Mohon tunggu...
Aryani Wijayanti
Aryani Wijayanti Mohon Tunggu... Lainnya - ibu rumah tangga

mencoba mengekspresikan fikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Ketika Hati Tertaut dengan Masjid

22 April 2024   23:41 Diperbarui: 23 April 2024   23:54 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menunggu memang merupakan aktivitas yang cukup menjemukan. Palagi ketika durasi waktu menunggu agak tanggung. Saat itu kebetulan anak sedang ikut kegiatan ekstra di sekolah. Akhirnya saya putuskan untuk menunggu di sekolah saja daripada bolak-balik, cukup melelahkan.

Dari dalam masjid, terdengar suara alunan sesosok pemuda yang sedang mengajarkan tilawah kepada salah seorang anak sekolah dasar. Pikir saya kebetulan banget, saya sedang mencari guru mengaji untuk anak saya. Maklum anak termasuk generasi pandemi, jaman di mana masjid banyak ditutup. Saya fikir akan lebih efektif belajar mengaji dengan privat. Tanpa basa-basi langsung saya minta saja nomor pemuda tersebut dan saya mencoba untuk mengontaknya. Si pemuda menerima tawaran untuk mengajar mengaji anak saya. Pembelajaran mengaji sepakat dilaksanakan di masjid.

Awalnya saya berfikir pemuda ini masih kuliah di program sarjana karena memang postur tubuhnya yang cukup mungil. Saya tidak menyangka ternyata pemuda ini sedang melanjutkan Program Pascasarjana Program Studi Ilmu Al Qur’an dan Tafsir di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta  semester 2. 

Pertemuan pertama dengan pemuda ini saya dibuat tertegun, ketika dia menunjukkan kontrakannya dan menyampaikan alasan mencari kontrakan di daerah tersebut. “Ya bu kalo di sini kan dekat dengan masjid.” Posisi kontrakan memang berada di seberang masjid persis. Ketika sebagian besar orang memprioritaskan mencari hunian karena letak yang strategis, si pemuda justru menjadikan patokan letak hunian yang dekat masjid sebagai prioritas.

Setelah tiga kali pertemuan, si pemuda memberitahukan bahwa sudah pindah dari kontrakan yang lama dan meminta kegiatan mengaji dilaksanakan di masjid yang lain. Saya fikir kenapa pindah? Ternyata si pemuda beralih menjadi marbut di Masjid Al Munawarroh. Masjid ini terletak di Jalan Timoho dan berjarak sekitar 1 km dari UIN.

Saya melihat pemuda ini sangat ikhlas dan bertanggungjawab menjalani perannya menjadi imam, adzan, mengisi pengajian, mengurus kegiatan di masjid dan bersih-bersih masjid di sela-sela kesibukan kuliahnya. Yang membuat saya kagum dengan sosok pemuda ini, selain dari kemampuan tilawahnya, dia cukup santun, nonprofit oriented, sangat disiplin dengan waktu dan komit. Dia  juga tidak mau menetapkan standar upah untuk ilmu yang diajarkan dan berharap Allah yang akan membalas semuanya. Adakalanya saya memang memberikan uang saku sedikit lebih banyak karena menurut saya dia mengajar dengan durasi waktu yang lebih banyak, dia justru mempertanyakannya. “ Ibu ngasihnya nggak kelebihan?” Dia selalu memastikan yang diterima sesuai dengan haknya. Khawatir mungkin saya salah ngasih. 

Melihat karakter si pemuda yang memang hatinya tertaut dengan masjid, pilihan dia menjadi marbut masjid menjadi hal yang wajar. Ketika berada di masjid, si pemuda dapat menjalankan ibadah sholat tepat waktu, dapat mengajarkan ilmu yang dipunyai dan melakukan amalan-amalan kebaikan lain di masjid. Sebagai imbal baliknya, setidaknya si pemuda juga mendapatkan tempat tinggal gratis dan mendapatkan akses WIFI gratis dari Kota Yogyakarta. Saya tidak pernah menanyakan masalah upah yang diperoleh dari masjid karena itu merupakan hal yang sensitif dan khawatir tidak mau menjawab juga. Sebagai upaya minimal untuk mendukung kesejahteraan marbut masjid, ketika saya mempunyai rizki lebih, saya akan memberikan tambahan lebih kepada sosok pemuda tadi. Selain itu, adakalanya saya berbagi jajanan ataupun makanan untuk si pemuda tadi ketika waktu memang memungkinkan. 

Sejauh saya mengenal sosok pemuda tadi, saya sangat yakin motivasi utama dia menjadi marbut bukanlah karena profit semata. Menurut saya pribadi, si pemuda mempunyai keuangan yang cukup karena dia merupakan salah satu penerima beasiswa LPDP dan setau saya memiliki banyak siswa privat mengaji juga. Sepertinya cukup untuk membiayai kehidupannya yang masih lajang.

Kalo kita perhatikan, pekerjaan sebagai marbut masih dianggap sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat karena image dari marbut hanyalah merupakan pekerjaan sampingan sebagai tukang bersih-bersih saja. Selain itu, pekerjaan menjadi marbut itu memang tidak bisa dijadikan sumber cuan. Hanya orang-orang yang ikhlas dan terpanggil saja yang mau menjalani pekerjaan ini.

Melihat dari sosok pemuda tadi, image saya pribadi terhadap marbut menjadi berubah. Dengan latar belakang keilmuan dia yang cukup luas, penampilan yang rapi dan bersih disertai dengan kemampuan dia dalam qiro’ah, dia justru menjadikan masjid sebagai pilihan utamanya dengan mengharapkan balasan ridho dan berkah dari Allah semata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun