Mohon tunggu...
Arya S
Arya S Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Mencoba memahami dunia dan mengubahnya melalui pemikiran dan jiwa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Drama Makhluk Absurd

8 Desember 2024   21:08 Diperbarui: 8 Desember 2024   21:10 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
illustrasi panggung teater ( sumber : https://images.wisegeek.com/red-curtains-in-movie-theater.jpg )

Aku sudah lama bersama mereka, makhluk-makhluk itu terus disampingku. Siapa mereka sebenarnya ? Aku bahkan tak tau siapa mereka. Merekalah malaikat dan iblis di saat yang bersamaan. Sayangnya mereka bukan makhluk surgawi atau makhluk kegelapan–mereka lebih aneh daripada itu–membayangkannya saja sudah membuatku merinding. Tubuhku bergetar saat bertemu mereka, aku tak bisa berbicara dengan benar rasanya seperti ada batu di kerongkonganku yang menyumpal kata-kataku. Aku tak bisa tak bertemu mereka, mereka disampingku setiap hari, selalu mengawasiku, menyuruhku bekerja untuk membersihkan sarang mereka. Jika membicarakan sarang mereka sebenarnya aku bisa memuji mereka, kebanyakan barang tersusun rapi dengan ciri khas mereka sendiri, mereka kurang lebih seperti hewan–sangat ganas jika ada yang memasuki wilayah mereka. Namun, ada hal yang sangat menjijikan dari mereka ; tak seperti hewan yang langsung mengusir penyusup, mereka membiarkan penyusup masuk dan memberikan mereka makanan. Aku mual melihatnya, bagaimana mungkin mereka membiarkan orang asing mendapatkan makanan mereka, apakah mereka tidak pernah berpikir untuk memikirkan diri sendiri dahulu ? Yang lebih menjijikan adalah mereka memenjarakan siapapun yang mencuri makanan mereka. Bukankah ini sangat kontradiktif dengan aksi mereka sebelumnya ? Cukup sampai disini aku membahas makhluk ini, hari-hariku kelam dan gelap saat bersama mereka yang menyelamatkanku hanyalah kesendirian. Aku terus bekerja layaknya budak, aku tidak diberikan kertas-kertas adiministrasi budak, yang diberikan padaku adalah kertas tak berbentuk yaitu : kewajiban.

Kenapa aku tiba-tiba berpikir soal kewajiban, astaga kurasa aku sudah mulai gila disini. Aku selalu berpikir sebelum menuju kegelapan malam di hari-hariku. Mungkin saat ini aku terlalu bodoh. Setiap kali aku sadar bahwa aku diberikan kewajiban oleh mereka–sebenarnya agak aneh memikirkan ini–aku merasa tidak berdaya. Aku sudah membaca ratusan teks sejarah tentang bagaimana manusia diperbudak, sekarang aku sadar makhluk ini memperbudakku ; sungguh aku sangat menyedihkan sekarang.

***

Hari itu aku sedang membersihkan pintu kamarku, kemudian aku melihat makhluk-makhluk itu bersenda gurau dimeja mereka. Sungguh menjijikan melihat wajah mereka. Aku segera menutup pintu dan kemudian meneguk segelas air untuk menenangkan pikiran. Hari itu sangat berbeda, aku melihat makhluk itu berjalan menuju kamarku lalu mengajakku bergabung ke meja makan. Mulut mereka mulai bergerak, baru pertama kali aku membicarakan hal sebanyak ini dengan mereka. Sudah bertahun-tahun aku bersama mereka dan kadang-kadang mereka hanya bicara padaku seperlunya saja, mungkin mereka tak membutuhkanku. Mereka mulai berbicara tentang masa depan, aku kemudian terpikir tentang bagaimana melepaskan diri dari makhluk menjijikan ini. Saat mereka berbicara tentang banyak hal kepadaku aku mulai sadar, makhluk inilah yang melahirkanku, benarlah bahwa aku anak mereka, dan itu membuatku semakin ingin membunuh diriku sendiri.

Aku mulai memikirkan untuk bebas dari belenggu perbudakan ini, tidak ini bukan perbudakan, ini hidup. Ya benar aku harus lepas dari hidup ini. Teater panggung sudah mulai disiapkan dan aku akan menjadi pemeran utamanya, aku namakan drama makhluk absurd ; mengingat betapa absurdnya mereka.

Aku memulainnya saat aku masih seperti anak ayam ; lucu dan menggemaskan. Pada masa itu semua orang berimajinasi demikian pula denganku. Aku tertarik melihat bintang-bintang di kegelapan malam berpikir apakah suatu saat aku dapat kesana. Semakin lama waktu maka semakin berubah pula fisikku, kini aku adalah ayam remaja ; tubuhku mulai berubah demikian pula dengan imajinasiku, tak ada lagi bintang aku bahkan tak lagi berimajinasi, setiap hari duduk di kursi melihat ke depan mendengarkan pengkhotbah yang menerangkan bagaimana membunuh imajinasi.

Disaat inilah aku mulai sadar perlakuan dua makhluk absurd itu sangat berbeda. Mata mereka menaruh harapan kepadaku berharap aku menjadi absurd seperti mereka, tubuhku bergetar ketakutan melihat mata mereka, harapan itu membuatku semakin yakin bahwa aku adalah budak mereka, saat ini terjadi aki kemudian mencari dimanakah kebebasan sesungguhnya. Aku terbelenggu pikiranku campur aduk, wajahku keriput, drama telah mencapai klimaksnya aku merasa sudah saatnya mengakhirinya, aku akan memberikan akhir yang menawan. Siapapun yang menontonnya akan takjub melihat betapa hebatnya aku sebagai pemain drama ini.

Aku menyalakan lilin di kamarku dan memecahkan lampu kamarku, sekarang hanya tersisa cahaya redup di kamarku. Aku menatap dinding yang gelap kemudian berpikir ; hidup selama belasan tahun dengan segala macam tragedinya adalah sebuah grafik yang selalu naik turun, kupikir tak ada salahnya mengeluh namun apa daya aku hanya bisa pasrah karena masyarakat tak menjawab keluhanku terhadap dunia. Segala-galanya bagiku adalah abu-abu, aku sama sekali tak melihat warna lain dalam hidupku, kosong dan hampa. Hidupku penuh dengan makhluk absurd ; mereka adalah makhluk tanpa makna yang bahagia dengan tidak adanya makna. Jika mereka melihat sesuatu sebagai hal baik mereka melakukannya, dan jika itu buruk mereka melarang seseorang melakukannya. Dunia ini penuh larangan, semakin frustasilah aku menyadari bahwa larangan itu hanya berlaku untuk orang yang bebas, sementara aku yang hanya budak ini pasrah menunggu semuanya berakhir. Aku mengambil tali mengikatnya dengan presisi, aku kemudian menabur mawar di sekeliling kamarku. Kamarku yang sekarang dipenuhi bunga mawar dimana-mana, setelah selesai aku kemudian mengganti bajuku dengan jas hitam. Aku menyempatkan untuk menulis ini sebelum mengakhiri semuanya, drama sudah berakhir penonton tertawa dan aku tersenyum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun