[caption id="attachment_234184" align="aligncenter" width="403" caption="Ilustrasi/ Admin (kompas.com)"][/caption]
Presiden SBY mendatangi Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluk Naga, Kabupaten Tangerang, Banten, pada Jumat (4/1/2013) pagi tanpa memberi tahu terlebih dulu kepada para pejabat setempat. Presiden dan para menteri bergerak menuju ke lokasi, tak ada sterilisasi jalan, tak ada petugas kepolisian dan TNI yang berjaga-jaga di sepanjang jalan. Warga tetap beraktivitas seperti biasa. Ada yang mandi, mencuci pakaian, hingga buang hajat disalah satu kali yang dilintasi Presiden. Rombongan kemudian berhenti di persimpangan tak jauh dari gapura tanda memasuki Desa Tanjung Pasir tanpa ada penyambutan Presiden oleh para pejabat setempat.
Pemberitaan yang menarik karena hampir tidak penah dilakukan oleh SBY sebelumnya. Ketua dewan pembina Partai Demokrat itu menanyakan implementasi program pemerintah Kredit Usaha Rakyat (KUR). Selanjutnya Presiden melihat kondisi perkampungan. Kegiatan yang populer dengan blusukan mendadak menjadi topik hangat di masyarakat. Meskipun begitu kegiatan yang sudah dilakukan oleh pihak istana ditampik bukan blusukan namun turun kebawah alias turba. Satu kesadaran politik bahwa harus melakukan sesuatu yang berbeda dengan meninggalkan cara lama atau konvensional. Langkah cepat dilakukan untuk mengubah segalanya memanfaatkan waktu sisa 1,5 tahun lagi ke Pemilu.
Blusukan dalam Bahasa Indonesia artinya masuk dan dikonotasikan pada suatu tempat cenderung jarang dikunjungi atau tidak disukai untuk didatangi secara umum. Jokowi langsung bertindak, turun dari Balai Kota berkunjung dari kampung ke kampung. Aksi blusukan tersebut merupakan langkah nyata dari Jokowi untuk melihat langsung kondisi masyarakat ibukota serta memahami kondisi sebenarnya pembangunan di Jakarta. Persoalan yang ada dapat dilihat secara langsung dan bukan berdasarkan laporan anak buah semata yang selama ini lebih cenderung tidak menyajikan kondisi yang sebenarnya. Pengamatan langsung akan memudahkan untuk menentukan arah kebijakan serta tepat dalam mengambil keputusan apa yang harus dan akan dilakukan. Jokowi seakan telah ditasbihkan menjadi pioneer blusukan.
Menghindari atau menolak sebagai pengikut gaya Gubernur DKI Jakarta Jokowi, apa yang dilakukan Presiden SBY pihak istana tidak mau menyebut kegiatan tadi dengan istilah blusukan melainkan turba bahkan sampai mengklaim kalau presiden telah melakukan turba lebih dahulu dibandingkan Jokowi. Kegiatan yang mirip sama dengan nama yang sangat berbeda. Sikap penolakan mengenai istilah saja sejatinya menunjukan betapa elitnya politik istana sementara pelaksanaan kegiatan yang dilakukan lebih mengarah ke gaya egaliter. Sikap yang bertolak belakang dan tampaknya mereka tidak menyadarinya. Dengan kata lain Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan apalagi kepada Jokowi yang memang bukan kader partai politiknya.
Elit politik selalu mengatasnamakan rakyat namun rakyat sebagai orang yang tidak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan publik, karena rakyat dianggap tidak mampu dan tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan-Âpersoalan yang kompleks sementara blusukan bisa dikatakan sebagai gaya kepemimpinan yang egaliter karena menjadikan pemimpin dan rakyat menjadi tidak berjarak. Pemimpin bisa melihat kondisi keseharian rakyatnya, sebaliknya rakyat bisa melihat keseharian pemimpinnya yang biasanya cuma dilihat di media. Pemimpin bisa menampung aspirasi masyarakat secara langsung sekaligus mengecek kinerja jajaran bawahannya tanpa ada manipulasi informasi. Sehingga kebijakannya nanti diharapkan lebih kongkret menyentuh masyarakat banyak.
