Bandung. Kemudian, pada 25 September 1810, keluarlah belsuit atau ketetapan bahwa Bandung menjadi ibukota baru kabupaten. Dengan demikian, tanggal 25 September 1810 ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Bandung.

Namun siapa sangka bahwa di masa Gubernur Jenderal Johan Paul van Limburg (1916-1921), Bandung sempat direncanakan sebagai ibukota baru negara. Hal tersebut lantaran Batavia yang memiliki masalah sanitasi dan bencana banjir yang serius. Dengan begitu, banyak orang-orang yang terjangkit malaria dan disentri. Dan masalah ini sudah melanda Batavia selama bertahun-tahun. Hingga usulan Bandung sebagai ibukota baru negara pun disambut baik oleh banyak khalayak, terutama bagi mereka para pengusaha.

Maka di tahun 1920, dibangunlah Department Verkeer een Waterstaat yang kini menjadi Gedung Sate sebagai pusat pembangunan gedung-gedung pemerintahan serta rumah bagi para pegawai pemerintah. Setelah itu, secara berangsur para pengusaha mulai memindahkan pusat dagang mereka ke Bandung. Berbagai perusahaan baik negeri maupun swasta juga mulai mendirikan kantornya di Bandung. Dari situlah Bandung mulai menjadi pusat perkantoran, bisnis, dan kuliner. Memasuki tahun 1929, malapetaka bernama Depresi Besar siap menggagalkan rencana tersebut. Alhasil, proyek pemindahan ibukota pun dihentikan. Ditambah lagi pecahnya Perang Dunia Kedua membuat proyek ini pada ujungnya ditinggalkan.

Setelah melalui berbagai revolusi dan pergantian pendudukan, mulai dari Belanda, Jepang, hingga sekutu banyak peristiwa-peristiwa bersejarah pernah tercatat di kota ini. Sebut saja didirikannya partai politik pertama di Indonesia, yakni Indische Partij, Peristiwa Bandung Lautan Api, Konferensi Asia Afrika Pertama, hingga kerusuhan anti-Tiongkok pada 5 Agustus 1973. Kini di era modern, Bandung tumbuh menjadi salah satu kota metropolitan di Indonesia. Berbagai kampus-kampus bergengsi dan perusahaan-perusahaan besar juga ada di kota ini. Komplit sudah kisah Bandung sebagai kota yang serat akan kuliner, objek wisata, bahasa, seni, dan sejarah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun