Mohon tunggu...
Arya Pamungkas
Arya Pamungkas Mohon Tunggu... -

another almost mid-twenty geek who has a redundant obsession of having a vigorously happy family..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

The Unfinished Budha

3 Februari 2011   14:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:55 910
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dulu sekali, waktu masih muda (sekarang juga masih muda haha), saya bertanya pada tour guide kapiran yang mengawal serombongan anak-anak SMP kelas unggulan,"Stupa paling besar di Borobudur isinya apa?" Yah, namanya juga kapiran, dia menjawab seenaknya,"Gini, Dek. Itu stupa buat ngurung jin.. dan bla bla bla.."  Wah, benar-benar tidak menghargai imajinasi anak ber-IQ 141 (cih sombong..). Ya, sudahlah. Bukan tanpa alasan saya teringat pada memori itu. Beberapa hari terakhir saya membaca buku tulisan P Swantoro yang berjudul Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) tahun 2002 di Jakarta. Dalam pengantarnya, si kakek mengatakan bahwa tulisan dalam buku ini merupakan hasil perkelanaan memorinya. Buku ini sendiri ditulis dengan gaya story telling yang mengasyikkan. Jakob Oetama dalam pengantarnya mengatakan: seperti seorang kakek yang berada di taman bersama cucunya dan menjelaskan semua jenis bunga yang ada di taman tersebut. Maka tak heran setelah membaca sebuah tulisan di dalamnya, memori saya pun melanglangbuana hingga sampai pada memori di atas. Tulisan itu berjudul "Batu yang Hidup dan Arca yang Menghebohkan", halaman 96-114. Tulisan ini mengetengahkan Borobudur sebagai bahan utama pembicaraannya. Tetapi yang membuat saya senang adalah saya menemukan jawaban yang lebih bisa dipercaya atas pertanyaan saya mengenai apa yang ada di dalam stupa induk. [caption id="attachment_178" align="aligncenter" width="500" caption="Borobudur"][/caption] Filosofi dan Jawaban Tenang, tahan dulu rasa penasaran anda tentang apa yang ada dalam stupa induk itu. Saya cuma mau bilang bahwa dalam beberapa hal saya sangat tertarik dengn dunia arkeologi, sejarah dan sastra. Kenapa arkeologi? Ada satu hal yang saya suka dari arkeologi terkait apa kata AJ Bernet Kempers dalam halaman sembilan buku The Ageless Borobudur. Ia berkata: seorang arkeolog yang berkecimpung dalam  studi mengenai benda-benda dari masa lalu, apabila ia merenung  lebih jauh dan lebih dalam, maka ia akan menyadari bahwa dengan manusialah ia berurusan: dengan spiritualitasnya, dengan daya ciptanya, dan dengan keterampilannya. Sebenarnya, tidak hanya seorang arkeolog saja yang perlu merenungkan hal ini. Kita sebagai awam pun laiknya bisa memahami hal ini. Paling tidak, memiliki pengertian yang demikian membuat kita lebih peduli untuk menjaga peninggalan daya cipta luar biasa dari para leluhur. Ya, kembali lagi ke misteri di dalam stupa induk Borobudur. Nah, tulisan kakek Swantoro ini memberi pencerahan pada saya. Karena selain memberi jawaban tentang apa yang ada dalam stupa itu disebutkan juga filosofi keberadaan benda-benda di dalamnya. Ketika restorasi terhadap Candi Borobudur dilakukan sekitar tahun 1907-1911 oleh tim yang dipimpin Van Erp, terjawablah isi dari stupa induk itu. Di dalam stupa induk itu terdapat dua ruangan, dengan satu ruangan berada di atas yang lain tetapi tidak saling terhubung. Ruangan yang besar berdiameter tiga meter dan yang kecil sekitar 1,2 meter. Bagian bawahnya berbentuk segi delapan dan bagian atasnya segi empat. Tinggi keseluruhannya 6,8 meter. Yang unik, ada sebuah celah misterius di stupa tersebut sejak pertama kali ditemukan. Celah ini yang membuat orang bisa memasuki stupa induk tersebut. Sekarang, kalau anda sempat ke Borobudur, anda tidak akan menemukan celah ini lagi karena sudah ditutup oleh Van Erp. Yak, akhirnya kita harus mulai meraba-raba apa yang ada di dalam stupa induk itu. Dalam stupa induk itu memang