Mohon tunggu...
Arya Pamungkas
Arya Pamungkas Mohon Tunggu... -

another almost mid-twenty geek who has a redundant obsession of having a vigorously happy family..

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Merindui Pagi

6 Februari 2011   22:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:50 4
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12970153071535741880

Sepenuhnya tak benar selalu melelapkan mata dan melipat kantuk di setiap subuh yang masih prematur. Dan aku selalu begitu, mendengar dinding mendengkur,  jendela yang gemeretakan, atau lagu-lagu miris yang tak sempat dimatikan. Dan aku juga selalu begitu, mencoba mengimpi tentang merabai dahimu yang lelap, atau sekedar menunggumu terhenyak tak sadar untuk bertanya pukul berapa sekarang, atau mengigau tentang hari tersisa sembari melenakan punggung serupa naga ini. Nanti, iya nanti, kalau pengap sudah berkuasa di dalam bilikku di seputaran tengah hari yang lembab, dengan sendirinya punggung itu meninggi setengah, menyisakan kaki-kaki yang gemetaran dan pelupuk mata yang masih rekat. Maka, pagi adalah hal yang paling dirindui karena terlewat dalam arogansi hormonal dan relativitas dari tamparan rutinitas. Baiknya, aku tak lagi melenakan punggung di senja hari atau lebih tepatnya ketika magrib mengetuk-ngetuk pintu. Kau tahu, melewatkan magrib dengan setumpuk otak yang pasif dan mengimpi bisa membawa kegilaan. Lalu, pagi menjadi komoditas remeh temeh dalam kurun hidup yang sepertiganya habis untuk tidur. Senja adalah waktu produktif untuk menyiasati ruangan yang mesti ditambal dengan sewa yang sekiranya cukup bikin senewen di awal bulan. Sementara malam berlalu dengan ritme yang makin membosankan. Sisanya adalah subuh yang masih prematur dengan hening menjadi musik latar yang berdebuman. Dan di subuh itu, punggung terlena dengan kegamangan. Otak berhenti dan kepala mengisi fragmen sepotong-sepotong yang tak akan lagi diingat di tengah hari. Ah, kubilang padamu aku sudah kehilangan pagi sejak tahun kemarin atau malah lebih lama lagi. Menarik selimut dan membungkus dahi dengan sarung kumal lebih menarik ketimbang tak ada yang mesti dilakukan. Ah ya, aku kehilangan pagi karena tak tahu apa yang mesti dilakukan ketika ia datang dan menelisik dari ventilasi. Ia toh selalu berhenti di depan tirai dan aku tak pernah mau berniat baik untuk membukakan tirai untuknya. Ia cuma akan berdiri disitu dan terus mengiming-imingi ariku dengan hangat yang makin langka. Selebihnya, cuma perdebatan banalis mengenai kantuk antara telinga kanan dan kiri. Selalu, kantuk yang menang. Selalu, pagi yang tercecer di belakang. Tak heran, aku akan terus kehilangan pagi. Kehilangan pagi yang gemerlap ketika ketidaksengajaan yang tak terperkirakan memunculkanmu dari sisi jalan yang lain. Aku baru saja datang dan kamu akan mengumbar senyum dengan jari yang terkait-kait pada selempang tas kecilmu. Kamu selalu tahu, aku akan memilih untuk merampas jarimu dari selempang itu, mencubit pipimu atau mengelus dahimu yang lebar. Mereka juga selalu tahu, kita akan menyeret langkah dan berjingkat di tengah serakan daun-daun basah. Yang aku tahu, aku kehilangan pagi-pagi itu dan sepersekian detik diam yang menyenangkan dalam keberduaan kita.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun