Mohon tunggu...
Arya Pamungkas
Arya Pamungkas Mohon Tunggu... -

another almost mid-twenty geek who has a redundant obsession of having a vigorously happy family..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Skeptisis Agnostisis

3 Februari 2011   11:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:56 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kurasai kecupmu ketika aku masih menyempatkan hela terakhir
Dan rabaanmu di ari yang mengering masih terasa
Sementara hal-hal yang terasa janggal berkitaran di seputar kepalaku
Maka yang terdengar di telingaku hanya ngiangan isakmu
,"Apa kamu akan meninggalkanku?"

Bukan. Bukan itu yang mestinya kamu tanyakan.
Aku masih perlu mencari kepingan terakhir. Aku tak akan mati secepat ini.
Hanya saja sisa-sisa hidup yang terabaikan ini membuatku malu.
Dan kamu masih berdiri di situ, di belakang perempuanku yang terisak.
,"Apa lagi yang akan kamu perlihatkan?"

Ah, kamu menggamit lenganku seperti karib lama. Memang kita teman lama, bukan? Apa? Senyummu selalu tendensius, kamu tahu itu. Hmm, baiklah. Kuikuti kemana kamu pergi atau lebih tepatnya kemanapun kamu membawaku. Nanti akan kukasih jawaban yang sama seperti kemarin, haha.. Semoga kamu masih bisa bertahan dengan pria banalis sepertiku.

Ia masih menggamit tanganku, lembut dan mesra seperti kawan lama. Kami berjalan berlambat-lambat seperti tak pernah terburu dengan nafasku yang tinggal sepenggal. Aku tak begitu memperhatikan ceracaunya. Mungkin ia masih mencoba meyakinkanku seperti biasa. Aku tak bisa cukup mendengar dengan sakit yang menghujami punggungku. Ia menoleh sebentar ke arahku dan mulai mengusap pundakku dengan lembut. Ia tahu aku mulai tercekat demi melihat mukaku yang pucat. Sesak mulai berkuasa di rongga dadaku. Semua pemandangan terlihat kabur dan semakin kabur hingga memutih. Aku menggeram keras dengan tangan meremas dada kiri. Terlalu perih di sana. Kalaupun bisa, aku akan benamkan tanganku ke dalam dan sekalian merobek jantung. Bahkan aku yang sekarang terlalu lemah untuk sekedar berpikir hiperbol. Ini terlalu dekat. Terlalu kelam.

***

Hei. Hei. Lampunya terlalu terang. Aku naikkan tanganku sebatas mata untuk menghalau silau. Untuk beberapa detik, kubiarkan pupil bermekaran kembang kempis demi membuatnya nyaman dengan cahaya sekitar. Aku mulai bisa melihat samar-samar. Aku bisa mengenalinya sosok yang berdiri dalam jarak sosialku itu. Ia yang berdiri di depan sana, agak melenceng tiga puluh derajat dari tempatku berdiri. Itu kawan lamaku, yang kubilang tadi, setidaknya biar kusebut ia seperti itu.

Ia tersenyum ramah dan menghendakiku duduk sekenanya, dimanapun. Setidakya itu yang bisa kubaca dari gesturnya sementara telingaku tak bisa mendengar suaranya. Ini cukup membuatku salah tingkah. Sebentar berdiri, lalu duduk bersila, lalu jongkok, dan berdiri lagi. Aku cukup sibuk dengan tingkah anehku hingga kusadari ia sudah berdiri di belakangku. Digapainya pundakku dan menunjukkan sebuah kursi hitam dengan meja kecil putih. Eh? Bukannya ini kursi yang biasa kulihat di ruang kuliah. Sekali lagi, ia memintaku duduk dengan laku yang santun.

Aku mulai melangkah menuju kursi itu dan menunggju kejutan lain yang bisa dilakukan karibku itu. Benar saja, baru sebentar aku membalikkan punggung dan menunduk sekedar untuk memastikan kursi itu kokoh untuk kududuki, ruangan itu sudah berubah dengan meja di pojok kiri dan dua papn putih besar di dinding depan. Apa ini? Cih, akan kamu kuliahi aku? Ia menjawab dan aku masih tak bisa mendengar suaranya. Huh, tak perlu lah kau kuliahi aku dengan hal yang sama. Yang sejaka bertahun lalu terus kamu dengungkan di telingaku. Percuma! Aku tak bisa mendengarmu!

Ia berhenti bicara. Bibirnya mengatup dan mulai menghela napas. Ia menengadahkan mukanya dan membuka bibirnya lagi. "Sedang berbicara dengan siapa?" tanyaku.
"Kita hanya berdua saja. Kan kamu baru akan mulai menguliahiku tentang ... Yah apapun lah yang ingin kamu katakan. Apa kamu sudah menyerah menghadapai pris kecil nan skeptis ini? Ayolah.. Aku memang tak bisa mendengarmu bicara. Tapi jangan menyerah begitulah. Ini jadi tidak menarik lagi kalau kamu menyerah."

Ia masih berbicara entah dengan siapa. Akhirnya aku hanya bisa menunggunya, menggaruk kepala, melihat lanskap sekitar yang baru kusadari ternyata sebuah ruang tanpa batas. Sial, terperangkap dimana lagi aku.
"Hei! Baiklah aku akan memperhatikanmu. Walaupun kamu tahu aku tak bisa mendengarmu. Aku akan pura-pura saja kalau aku bisa mendengarmu. Ha? Bagaimana?"

Ia turunkan kepalanya dari menengadah dan berjalan menghampiriku. Nah, aku berhasil membuatnya mau berkisah. Tak apa aku akan pura-pura mendengar. Toh aku pernah menjadi konselor dengan teknik mendengar aktif. Aku cukup tahu bagaimana mengapresiasi orang yang sedang berbicara. Sekalian kupraktikkan ilmu ini untuk menjawab hipotesisku sendiri. Hipotesis konyol, apakah cara seperti ini juga berlaku untuk mahluk sepertinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun