Krisis Asia 1997--1998 dimulai pada Juli 1997 di Thailand ketika pemerintah terpaksa mengambangkan mata uang baht setelah gagal mempertahankannya dari serangan spekulatif. Ketidakmampuan pemerintah untuk menjaga nilai baht terhadap dolar AS menyebabkan devaluasi signifikan, yang memicu reaksi berantai di seluruh Asia Tenggara (Aji et al., 2024:2). Menurut Radelet dan Sachs dalam Aji et al. (2024:2), krisis ini disebabkan oleh kombinasi faktor seperti defisit neraca berjalan yang tinggi, utang luar negeri yang besar, dan sektor perbankan yang lemah. Thailand menjadi negara pertama yang terdampak, dengan baht terdevaluasi lebih dari 20% dalam beberapa minggu pertama, diperburuk oleh pelemahan ekonomi serta masalah keuangan yang tersembunyi di balik pertumbuhan ekonomi sebelumnya. Krisis ini kemudian menyebar ke negara-negara lain, termasuk Indonesia, di mana rupiah mengalami devaluasi tajam, inflasi melonjak, dan ketidakstabilan politik memuncak dengan pengunduran diri Presiden Soeharto pada Mei 1998 (Aji et al., 2024:2).
Krisis moneter di Indonesia dimulai pada Juli 1997 dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Dalam waktu singkat, Rupiah mengalami penurunan tajam hingga mencapai titik terendah di Rp 17.000 per Dolar AS pada Januari 1998. Depresiasi ini memicu kepanikan di kalangan investor dan pelaku ekonomi, yang berujung pada aksi penarikan dana besar-besaran dari sektor perbankan dan pasar modal. Kondisi tersebut memperparah krisis likuiditas serta menyebabkan krisis kepercayaan yang serius di sektor perbankan dan keuangan (Sunardi et al., 2024).
Kemerosotan tajam nilai tukar rupiah berdampak luas, termasuk kesulitan menutup APBN, kenaikan harga barang seperti telur dan ayam, lonjakan utang luar negeri dalam denominasi rupiah, serta peningkatan harga BBM dan tarif listrik. Selain itu, tarif angkutan naik, banyak perusahaan menutup usaha atau mengurangi produksi karena sulit menjual barang dan tingginya beban utang, toko-toko menjadi sepi, terjadi PHK massal, investasi menurun akibat mahalnya impor barang modal, dan biaya pendidikan di luar negeri meningkat signifikan (Tarmidi, 1999:17).
Krisis ekonomi pada 1997--1998 mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan guna mengatasi permasalahan yang muncul. Respon awal yang dilakukan adalah menerapkan kebijakan terpadu yang meliputi kebijakan moneter, fiskal, dan sektoral. Secara umum, pemerintah memperketat kebijakan moneter dan mengurangi ekspansi pengeluaran dalam kebijakan fiskal (Ibrahim et al., 2023:6).
Pemerintah mengambil langkah kebijakan untuk mengurangi dampak krisis ekonomi global, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Penurunan daya beli akibat kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok mendorong pemerintah untuk menyesuaikan subsidi BBM, listrik, dan kebutuhan pokok guna meringankan beban masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kebijakan ini dilakukan melalui relokasi anggaran APBN dengan mengalihkan pembiayaan dari sektor lain (Sunardi et al., 2024).
Untuk mengatasi ketatnya likuiditas sekaligus mencegah memburuknya kondisi ekonomi, Bank Indonesia menurunkan diskonto SBI intervensi. Selain itu, pencairan lebih awal atas SBI yang dimiliki oleh BUMN, yayasan, dan lembaga lainnya juga dilakukan, disertai dengan pelonggaran pemberian kredit likuiditas khusus untuk mendukung program pengembangan usaha kecil. Upaya lain untuk meredam fluktuasi nilai tukar mencakup peningkatan pasokan devisa dan pemenuhan kebutuhan devisa pihak swasta. Kebijakan yang diterapkan meliputi program swap khusus bagi eksportir, forward untuk importir, penurunan giro wajib minimum, penundaan rencana pinjaman komersial, dan penyediaan kembali fasilitas SPBU kepada perbankan. Selain itu, pembentukan INDRA dan Jakarta Initiative dilakukan untuk mengurangi tekanan pada valuta asing dan mempercepat penyelesaian utang swasta (Ibrahim et al., 2023:6).
Di sektor keuangan riil, Charles PR Joseph dalam Ibrahim et al. (2023:6) menjelaskan bahwa langkah-langkah kebijakan yang diambil mencakup pembentukan Badan Penyehatan Perbankan Nasional, percepatan proses privatisasi BUMN, pembatasan wewenang distribusi Badan Urusan Logistik hanya untuk beras, serta penghapusan hak monopoli pada berbagai komoditas seperti cengkeh, semen, kertas, dan kayu.
Referensi
Aji, A. P., Risanda, M. H., Septa, M. E., & Ribawati, E. (2024). Krisis Ekonomi 1998: Kronologi Sampai Kebijakan. Sindoro Cendikia Pendidikan, 5(3), 1-10.
Ibrahim, E. K., Maisyaroh, D., & Putri, K. T. (2023). Analisis Kebijakan Moneter Terhadap Krisis Moneter 1997-1998 di Indonesia. JEI: Jurnal Ekonomi Islam, 1(2), 1-9.