Bounded rationality juga sering diasosaisikan dengan kemalasan berfikir untuk mengolah informasi baru yang datang belakangan. Kemalasan berfikir ini semakin parah pada mereka yg memiliki fixed mindset, orang-orang yang cara berfikir monoton dan linear. Cara-cara berfikir seperti ini dengan mudah mendorong planning fallacy. Â
Contoh sederhana seorang perencana yg terperangkap planning fallacy, misalnya saat merencanakan pengentasan kemiskinan. Karena bias kognitif di atas, kemiskinan hanya dipandang sebagai kekurangan materi semata.
Orang miskin diposisikan adalah orang yang tidak memiliki makanan untuk dimakan sehari-hari. Rumahnya beratap langit, beralaskan tanah. Untuk minum pun dijatah karena jauhnya sumber air untuk bisa menyediakan kebutuhan dasar ini setiap saat.
Akibatnya program yang dirancang sebatas untuk memenuhi kebutuhan diatas. Sifatnya pun jangka pendek, dan parsial. Itu pun sudah bagus kalau bisa meringankan penderitaan mereka.
Masalahnya, program kemiskinan sering menjadi bias, dijadikan proyek untuk kepentingan sendiri. Masih lekat dalam ingatan kita bagaimana bansos menjadi proyek seorang Menteri untuk mendapatkan keuntungan dari proses pengadaannya.
Sejatinya, isu kemiskinan adalah transboundary issues. Dia bersifat lintas waktu, lintas sektor dan pendekatan. Waktu untuk mengentaskan kemiskinan tidak setahun, dua tahun. Tahapannya memerlukan pendekatan dan kolaborasi multipihak yang bisa melewati satu tahun anggaran.
Seorang perencana yang baik akan mengenali kelemahan ini. Fokus perbaikannya tidak sekedar menguasai teknis perencanaan namun juga melalui pengenalan falasi perencanaan.
Banyak cara untuk menghindari planning fallacy. Pertama, seorang perencana perlu mengembangkan cara berfikir disruptif. Cara ini tidak hanya menguraikan benang masalah satu demi satu tapi mampu mengaitkan satu sama lainnya untuk mencari akar masalahnya.
Selanjutnya, perencana harus mampu mengolah informasi dalam siklus perencanan sebelumnya. Evaluasi perencanaan memang menghadirkan informasi tersebut, namun seorang perencana yang baik tidak boleh terperangkap dengan kondisi itu. Sebaliknya mereka perlu mengupdated informasi baru untuk menyediakan konatruksi brfikir komprehensifcdan holistik.
Namun yang terpenting, agar terhindar dari planning fallacy, seorang perencana harus mengembangkan growth mindset. Mereka akan terus belajar, memandang hal-hal baru secara positif untuk melengkapi informasi yang sudah ada sebelumnya.
Maka seoarang perencana yang baik akan terus belajar dan mengembangkan nalarnya. Para perencana ini akan menghasilkan rumusan skenario pembangunan yang baik melalui program kegiatan yang yang jelas, terah dan terukur.