[caption caption="Demonstrasi massal sopir taksi menolak kehadiran taksi online di Jakarta. (Sumber: Liputan 6, link:cdn0-a.production.liputan6.static6.com)"][/caption]"Wah, ngaco nih supir taksi pada demo! Bukannya bersaing sehat malah anarkis, wajar aja kalau nanti gak laku lagi!" celoteh seorang teman mengungkapkan kekesalannya. Ya, peristiwa demonstrasi supir taksi di Jakarta menentang keberadaan angkutan online berakhir dengan kericuhan. Peristiwa yang memang sedang hot ini segera menghiasi headline berbagai media, baik skala nasional ataupun tidak.Â
Namun, sadar ataupun tidak, tidak semua peristiwa yang terjadi dalam framing berita adalah gambaran dari realitas yang seutuhnya. Berita mengenai supir taksi yang mogok di Jakarta tidak hanya menginformasikan mengenai demonstrasi semata, melainkan ada persepsi yang tengah terbangun di benak khalayak, khususnya masyarakat kelas menengah yang selama ini menggunakan angkutan berbasis online, ataupun masyarakat lain yang tak menggunakan layanan tersebut namun kebelet berkomentar.
Hari ini, image sopir taksi yang baik dan ramah seketika hancur lebur dengan diberitakannya peristiwa demo anarkis. Laman berita dari BBC Indonesia menyebutkan "Ia menyaksikan sejumlah supir taksi memerintahkan sesama supir taksi agar menurunkan penumpang dan mengancamnya dengan batu besar. Kaca spion mobil tersebut kemudian rusak setelah dihantam batu. (Link berita disini). Kemudian cuplikan dari media lain, yaitu Detik memberikan judul berita demikian, "Demo Anarkis Sopir Taksi di Jakarta Mendunia" (Link disini)
Masih banyak lagi berita-berita yang menayangkan informasi seputar demonstrasi di Jakarta hari ini. Citra sopir taksi, bahkan dari kelas perusahaan si "Burung Biru" pun harus turut hancur akibat perilaku anarkis yang dilakukan beberapa sopir-sopir yang mengatasnamakan seluruh sopir taksi di Indonesia. Jika kita teliti dan pikirkan kembali dengan nurani, tentunya tak semua dari sopir tersebut bertindak anarkis. Ada sopir-sopir yang baik dan tekun mencari uang, namun hari ini harus pulang dengan tangan kosong akibat minimnya setoran. Sudah persaingan keras, ditambah lagi dengan isu-isu miring sopir taksi tradisional bukan tidak mungkin pendapatan dia akan semakin merosot.
Kemudian, masalah tidak pernah berhenti saja sampai di situ. Manusia cenderung membuat judgement  dengan menganggap semua sopir taksi anarkis, tidak mau bersaing dengan zaman, berdasarkan apa yang ia dengar tanpa melihat realitas seutuhnya. Siapakah yang jadi korban? Tentu para sopir taksi baik-baik yang tidak pernah berdemo dan hanya fokus mencari setoran.
Sadar atau tidak, ada dalang di balik setiap peristiwa. Terserah mau percaya apa sangsi, di balik insiden hari ini ada isu yang berusaha sedang dialihkan. Media dalam hal ini memiliki agenda tersendiri, dalam teori komunikasi, Walter Lipmann mengemukakan suatu teori bernama agenda setting. Dalam teori ini seluruh pemberitaan tidak sepenuhnya merupakan spontanitas, melainkan ada tujuan yang hendak dibangun. Termasuk dalam frame berita mana yang hendak dipilih.
Silahkan diselidiki, ada lebih banyak berita yang menonjolkan sisi anarkisme demo hari ini ketimbang sisi lain, seperti sopir-sopir yang tak dapat setoran akibat demo dan sebagainya. Jika pikiran kita disetir mentah-mentah oleh informasi tumpang tindih yang beredar, rakyat kecil kembali yang jadi korban. Sopir taksi yang mungkin berasal dari kalangan kelas bawah akan kehilangan pendapatan karena masyarakat menolak mereka. Jurang akan tercipta semakin dalam karena pada akhirnya, dari setiap isu-isu yang tidak ditanggapi dengan bijak, hanyalah rakyat miskin dan tak berdaya yang akan menjadi korban.Â
Jadi, siapkah kita berpikir kritis dan menanggapi segala sesuatu dengan tenang tanpa terburu-buru membuat judgement?Â
Salam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H