[caption id="attachment_86167" align="aligncenter" width="300" caption="Dokumen pribadi Aryani"][/caption] Rintik hujan di sore ini mengiringiku pulang. Tidak terlalu deras, hanya gerimis. Tapi cukuplah untuk membasahi tanah dan kerudungku. Sepatuku lumayan basah terkena cipratan airnya. Langitpun tidak terlalu gelap, tapi sang surya tak sanggup memancarkan keindahan sunsetnya. Sebentar reda, sebentar turun lagi, dan semakin deras, seakan ingin dituangkan dari langit. Tanpa petir dan kilat yang menyambar-nyambar, sehingga suasananya tidak terlalu menakutkan. Udarapun tidak terlalu ingin. Aku suka ini. Aku tahu hujan itu akan turun dan turun terus ke bumi, menyapa bulan Februari. Oh...tentu bukan karena ada imlek bukan?! Aku memang suka hujan. Kau basahi tanah-tanah kering yang retak. Kau sudah memberi minum jutaan makhluk yang dahaga di muka bumi. Kau basahi daun-daun dan rerumputan berdebu, sehingga dapat berkilau indah tertimpa mentari pagi. Kau isi mata air dan sungai-sungai yang kekeringan. Dan yang pasti kau sudah membuat tidurku nyenyak di malam hari. Meskipun begitu, terkadang hujan tidak selamanya menyenangkan. Kau sudah membuat mentari pagi enggan bersinar. Seseorang pun membatalkan janjinya karenamu, wow...menyebalkan sekali ya?! Jalanan jadi becek. Jemuran susah kering. Sungai-sungai meluap karena tak sanggup menampung curahan airmu. Tapi tenang saja, tentu ini bukan salah hujan kan?!! Hujan itu anugrah. Tuhan sedang menurunkan rezekinya untuk makhluk di muka bumi.Bagiku turunnya seperti irama lagu tentang kesejukan, dan tentu saja ada berjuta romantisme yang indah di dalamnya. Menjanjikan kesuburan bagi ladang, sawah-sawah dan hutan. Seakan selalu setia untuk menghapus kekeringan. Hujan...janjimu selalu kutunggu, janji kesejukan dan kedamaian... Bogor ‘kota yang katanya identik dengan hujan‘, 28 Januari 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H