Selain banjir yang sedang jadi viral, isu tentang desa juga lagi hangat dibicarakan. Macam-macam topiknya. Ada yang bicara penguatan desa pada level rumah tangga, Desa Go International, hingga menawarkan pendampingan SDGs pada level desa. Pemanfaatan ADD yang tidak optimal juga jadi perhatian. Korupsi Alokasi Dana Desa apalagi. Tapi adakah yang memahami, desa menjadi lokus pembangunan, dari Project to Development?
Desa adalah unit terkecil pemerintahan yang menerima alokasi kegiatan pembangunan. Sukses pembangunan pada tingkat Kecamatan, Kabupaten hingga Provinsi ukurannya bisa mulai dari desa. Berbagai program/kegiatan dibicarakan mulai dari desa. Makanya kita mengenal MusrenbangDes, RPMJDesa hingga PerDesa.
Penguatan desa sering diterjemahkan dengan pendekatan structural dan pelimpahan sumberdaya. Sejatinya desa yang kuat jika kehidupan sosial ekonomi dan lingkungannya kondusif. Sayangnya, hingga hari ini, desa seakan menjadi sumbu rotasi bagi perputaran sumberdaya (modal dan barang). Pembangunan desa tersandera dengan seberapa besar hantaran sumberdaya yang masuk. Maka persoalan lain muncul. Desa menjadi tergantung sumberdaya dari luar dan sikap apatisme ikut merebak dalam masyarakat. Banyak juga desa yang berhasil. Â Kalaupun berhasil ukurannya masih sebatas kondisi fisik. Soal dampak bagi kehidupan masyarakat, itu soal lain.
Pendekatan perencanaan desa masih sering karena memenuhi tahapan perencanaan. Pertimbangan realitas lingkungan local serta kondisi dan kemampuan masyarakat sebagai sebuah komunitas kadang terabaikan. Usulan program/kegiatan sering lebih fokus kepada sasaran jangka pendek. Bangun jalan, jembatan dan berbagai sarpras. Perubahan kemampuan dan sense of ownership masyarakat terhadap usulan proyek usai, masih sering terabaikan. Maka, jangan heran jika ada kondisi jalan desa yang tidak terawat. Atau drainase yang penuh dengan sampah. So, what is missing?
Kapasitas desa sesungguhnya digambarkan melalui kapasitas masyarakatnya. Ukuran utamanya antara lain partisipasi dan sense of ownership masyarakat. Keberadaanya tidak hanya konteks ekonomi tapi tentang konteks kemasyakatan (society) secara utuh dan menyeluruh. Program/kegiatan dan proyek pemerintah hanya sebuah starting point dari proses capacity building yang akan berlangsung jangka panjang. Output fisik sebuah proyek hanya untuk memenuhi kebutuhan mendesak (felt needs) seperti pembangunan irigasi untuk peningkatan produksi padi akibat kurangnya bahan pangan, dll. Selebihnya adalah dampak kemandirian dan kesejahteraan di desa.
Pengembangan kapasitas masyarakat desa bertumpu pada kohesi social yang berwujud saling membantu dalam skala yang terbatas (mutual support). Kekerabatan dan interaksi yang memang sudah ada dalam komunitas desa (inner cycle) adalah modal penting dalam proses pengembangan kapasitas. Proses social capability building dan penguatan mekanisme kelembagaan pada tingkat masyarakat akar rumput dimulai dengan analisis karakteristik struktur dan fungsinya (social venue) dan mekanisme kolaborasi social yang ada di masyarakat. Kesiapan masyarakat (social preparation) akan menjadi fondasi yang kokoh bagi keberlanjutan program/ proyek.
Kesiapan social ini harus disinergikan dengan pengelolaan asset untuk ekonomi (resource management for surplus generation) agar masyarakat mulai mandiri secara ekonomi. Keberlanjutan proses harus berkembang secara alamiah berdasarkan inisiatif masyarakat desa. Pihak luar (outer cycle) seperti swasta, pemerintah, LSM, dan lain-lain membantu melalui kolaborasi fungsional dengan mengedepankan prakarsa masyarakat desa.
Dalam jangka panjang proyek harus bisa mendorong masyarakat mandiri dan memiliki sense ownership terhadap pembangunan. Mendorong kehidupan individualistis menjadi komunal (hidup berkolompok secara harmonis). Sikap seperti inilah yang harus menjadi goal (tujuan utama) sebuah program/kegiatan dan proyek di desa. Â Dengan kata lain, sebuah proyek harusnya menjadi starting point pembangunan yang lebih bersifat holistic dan komperehensif (project to development). Â Bagaimana mewujudkannya?Â
Pembangunan (development) adalah proses jangka panjang, hasil akhirnya adalah kesejahteraan. Prosesnya merupakan akumulasi aksi dan refleksi (praxis) yang akan memampukan pemangku kepentingan mengorganisasi dirinya sendiri dalam pemanfaatan dan pengeolaan sumberdaya yang dimiliki. Memulainya dengan mengenali prakondisi dan kondisi social local yang unik, sistim nilai serta fungsi/struktur yang spesifik di tingkat masyarakat.
Proyek yang baik jika dampaknya berlanjut. Tidak hanya terhadap kondisi ekonomi, sosial dan lingkungan  masyarakat. Tapi juga dalam mendorong kemandirian, dan partisipasi serta tanggung jawab, Kita bisa mencontoh Kominkan di Jepang, Samul Ungdong di Korea, atau UMSS di Philippina. Ketiganya meletakan kesadaran pentingnya membangun social preparation dalam mendorong Project to Development.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H