Kunjungan menemui rakyat alias turba menjadikan blusukan punya gaya dan rasa berbeda. Bagaikan layar tancep sedang memutar dua film dengan tema sama hanya karena aktornya berbeda membuat judul film juga jadi berbeda ditambah lagi rumah produksi filmnya saling bersebrangan. SBY sebagai aktor turba saat kunjungan kemarin memang membaur dengan masyarakat langsung meskipun tidak sedekat seperti yang Jokowi lakukan. Perbedaan yang sangat jelas karena latar belakang SBY saat ini, bukan saja sebagai presiden yang memang punya standart pengamanan yang tinggi. Namun juga karena latar belakang kehidupan yang terbentuk dengan karakter tentara. Bagaimanapun turba yang akan dilakukan tetap terlihat masih kentalnya menjaga wibawa.
Tentara yang selalu mengedepankan komando linier dari atas ke bawah menjad "batas" pada pola demokrasi yang seharusnya memberi ruang-ruang apresiasi pada bentuk servant leader (pemimpin yang melayani). Selama ini kita mungkin telah salah karena terlalu memuja kepada para pemimpin yang gagah berwibawa dan mengabaikan pemimpin yang membumi atau bersahaja dimana pemimpin ini yang sebenarnya menawarkan kebaikan, kesederhanaan, berideologi dan setia digaris rakyat. Kini semuanya menjadi berubah saat masyarakat mulai jenuh dengan pemimpin elitis, perlente, borjuis, hedonis dan bermewah-mewah. Rakyat menyadari dan ingin pimpinannya populis, sederhana, bersahaja dan jauh dari keinginan pamer harta kekayaan.
Gaya lain yang membedakan kegiatan turba atau blusukan adalah bagaimana cara berkomunikasi langsung dengan masyarakat. SBY yang secara akademis telah mencapai gelar Doktor masih sering lupa bahwa beliau sedang berdialog dengan masyarakat yang tingkat pemahaman bahasanya rata-rata, masih sering menggunakan bahasa "tinggi". Bahasa yang wajar jika dipergunakan ditingkat dialog dengan jajarannya ataupun dengan para koleganya yang pasti mengerti maksud kata-katanya. Dengan kata lain bahwa bahasa yang dipergunakan di istana jangan lagi dibawa ke masyarakat. Bisa jadi turba yang dilakukan menjadi miskomunikasi karena terkendala bahasa mengganggu efektifitas dari substansi (contoh bahasa tinggi) komunikasi dengan masyarakat.
Turba, blusukan SBY yang sudah dilakukan memberikan rasa yang berbeda. Kunjungan yang dilakukan sangat berasa kepentingan politik. Kenapa bisa saya katakan demikian? Karena disaat turba SBY yang seharusnya membahasan persoalan dari kondisi masyarakat yang dikunjungi, tetapi lebih fokus untuk berpidato tentang tidak adanya reshuffel kabinet serta bagaimana SBY telah mengatur jatah-jatah menteri dari partai koalisi. Penegasan bahwa calon menpora baru akan diisi oleh partainya dan tidak ada tawar-menawar lagi. Komunikasi politik disaat turba jelas memberikan rasa politik yang kental sebagai bagian dari strategi untuk mempertahankan Demokrat pada 2014 sebagai partai yang tetap dalam jajaran papan atas. Turba menjadi ajang untuk mempertahankan kekuasaan agar raihan suara yang besar tentunya akan memberikan peluang lebih besar untuk menentukan kepemimpinan di Republik ini.
Dunia politik memang tidak mengenal istilah terlambat. Turba jika tidak mau dibilang blusukan tetap kita apresiasi sebagai kegiatan positif apalagi bila kunjungan ke rakyat itu dengan niat tulus dan mulia ingin mendengar keluh kesah rakyatnya dan segera mencari pemecahan masalah tentunya. Jangan sampai kegiatan tadi hanya sebagai ajang tebar pesona. Semoga saja turba wujud niat tulus pengabdian pimpinan kepada masyarakat. Masyarakat nanti juga akan bisa menilai apakah kegiatan itu sebagai gaya kepemimpinan yang asli atau dadakan. Siapapun pemimpinnya yang melakukan entah turba SBY dan blusukan Jokowi tentunya bisa menjadi inspirasi semua pejabat di Indonesia apapun jabatannya demi perbaikan serta dalam rangka meningkatkan kinerjanya. Dimana pimpinan harus sadar dan kembali saling mawas diri untuk menghargai kepemimpinan pelayanan dan mengubah cara kita bernegara. Sebagai rakyat kita sudah benci dengan polah tingkah pemimpin yang elitis. Biarkan mereka tetap di langit dengan blusukan ke manca negara, rakyat hanya akan mengenal yang membumi, baik, jujur dan amanah. Akhirnya rakyakat akan memanen hasil dari kebaikan-kebaikan dari mereka.