terdapat beberapa benda seperti patung Bodhisattva Avalokitisvara dari perunggu, nampan sesaji dari perunggu, dan sebilah keris atau cundrik. Karena kualitasnya tidak begitu bisa diharapkan (terutama nilai ekonomisnya) maka benda-benda itupun diabaikan. Yang memicu perdebatan adalah ditemukannya sebuah arca budha dari batu yang kemudian hari disebut sebagai the unfinished Budha. The Unfinished Budha Patung atau arca yang satu ini memang istimewa hingga memicu perdebatan di kalangan arkeolog. Letak keistimewaannya adalah bentuk fisiknya yang tidak sempurna alias cacat. Bentuk cacat ini kemudian disebut dengan unfinished atau tidak terselesaikan. Dikatakan cacat karena pahatan pada arca tersebut tidak tepat presisinya sehingga mengakibatkan beberapa proporsi tubuhnya pun meleset. Selain itu keriting rambutnya belum dipahat, tedapat "luka"  pada wajah dan salah satu ibu jarinya hilang. Perdebatannya kemudian adalah mengenai apakah arca ini benar merupakan bagian dari stupa induk atau bukan? Kelompok yang menolak berargumen bahwa tidak mungkin arca yang cacat itu tidak mungkin diletakkan di dalam stupa induk yang notabene adalan puncak dari candi. Argumen ini runtuh dengan adanya dukungan terhadap argumentasi Prof. Soekmono atas keberadaan arca tersebut. Argumentasi Prof. Sukmono didasarkan pada Serat Centhini yang dibuat pada tahun 1830. Dalam serat itu dikisahkan pengembaraan Mas Cebolang ke daerah Borobudur. Pada penjelajahannya terhadap Candi Borobudur, Mas Cebolang mendapati sebuah sangkar batu yang besar yang didalmnya terdapat satu arca besar yang kira-kira pengerjaanya belum selesai. Mas Cebolang terkagum dan mengatakan dalam hati," Paran darunane iki, reca agung tur neng puncak, teka tan langkep ing warni. Yen pancen durung dadi, iku banget mokalipun; baya pancen jinarag, embuh karepe kang kardi. Mara padha udakarenen ing driya." Intinya, Mas Cebolang mempertanyakan keberadaan arca yang tidak lengkap ini dalam stupa puncak, "Kalau belum jadi, pastilah mustahil. Mungkin memang disengaja. Entah apa maunya yang membuat? Mari kita renungkan dalam hati!" Arca ini memang istimewa menurut keberadaanya di dalam stupa induk. Stutterheim di dalam studinya yang diberi judul Tjandi Boroboedoer, Naam, Vorm en Beteekenis (1929) menggunakan kitab jawa kuno Sang Hyang Kamahayanikan untuk membahas fenomena ini. Salah satu kesimpulannya menyebut bahwa jumlah arca dalam Borobudur harus berjumlah 505, untuk menggambarkan makna tertentu dari budha. Dari 504 arca yang ada, kesemuanya telah memenuhi syarat tersebut. Tetapi masih ada satu makna yang belum terwakilkan; yang tertinggi, maha tunggal dan tidak nampak yaitu Bhatara Budha. Makna Bahtara Budha yang tidak ditemukan di 504 arca yang lain inilah yang kemudian disimpulkan berada dalam bentuk arca budha yang tidak sempurna atau the unfinished budha dalam stupa induk. Makna maha sempurna dari arca tidak sempurna ini dapat diterangkan melalui kemampuan manusia yang terbatas untuk menggambarkan apalagi mewujudkan kesempurnaan. Manusia hanya memahami bahwa alam semesta yang sempurna ini selalu menampilkan dua unsur yang berlawanan. Dalam hal ini, representasi kesempurnaan ditampilkan melalui sebuah arca yang tidak sempurna di tengah 504 arca lain yang sempurna. Oleh karena itu, arca yang cacat ini mutlak ada di puncak stupa induk untuk melengkapi makna kesempurnaan secara menyeluruh yang ingin ditampilkan oleh para pembuat Borobudur. Ah, puas rasanya bisa berbagi pengetahuan. Sekaligus juga memuaskan pertanyaan masa kecil. Akhir kata, mari kita jaga peninggalan kultural di negeri ini! Sumber bacaan: P. Swantoro , "Batu yang Hidup dan Arca yang Menghebohkan" dalam Dari Buku ke Buku Sambung Menyambung Menjadi Satu terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) tahun 2002, Jakarta.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun