Mohon tunggu...
Arya Rizki Darmawan
Arya Rizki Darmawan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Fakultas Teknik UNLAM

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kado Untuk Sang Ayah

4 Agustus 2011   04:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:06 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

“Vay, Ayah pergi kerja dulu ya,” ucap ayah sambil mengusap kepalaku. Setiap pagi, ayah selalu pergi untuk mencari nafkah. Ayah tak pernah lelah dan mengeluh untuk terus bekerja. Semenjak ibu meninggal, ayah semakin rajin untuk bekerja. Ia berjanji akan membahagiakan aku. Ia akan berusaha keras mengumpulkan uang untuk biaya berobatku. Karna aku terlahir bisu.

Namaku Vay. Aku sekarang tidak bisa melanjutkan sekolah ke tingkat SMP karna bisu. Sekolah-sekolah yang ayah datangi semuanya menolak untuk menerimaku sebagai siswanya. Sampai-sampai ada sebuah sekolah yang menghina aku, karna aku cacat. Tetapi kejamnya dunia ini tak bisa membuatku terus berhenti untuk menulis. Walaupun aku tak bisa berbicara, namun goresan pena yang aku genggam ini bisa sebagai pengganti suaraku. Aku bertekat akan terus menulis, dan menjadi penulis yang bisa dibanggakan oleh ayah.

Suatu hari ayah menghadiahkan sebuah pena kepadaku sebagai pemberian kado ulang tahun. Aku sangat gembira sekali. Aku semakin bertambah semangat dalam menulis. Saat aku menulis, disaat itulah ayah tersenyum bahagia kepadaku. Mungkin ayah teringat pada ibu, karna ibu adalah seorang penulis yang hebat. Ayahpun sering mengajarkan aku untuk membuat suatu cerita yang bagus. Bahkan kami sering membuat cerita bersama-sama. Walaupun aku cacat, tetapi ayah tidak sama sekali malu mempunyai anak seperti aku. Ayah selalu memujiku, walau sebenarnya cerita yang aku tulis tak sebagus tulisan ayah dan ibu.

Saat kematian ibu, ayah sangat merasa kehilangan. Rasa sedih itu sangat jelas terlihat di wajahnya. Sehingga setiap ia mendengar kalimat kanker, ia akan menangis, teringat pada ibu. Kanker otak, itulah yang menyebabkan ibu meninggal. Para dokter sudah angkat tangan dengan penyakit ini. Sampai sekarang pun belum ada obat yang bisa menyembuhan penyakit kanker otak, kecuali doa. Aku percaya, jika kita berdoa kepada Tuhan, maka Tuhan akan mengabulkan permintaan kita. Namun saat aku berdoa agar ibu sembuh itu tidak terkabulkan, mungkin Tuhan mempunyai jalan rahasia yaitu jalan yang lebih indah dari yang kita pikirkan.

Kini kami hanya hidup berdua, hanya bercanda berdua, dan saling berbagi berdua hingga kami bisa bertemu kembali dengan ibu di alam surga.

***

“Vay, sore ini mau jalan-jalan?” tanya ayah kepadaku. Aku pun mengangguk sebagai jawaban iya. Sebenarnya setiap minggu sore ayah selalu mengajakku jalan-jalan. Ia selalu mengajakku ke sebuah taman. Taman itu sangat indah sekali. Saat memasuki taman itu sudah tercium aroma bunga-bunga yang harum. Jika aku berada di taman itu, pasti hatiku sangat damai dan tenang. Seakan taman itu dipenuhi malaikat-malaikat yang dikirimkan oleh ibu untukku. Di taman itu juga ibu telah meninggal. Saat ingin dirawat di rumah sakit, ibuku menolak dan meminta untuk diantarkan ke taman itu. Di saat itulah ibu menuliskan tulisan terakhirnya, tulisan itu berupa puisi, puisi tentang keindahan taman itu. Sehingga ayah memberikan taman itu sebuah nama, yaitu Taman Surga.

Taman Surga, ini lah taman yang sedang ku injakkan dengan kedua kakiku ini. Taman ini bagaikan surga bagiku. Entah mengapa aku bisa merasakan lambaian lembut dari tangan ibu. Seakan ibu sedang memeluk kami berdua dengan erat. Di taman ini juga aku bersama ayah sering menulis bersama. Menulis cerita tentang ibu.

***

Satu bulan Kemudian

“Vay, kamu kenapa menggigil? Badan kamu panas Vay,” kejut ayah ketika melihatku menggigil di kamar. Ayahpun langsung membawaku ke rumah sakit dengan wajah yang sangat cemas. Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, yang ayah lakukan hanya beristighfar, meneyebut nama Allah dan berdoa agar aku tidak kenapa-kenapa.

Saat di rumah sakit aku langsung ditangani dokter medis. Dokter itu menyuruhku berbaring di sebuah kamar. Kamar yang sangat putih bersih. Tak ada satu orangpun, hanya ada lampu besar yang menyinariku. Tiba-tiba aku merasa berat untuk terus membuka mata akibat obat yang telah dokter itu berikan. Kini aku hanya bisa melihat putih, putih kemudian gelap gulita.

Ibu..

Aku rindu padamu..

Aku ingin bertemu..

Andaikan saja ada waktu..

Aku ingin mencium kakimu..

***

“Vay, kamu sudah sadar nak.. Alhamdulillah.. Ayah sangat khawatir sekali,” ucap ayah setelah melihatku sadar. Ternyata aku sudah koma hampir satu minggu. Kemudian ayahpun menceritakan semuanya padaku.

Kanker otak, itu lah penyakit yang menyerangku. Penyakit yang juga menyerang ibuku dan menyebabkan ibu meninggal. Aku sungguh terkejut saat mendengar ucapan ayah. Seakan aku tidak bisa mempercayai ada penyakit ganas di dalam tubuhku. Tetapi kini aku hanya bisa pasrah dan menyerahkan hidupku pada Tuhan.

Hari berlalu begitu cepat setelah aku mengetahui penyakit yang ada di dalam tubuhku. Kini aku berdiri di depan cermin, menatap keadaanku. Aku sungguh tak menduga, di tubuhku yang mungil ini terdapat penyakit ganas. Ya Tuhan, sebenarnya apa yang ingin Engkau tunjukkan padaku?

Sore ini pun ayah kembali mengajakku ke taman surga. Kali ini aku sudah tak bisa untuk berdiri. Aku selalu duduk di kursi roda. Tetapi ayah tetap saja terus mau menemaniku. Ayah tak pernah habis-habisnya untuk terus dan selalu membahagiakanku.

“Vay, kita sampai di taman surga. Lihat lah,” ucap ayah dengan suara yang bergetar. Ia tak tahan untuk meneteskan air mata. Tetes demi tetes air mata ayah keluar secara perlahan. Kemudian aku memberikan ayah tisu yang ada di sakuku. Ayah pun menerima tisuku, kemudian ia kembali tersenyum. Ia berusaha tegar. Ia terus berdiri tegak, walau ketakutan menghantui di belakangnya. Aku pun tak tahan dengan keadaan ayah sekarang, sungguh aku ingin ikut mengeluarkan air mata.

“Vay, kamu jangan menangis ya,” ucap ayah dengan suara yang semakin bergetar. Ia mencoba menghapus air mata di pipiku, walau sebenarnya ia juga sangat ingin menangis. Tiba-tiba ayah menyodorkan sebuah kertas untukku. “Tulislah Vay, tulislah sesuatu yang sedang kamu rasakan sekarang.” Kemudian aku genggam pena, aku tuliskan sesuatu yang sedang sangat aku rasakan.

Ayah..

Apa ibu sedang melihat kita?

Lalu apa ibu sedang tersenyum?

Ayah..

Apa kita akan bertemu kembali?

Berkumpul bersama ibu..

Berkumpul dengan semua kenangan yang hilang..

Ayah..

Hapuslah tetesan air matamu..

Tetaplah tegar seperti sekarang..

Tetaplah bersemangat..

Ayah…

Aku sangat menyayangimu..

Aku sangat mencintaimu..

Ayah..

Maafkan Vay yang tak bisa membahgiakan ayah..

Yang selalu membuat ayah malu..

Yang selalu membuat ayah cemas dan takut..

Maafkan Vay ayah..Maaf..

Vay hanya bisa menangis, tanpa berbuat sesuatu yang bisa membahagiakan ayah..

Ayah, Vay dengan Ibu akan menunggu di surga…….

Ayah….

Tiba-tiba jemariku sudah tak bisa aku gerakkan kembali. Mengapa?? Ada apa?? Sungguh amat terasa berat. Ayahpun sangat cemas ketika melihatku. Tapi aku tetap mencoba menuliskan kalimat terakhir.

Selamat tinggal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun