Saya adalah seorang moviegoers yang oportunistik, suka menonton film tapi tidak suka membayar tiket dari bioskop yang monopolistik itu. Saya lebih suka terlambat menonton film-film baru, menunggunya keluar di situs-situs dan forum , dan menikmati betapa menyenangkannya waktu tigapuluh menit yang saya perlukan untuk mengunduh satu film. Makanya, kalau MPAA bertekad bulat untuk menarik semua peredaran film mereka dari bioskop Indonesia, ya, it ain't a problem, dude! Masih banyak para pengunggah baik hati di luar sana yang mau berbagi tautan file-sharing film terbaru. Tentu saja, kalau pemerintah Indonesia bisa membuat MPAA berpikir ulang dan mengikuti aturan tuan rumah, saya akan tepok tangan sekeras-kerasnya plus standing ovation, sama seperti ketika RIM bertekuk lutut. Oke, itu bisa jadi perdebatan yang lain. Sebenarnya, saya tidak memiliki spesifikasi khusus mengenai genre film yang saya sukai. Saya menonton banyak film, bahkan film-film yang dianggap buruk oleh banyak orang. Bagi saya, tindakan kompromistis terhadap jenis film yang saya tonton bukan sebuah masalah, ini berkebalikan dengan pilihan saya terhadap sastra. Seringkali, saya berusaha mengetik sejumlah pikiran yang melayang setelah menikmati beberapa film. Menikmati? Iya, menikmati. Itu kata yang lebih tepat karena saya bukan sekedar menonton untuk dicari mana bagian salah dan benarnya suatu film. Nah, diketikan ini saya ingin berbagai beberapa hal yang saya nikmati dari film-film berikut, film-film yang tanggal 27 Februari nanti akan divonis sebagai The Best Motion Picture di ajang Academy Awards.
Â
127 Hours
Anda, saya, dan kita pasti membenci keadaan dimana kita terjepit di dalam situasi yang tidak menyenangkan dan tidak bisa pergi begitu saja. Lebih parah lagi, kalau dalam keadaan yang seperti itu tidak ada orang yang bisa membantu karena kita tidak ingin orang lain tahu. Lalu, dalam keadaan yang serba terhimpit itu kita mulai berfantasi, berangan-angan mengenai kenangan tertentu, dan merangkai fragmen posmo di dalam kepala mengenai orang-orang yang mungkin bisa membantu. Danny Boyle tahu benar bagaimana menempatkan potongan-potongan itu ke dalam film ini. Berbasis kisah nyata seorang petualang, Aron Ralston, Boyle melalui James Franco menuturkan monolog yang miris tentang rasanya terjepit batu besar di tanah antah berantah dimana anda tidak mungkin ditemukan. Adegan potong tangan yang bikin bergidik dan ngilu hingga ke ulu hati sukses membuat saya cuma berani mengintip adegan itu dari pojokan kamar. Ah, saya jadi paranoid kalau tiba-tiba tertimpa lemari!
Â
Inception
Kerja Nolan dalam Inception telah membuat banyak orang dari seluruh penjuru dunia terkesan dengan ide dasarnya mengenai sebuah proses meletakan atau bahkan merubah gagasan di dalam kepala seseorang melalui agresi mimpi yang berlapis-lapis dan tindakan intrusif terhadap emosionalitas. Secara garis besar, Inception adalah perpaduan linear dari konsep ruang dan waktu pararel yang saling terhubung, sebuah hal yang hanya bisa dibuat dengan pemikiran kelas filsuf. Film ini merupakan tren positif dari reputasi Nolan yang sudah terbangun dari film-film sebelumnya seperti The Prestige dan, tentu saja, The Dark Knight. Ketika film ini tidak memenangkan gelar prestisius di ajang Golden Globe banyak orang bersuara, tetapi saya lebih menyukai pendapat seorang teman,"Chill out, of course Inception would have not won, they were not looking for something inovative and visionary."
Â
The Kids Are All Right