Melewati hari pertama Ramadhan tanpa tarawih di masjid makin terasa ada yang baru. Kita makin terbiasa melakukan apapun di dan dari rumah. Sholat wajibpun makin terbiasa di rumah. Sebelumnya, hati dan fikiran menentang, Bagaimana mungkin meninggalkan sholat berjamaah di masjid. Silaturahim fisik dikurangi, hangout apalagi. Kerja kantoranpun kini jadi kerja rumahan. Mulai dari rapat kecil hingga workshop dengan ratusan partisipan. Jam kerjapun bertambah dengan varian kegiatan yang kian beragam.
COVID-19 adalah sebuah momok. Tidak seorangpun menyangka. Daya rusaknya sedemikian besar menyerang sistim kehidupan yang kompleks. Menuju resesi global yang berbeda dengan resesi-resesi. Pandemi COVID-19 menyerang semua komponen kehidupan bersamaan, jikapun berbeda hanya masalah waktu yang sangat pendek. Tidak perlu menunggu giliran untuk merasakan dampaknya. Belum selesai China menyelesaikan dampaknya, sang virus Sars-Cov2 berpindah melayang ke benua Eropa, menyeberang ke AS, terus Asia Selatan hingga Austalia. Semua berlangsung hanya dalam hitungan minggu bahkan hari.
Saat SARS dan MERS menyerang bumi, reaksi dan respons negara relative cepat, terukur dan terarah. Hari ini, kita dibuat tergagap, menyalahkan bahkan saling menyerang. Semua tentang virus tidak diketahui dengan pasti. Mulai dari sumber infeksi, dinamika transmisi, mode penularan hingga cara pengawasan dan pemantauan serta manajemen klinis pasien yang parah dan sakit kritis.
Obatnya (vaksin) pun seperti masih menunggu puncak jatuhnya korban sebelum efektif disuntikkan. Saking kompleksnya, WHO sampai mengeluarkan enam kriteria agar negara dapat mengontrol transmisinya. Salah satu diantaranya adalah "to make populations are fully engaged, understand and empowered to live under a new state of normality"
Bentuk normalitas baru itu sedang kita sedang jalani. Suka tidak suka, mau tidak mau. Banyak kebiasaan berubah. Menghindari jabatan tangan hingga berbicara di jarak yang dekat. Sebelumnya, masker familiar di ruang-ruang operasi atau di tempat-tempat berdebu. Sekarang masker laris manis. Dipakai oleh para penjual ikan di pasar hingga pada pertemuan pemimpin dunia.
Kantor-kantor makin sepi dengan diskusi, karena rapat dan workshop pindah keruang maya dalam bentuk virtual meeting. Di antara kita banyak yang terkejut saat dihimbau untuk sholat wajib di rumah tanpa perlu ke masjid. Tidak pernah terfikirkan. Semua berubah menuju kepada sebuah kondisi normalitas baru. Sebagaian bersifat sementara, lainnya mungkin akan berlanjut.
Belanja online adalah satu yang terus mengalami peningkatan dan penyempurnaan bentuk. Sejak himbauan WFH, aktivitas belanja online ikut melonjak. Sebelum pandemipun, ini salah satu kegiatan ekonomi yang menyenangkan. ADA Indonesia, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang data dan artificial intelligence (AI), menganalisis perubahan konsumen akibat Covid-19. Berdasarkan perilaku konsumen, The Adaptive Shopper melonjak hingga 300 persen. Jenis transaksi umumnya adalah jual beli kebutuhan sehari-hari.
Perilaku konsumen lainnya, Working-from-home Professional terlihat pada sebagian besar pekerja yang bekerja seperti pada situasi normal. Mereka melakukan pekerjaan, kolaborasi, komunikasi, dan meeting seperti biasa. Semua dilakukan di rumah dengan bantuan aplikasi produktivitas.
Virtual meeting sangat terasakan efektifitasnya. Juga lebih cost effectiveness. Kita tidak perlu lagi beli tiket ke London untuk menghadiri sebuah seminar. Cukup bergabung dalam webinar kita sudah bisa mengikuti semua tema seminar. Â Kuliah ke luar negeri bisa dihemat seiring ada beberapa kampus yang menawatkan kuliah online. Sejak sebulan WFH (working from home) entah sudah berapa banyak rapat, diskusi hingga konferensi yang diikuti. Rata-rata menyiratkan efisensi dan efektivitas.
Pandemi COVID-19 memang telah mendorong manusia dari kondisi status quo. Kondisi yang mungkin terasa nyaman menuju pada kondisi yang mungkin belum tentu nyaman. Namun itu adalah bentuk normalitas baru yang telah tiba. Beradaptasi dengannya mungkin bisa merupakan tantangan tersendiri. Karena individu umumnya enggan merubah cara pandang dan perilaku (status quo bias) dan selalu me-refer pada kondisi awal (reference point). Â Inilah tantangan utamanya.
So, bila pandemic COVID-19 ini selesai, diantara manusia yang masih merasakan trauma, mengais harapan di tengah-tengah ancaman kematian dan kerusakan ekonomi, apakah the new state of normality itu akan terus hadir?Â