Mohon tunggu...
Arya Zendi
Arya Zendi Mohon Tunggu... -

Suka nulis cerita-cerita yang dialami sehari-hari. Tinggal di Yogyakarta. Lulusan Fakultas Ekonomi yang suka ngelayout dan desain. Twitter: @aryazendi

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Belajar dari Anak-anak

28 Oktober 2012   04:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:19 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa 23 Oktober 2012, aku bersama tiga orang teman yaitu Irwan, Ikhwan dan Maya kembali ngajar TPA (Taman Pembelajaran Al Quran) untuk anak-anak di Dusun Blendangan, Maguwo, Sleman. Ini untuk yang ke beberapa kalinya.

Sore cerah ini dihiasi oleh tawa riang anak-anak sekitar usia empat sampai enam tahunan, yang sulit diatur namun penuh semangat. Masjid jadi riuh. Gimana enggak? mereka saling teriak-teriakan berlari-lari ke sana ke mari.

TPA ini lebih banyak anak perempuan. Mungkin 3 berbanding 8. Menarik adalah tingkah polah salah dua orang perserta TPA, Gida dan Okta. Walau hanya berdua, tapi cukup membuat kewalahan saat diatur dan diberi materi. Ada lagi satu orang anak laki-laki bernama Fariz, namun pendiam.

Selama TPA Gida dan Okta melakukan aktifitas yang membuat kita kerepotan mengatur mereka. Mulai dari tendang-tendangan dan tarik-tarikan di dalam masjid. Berebut minta digendong di halaman belakang masjid yang merupakan tepi sungai dan masih aja dorong-dorongan dan tarik-tarikan (nggak takut kecebur sungai). Naik di atas meja saat belajar, sampai nggotong meja dengan berpura-pura mengarak jenazah -_-'

Melihat ini, aku jadi terpikir betapa anak-anak itu tidak pernah takut jatuh, sakit saat bermain atau gagal saat mengerjakan tugas. Misal saat berlari-larian, dorong-dorongan bahkan tendang-tendangan, mereka tidak menghiraukan rasa sakit yang dialami. Atau ketika mereka nggak bisa menuliskan huruf hijaiyah yang dicontohkan Ikhwan di papan tulis. Kendatipun nggak lancar atau bentuk huruf hijaiyahnya yang kayak mangkok semua, mereka nggak pernah takut atau malu bertanya dan menyelesaikan tugasnya kembali.

Aku pun mengingat masa kecilku yang tidak jauh seperti tingkah polah Gida dan Okta. Tendang-tendangan, jatuh dari sepeda berkali-kali, kecebur di selokan, sering membawa bekas luka tiap pulang main. Namun esok aku selalu begitu lagi, main, kecebur atau luka lagi.

Dari sinilah aku mulai berpikir, bahwa orang dewasa harus belajar banyak dari anak-anak buat mencapai tujuan mereka (tapi tentu saja bukan untuk tujuan yang tidak baik). Nggak perduli berhasil atau enggak, gagal, jatuh atau berdarah. Selalu bangkit dan bergerak lagi. Nggak banyak pertimbangan mikir ini itu yang ujung-ujungnya malah hanya membuat ragu, kemudian menghambat tujuan yang hendak diinginkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun