Mohon tunggu...
Aby
Aby Mohon Tunggu... Mahasiswa - belum menikah

Penikmat seni

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kebebasan dalam Mendidik Gen Z

14 September 2024   05:47 Diperbarui: 14 September 2024   06:32 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam beberapa tahun terakhir, saya telah mendalami pola pendidikan terhadap siswa-siswa dari generasi Z. Generasi ini, yang tumbuh bersama kemajuan teknologi dan perubahan sosial yang sangat cepat, menunjukkan karakteristik yang berbeda dari generasi-generasi sebelumnya. Melalui pengamatan panjang dan refleksi dari pengalaman mengajar saya, saya menemukan satu hal mendasar: kebebasan tanpa tekanan adalah kunci dalam mendidik mereka. Ini adalah pendekatan yang menuntut perubahan besar dalam cara pandang kita sebagai pendidik.

Sebagai seorang guru, saya pernah mencoba menerapkan metode tradisional, yaitu ketegasan dan hukuman sebagai alat kontrol. Namun, saya menyadari bahwa sikap tegas hanya akan membungkam mereka untuk sementara waktu. Mereka mungkin akan diam karena takut, tetapi di dalam diri mereka, tersimpan tekanan yang sewaktu-waktu bisa meledak menjadi perilaku yang lebih destruktif. Dalam beberapa kasus, hukuman keras justru memperburuk keadaan, menyebabkan mereka kehilangan rasa hormat dan malah menjadi lebih berontak. Dalam kondisi yang ekstrem, saya percaya bahwa penggunaan kekerasan terhadap siswa generasi ini bukan hanya berbahaya bagi mereka, tetapi juga bagi guru itu sendiri. Tidak jarang, siswa Gen Z memiliki jaringan pertemanan atau 'bekingan' di luar sekolah, yang bisa membahayakan guru jika situasi di dalam kelas tidak ditangani dengan hati-hati.

Generasi Z dikenal sebagai generasi yang tidak lagi takut kepada figur otoritas seperti guru. Mereka lebih menghargai kebebasan dan otonomi, dan mereka menolak pendekatan yang terlalu mengekang. Karena itu, pendekatan otoriter hanya akan memperdalam jarak antara guru dan siswa, serta menghambat proses pembelajaran itu sendiri. Sebagai gantinya, saya memilih untuk mengikuti arus mereka, memberikan ruang bagi kebebasan bertanggung jawab, dengan harapan bahwa mereka akan menyadari pentingnya pendidikan saat mereka mulai tumbuh dan dewasa.

Salah satu pengalaman yang saya alami adalah ketika mengajar di sebuah kelas IX. Saat saya tiba di kelas, hanya ada beberapa siswa perempuan yang hadir, sedangkan siswa laki-laki yang terkenal sering membolos dan berperilaku bandel tidak tampak. Sempat terbesit di pikiran saya untuk kembali ke ruang guru, merasa bahwa mengajar kepada bangku kosong adalah hal yang sia-sia. Namun, tak lama kemudian, siswa-siswa laki-laki tersebut muncul, berjalan santai seakan-akan tidak ada rasa bersalah. Saya memilih untuk tidak mempermasalahkan keterlambatan mereka. Saya percaya bahwa pendidikan adalah hak mereka, dan suatu hari mereka akan memahami nilai pentingnya.

Alih-alih menghadapinya dengan kemarahan, saya memberi mereka tantangan berupa teka-teki, dengan janji bahwa jika mereka berhasil menjawabnya, mereka bebas untuk ribut dan mengatur diri sendiri di dalam kelas. Hingga Ketika batas waktu habis dan tidak ada yang berhasil menjawab, secara spontan mereka diam, suasana kelas kondusif. Berikutnya saya memberikan mereka sebuah tawaran yang lebih menarik: jika mereka bisa menyelesaikan proyek kelas dalam mata pelajaran Bahasa Inggris dan berbicara dalam bahasa Inggris, mereka boleh bermain game bersama saya -- sebuah aktivitas yang sangat mereka minati. Dengan cara ini, saya memanfaatkan minat mereka untuk menarik perhatian pada pelajaran.

Pendekatan ini, yang menggabungkan kebebasan, tantangan intelektual, dan elemen permainan, terbukti lebih efektif daripada menerapkan aturan ketat. Alih-alih melihat saya sebagai otoritas yang harus ditakuti, mereka mulai melihat saya sebagai mitra dalam proses belajar mereka. Ini mengurangi ketegangan di kelas dan membuka jalan bagi interaksi yang lebih positif.

Berdasarkan pengalaman ini, saya berkesimpulan bahwa kekerasan dan hukuman keras bukanlah solusi yang tepat untuk mendidik siswa generasi Z. Sebaliknya, dengan memberi mereka kebebasan yang diimbangi dengan tanggung jawab, kita membantu mereka tumbuh menjadi individu yang lebih mandiri dan mampu mengambil keputusan sendiri. Pada akhirnya, mereka akan menghargai pelajaran yang kita berikan, bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran akan pentingnya pendidikan dalam kehidupan mereka.

Di dunia pendidikan yang terus berubah, kita sebagai pendidik juga harus beradaptasi. Generasi Z adalah generasi yang penuh tantangan, tetapi juga penuh potensi. Pendekatan yang berpusat pada kebebasan dan kreativitas dalam pengajaran, saya percaya, adalah salah satu kunci untuk mendidik mereka dengan lebih efektif. 

Menjadi pendidik di era modern bukan berarti mengontrol siswa dengan kekuatan dan otoritas, tetapi menjadi fasilitator yang memahami kebutuhan dan dinamika zaman. Kebebasan tanpa tekanan dan pendekatan yang lebih manusiawi adalah kunci untuk merangkul generasi Z dalam proses pendidikan yang bermakna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun