Oleh: Bukan Siapa-Siapa
Dinamika hidup ini memang seperti sebuah gelombang, jadi memang harus bersiap ketika gelobang itu naik ataupun turun. Berbicara tentang nasionalisme banyak sekali sekarang orang yang menggembor-gemborkan nasionalisme. Jangan berbicara tentang nasionalisme yang terlalu idealis (Mengawang-ngawang) seakan kitalah yang paling faham akan arti sebuah nasionalisme. Penulis sendiri dalam proses belajar untuk benar-benar memahami arti akan sebuah nasionalisme. Pertanyaan yang paling mendasar tentang nasionalisme adalah sudahkah kita berusaha menghargai dalam setiap perbedaan. Sudahkah kita rukun dengan tetangga terdekat, walaupun berbeda pendapat, walaupun berbeda agama. Dan justru yang paling mengkhawatirkan adalah ketika kita sudah merasa bahwa kitalah yang paling nasionalis. Lebih dari itu bahkan sudah berani menilai orang lain tidak nasionalis.
Ada sebuah ungkapan bahwasanya bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawan atau tahu akan sejarah bangsanya (Soekarno). Kenapa tokoh proklamator ini berkata demikian, karena dengan sejarah pula kita akan tahu seperti apa, kemana akan dibawa bangsa ini. Mengenai bagaimana negara ini dibangun, tentu alangkah baiknya kita mencermati seperti apa faham mengenai nasionalisme? Dibawah ini adalah kutipan mengenai pidato Bung Karno setelah ketua BPUPKI yaitu Dr. K.R.T Radjiman Wedyoningrat memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk berpidato.
“... Saudara-saudara. Tetapi...tetapi...memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal ini!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan”, “My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme, sebagai dikobar-kobarkan orang Eropa, yang mengatakan “Deutschland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsanya minulyo, berambut jagung dan bermata biru, “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedang bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian, Tuan-tuan jangan berkata, bahwa bangsa Indonesialah yang terbagus dan termulya, serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan Negara Indonesia Merdeka, tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip saya yang kedua. Inilah filosofich principe yang nomor dua, yang saya usulkan kepada tuan-tuan, yang boleh saya namakan “Internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasinalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada Tuan-tuan sekalian adalah bergandengan erat satu sama lain.
Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihat Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun adalah orang Islam, maaf beribu-ribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna, tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam mufakat, dalam permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat... (Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 76-77).
Kutipan pidato Bung Karno diatas hendaknya menjadi sebuah pelajaran bahwa sisi manusia pasti memiliki sifat diatas entah itu nasionalisme atau chauvinisme. Jangan berbicara nasionalisme dalam tataran makro atau kenegaraan, tetapi kita berbicara tentang nasionalisme yang ada dalam diri kita. Karena ini akan menentukan bagaimana diri kita sebenarnya, apakah kita memang benar-benar nasionalisme atau masih mementingkan ego kita masing-masing. Penulispun masih belajar untuk menjadi nasionalis sekaligus perikemanusiaan. Paragraf yang terakhir mari kita menganalisis yang menyangkut tentang agama. Seperti ini ungkapan Bung Karno (Analisis oleh penulis) bahwasanya untuk beragama Islam ya inilah saat yang tepat untuk memelihara agama.Disini maksudnya Bung Karno juga beragama Islam kalaupun dada saya dibelah pasti hati saya adalah Islam. Namun dalam konteks ini Indonesia (Multikultural) bagaimana bisa kita mendirikan negara yang sepenuhnya menjalankan syariat Islam sementara penduduknya masih ada yang beragama lain. Untuk masalah ini penulis tidak bisa berkomentar, biarlah kita pikirkan dalam benak masing-masing.
Satu hal yang pasti perlu kita ingat bahwa ketika Nabi Kita Muhammad SAW berhasil mendirikan sebuah negara, yang sampai saat ini selalu didengungkan yaitu negara madani. Ketika itu dimadani ada beberapa golongan tentu tidak hanya golongan muslimin. Memang berat ketika itu tantangan Nabi kita Muhammad SAW, namun ternyata nabi berhasil meletakan dasar-dasar untuk dipakai sebagai acuan atau dasar entah itu hubungan negara dengan warga negara atau warga negara dengan warga negara. Apakah landasan atau dasar yang berhasil dibangun oleh nabi kita yaitu yang sampai saat ini sering kita dengar yaitu Piagam Madani. Piagam madani ini berhasil melindungi kepentingan semua kalangan, bahkan yang beragama Non Islampun sampai merasa aman kepentingannya, tidak takut lagi ada pembunuhan atau chauvimisme kalau dalam konteks Bung Karno diatas.
Bila ada kesalahan makna dan tafsir semata-mata kesalahan penulis. Penulis menerima kritik dan saran yang membangun.
Oleh : Rendi Aryanto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H