Mohon tunggu...
Aryani_Yani
Aryani_Yani Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Lahir di kota hujan yg sejuk, dari ortu yg asli Jawa, tp belum pernah bisa berkomunikasi dlm bahasa Jawa, pernah 10 tahun terdampar di Banjarbaru yg panas, tp balik lg ke kota kelahiran tercinta...I am just the way I am, a little dreamer, agak pemalu tp gak malu-maluin koq :-), melankonlis kuat tp sedikit koleris, pecinta tanaman & lingkungan, mudah terharu, senang fotografi, design & art, handycraft, travelling & ecotourism, pokoknya yg serba alami dech alias naturalist, a lot of friendship...hmm apa lagi yaaa....kalo nulis kyknya belum jd hobi dech, makanya gabung di kompasiana :-D. Jd job creator adalah 'impian' tp belum kesampaian tuh. Email : ryani_like@yahoo.com. Instagram : aryaniyani21

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

[Edisi Ngirit] Mudik Lebaran Sekaligus Backpakeran ke Karimunjawa

13 Mei 2013   10:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:39 1540
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berawal dari keinginan jalan-jalan ke Karimunjawa, tahun lalu saya berinisiatif mengajak seorang teman untuk ke sana. Mengingat Karimunjawa letaknya jauh dari tempat kami tinggal di Bogor, saya memutuskan untuk backpakeran saat mudik lebaran. Maksudnya supaya lebih efisien dan hemat dari segi biaya dan waktu. Kebetulan kalau lebaran saya mudik ke daerah Pati-Rembang, relatif dekat dengan lokasi yang dimaksud. Sedangkan teman saya mudik ke daerah Magetan. Jadi, nantinya kami akan janjian bertemu di Pelabuhan Jepara untuk menyeberang. Karena sama sekali belum punya pengalaman ke Karimunjawa, kami browsing beberapa paket wisata ke Karimunjawa. Tetapi karena pertimbangan waktu dan biaya yang lebih mahal, akhirnya tidak jadi lewat paket wisata. Kamipun woro-woro di grup Backpaker Indonesia untuk mencari teman barengan ke sana. Ketemu satu orang dari Yogyakarta yang punya tujuan dan jadwal sama. Katanya dia juga bakal mengajak beberapa teman dan kebetulan punya kenalan seorang teman penduduk asli Karimunjawa. Lumayanlah sudah dapat teman backpakeran bareng meskipun sama sekali belum ketemu langsung, setidaknya ada sedikit gambaran. ****** Biasanya kalau mudik lebaran saya selalu membawa satu tas kecil dan tas jinjing berisi pakaian. Tapi tidak untuk lebaran kali ini. Saya berusaha untuk tidak terlalu banyak membawa baju. Saya hanya membawa satu tas ransel dan tas kamera. Namanya juga mau backpakeran, cari yang simple saja. Tiketpun pulang ke Bogorpun sama sekali tidak saya pesan karena tidak tahu balik dari Karimunjawa hari apa. Pokoknya ntar langsung beli tiket di tempat saja. Lebaran berlangsung seperti biasa, di hari pertama dan kedua saya bersilaturahim ke tempat saudara. Biasanya setelah pulang mudik, barang bawaan jadi membengkak. Saya tidak mau berat-berat membawa barang. Untuk meringankan bawaan saat ke Karimunjawa, beberapa baju kotor saya kirim lewat paket pos. Begitu pula dengan oleh-oleh. Lebaran hari ke-4, saat subuh saya berangkat dari Pati ke Pelabuhan Jepara diantar oleh saudara ipar dengan motornya. Ternyata banyak dari saudara saya yang belum pernah ke Karimunjawa, padahal jaraknya relatif dekat. Mungkin karena harus menyeberang pulau, jadi agak ribet, terutama bagi yang tidak tahan perjalanan laut. ****** [caption id="attachment_253711" align="alignnone" width="500" caption="Suasana di Pelabuhan Jepara (Dok. Damianus Pasangka)"][/caption] [caption id="attachment_253713" align="alignnone" width="500" caption="Narsis sambil menunggu keberangkatan kapal (Dok. Damianus Pasangka)"]

1368415114121350402
1368415114121350402
[/caption] [caption id="attachment_253714" align="alignnone" width="614" caption="Foto dengan sesama backpaker (Dok. Damianus Pasangka)"]
1368415183103370210
1368415183103370210
[/caption] Setibanya di Pelabuhan Jepara, hari sudah terang. Suasana di sana sudah ramai dengan para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Banyak dari mereka yang membawa tas ransel, tetapi banyak pula yang membawa koper. Mereka antri di depan loket, padahal loketnya saja belum dibuka. Setelah mencari-cari di tengah ramainya wisatawan, akhirnya saya ketemu temanku yang dari Bogor, dan teman yang baru dikenal lewat grup backpacker Indonesia dari Yogya. Namanya Arief. Dia juga membawa dua orang teman. Sayapun banyak berkenalan dengan teman baru di sana, karena banyak pula dari mereka yang hanya pergi berdua dan teman barengan. Tentu saja semakin banyak orang dalam satu rombongan akan memperkecil sharing cost perjalanan. Di pinggir pantai, tampak kapal KMP Muria sedang bersandar. Tetapi pagi itu angin bertiup kencang dan ombak tinggi sedang tinggi. Sementara pengunjung semakin lama semakin membludak. Terdengar pengumuman dari bagian informasi bahwa pemberangkatan kapal ditunda sampai ombak tenang, kemungkinan bisa besok pagi baru diberangkatkan. Mendengar pengumuman itu, banyak dari wisatawan yang pulang sehingga pelabuhan mendadak sepi. Banyak pula yang tetap setia menunggu di pelabuhan seperti rombongan kami. Adapula beberapa orang yang ikut paket wisata terlantar, padahal sudah membayar penuh. Untung kami tidak jadi ikut paket wisata. Menjelang tengah hari, kembali diumumkan bahwa kapal KMP Muria akan diberangkatkan jam 2 siang. Tampaknya ombak laut sudah tidak terlalu tinggi. Rombongan kamipun buru-buru antri tiket. Pelabuhan yang tadinya sepi, menjadi ramai kembali karena pengunjung kembali berdatangan setelah mengetahui pengumuman keberangkatan kapal. [caption id="attachment_253715" align="alignnone" width="534" caption="Bersama teman-teman seperjalanan sebelum naik kapal KMP Muria"]
13684152671269382662
13684152671269382662
[/caption] Perjalanan yang kami tempuh cukup lama karena kami memilih kapal yang regular. Enam jam perjalanan dengan kondisi ombak yang lumayan tinggi menyebabkan kapal menjadi terombang-ambing. Banyak dari penumpang yang mabuk laut termasuk saya sendiri. Waktu itu benar-benar tidak bisa menikmati perjalanan sama sekali karena kepala mendadak pusing dan perut luar biasa mual. Sayapun akhirnya muntah saat kapal hendak menepi karena tidak tahan melihat pemandangan orang muntah-muntah di sekitar saya. ****** Di pelabuhan, kami sudah ditunggu oleh temannya Arief yang notabene adalah penduduk asli Kepulauan Karimunjawa. Namanya Sitam. Sebenarnya ia tidak tinggal di Pulau Karimunjawanya, tetapi pulau sebelahnya yaitu P. Kemujan yang sekarang sudah menyatu dengan Karimunjawa. Kami dijemput bukan dengan mobil tertutup lho, tapi mobil bak terbuka. Memang mobil jenis inilah yang dipakai untuk transportasi umum di daerah ini, selain motor. Mungkin kalau di kota kita akan malu naik mobil terbuka, tapi di sini tentu saja tidak, kami malah justru menikmati. Hari memang sudah malam ketika kami menyusuri jalan lurus yang satu-satunya menghubungkan P. Karimunjawa dan P. Kemujan. Tidak terlihat apa-apa di kanan kiri jalan selain semak belukar dan beberapa rumah yang letaknya berjauhan. Suasananya memang tidak tampak seperti di pulau kecil, kami malah merasa sedang berada di Pulau Jawa saja. Keluarga Sitam aslinya adalah orang Sulawesi, tepatnya suku Mandar. Kebanyakan dari penduduk Karimunjawa memang berasal dari Bugis. Tapi karena sudah lama tinggal di Karimunjawa dan bergaul dengan orang Jawa, akhirnya mereka sekarang sangat fasih berbahasa Jawa meskipun Jawa kasar. Rumah orang tuanya Sitam berbentuk panggung sederhana. Kami diterima dan dilayani dengan baik di sana. Sepertinya keluarganya memang sudah terbiasa menerima kunjungan tamu dari luar, dari anak-anak backpacker sampai mahasiswa yang sedang KKN. Malam itu kami menginap di rumah adat Bugis yang letaknya sekitar 100 meter dari rumah orang tuanya Sitam. Kami beruntung karena bisa tidur di sana tanpa dipungut bayaran. Tempatnya luas dan nyaman meskipun di sana belum ada listrik dan kamar mandinya. Rupanya rumat adat itu nantinya akan dipakai sebagai rumah inap bagi wisatawan yang berkunjung ke sana. Jadi untuk makan, dan mandi, kami harus tetap ke rumah orang tuanya Sitam. Tak jauh dari rumah adat Bugis, berdiri pula rumah adat Jawa. Mungkin itu juga suatu saat dijadikan tempat menginap kalau fasilitasnya sudah lengkap. [caption id="attachment_253716" align="alignnone" width="600" caption="Rumah keluarga Sitam, tempat singgah kami"]
13684153731159225616
13684153731159225616
[/caption] [caption id="attachment_253717" align="alignnone" width="600" caption="Rumah adat Bugis, tempat kami menginap"]
1368415442554490122
1368415442554490122
[/caption] [caption id="attachment_253718" align="alignnone" width="600" caption="Rumah adat Jawa"]
13684154831001220480
13684154831001220480
[/caption] Ohya, jangan bayangkan suasana di sini seperti di kota. Listrik di pulau ini hanya nyala selama 6 jam dalam sehari dari jam 17.30 – 23.30. Selebihnya mati total kecuali kalau siang bisa memakai bantuan pembangkit tenaga surya, itupun sangat terbatas. Tidak ada lampu penerang jalan di sana. Jadi kalau ingin tidur di rumah adat, kami harus melalui jalan yang gelap dan harus memakai senter. Begitu pula jika ingin ke kamar mandi yang kebetulan letaknya agak jauh di belakang rumah. Sinyal handphonepun terbatas di sana, yang ada hanya telkomsel, itupun di tempat-tempat tertentu. Sepertinya daerah sana memang harus mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Tetapi untunglah penduduknya banyak juga yang bersekolah sampai perguruan tinggi seperti Sitam ini yang menyelesaikan S1-nya di salah universitas di Yogyakarta. Backpakeran mandiri tanpa ikut paket wisata memang lebih menyenangkan. Meskipun fasilitas terbatas, tetapi rasa kekeluargaannya benar-benar lebih terasa. Kami dalam satu rombongan berdelapan orang, banyak dari kami yang baru kenal saat di pelabuhan, tetapi kami merasa seperti teman sendiri. Begitu pula dengan keluarga Sitam, kami merasa mereka seperti keluarga sendiri saja. Bahkan mereka menawarkan untuk lebih lama tinggal di sana dan sering-sering main ke rumah mereka. Kami juga cepat akrab dengan beberapa tetangga di sana yang masih saudara dengan Sitam. Mungkin bagi teman-teman yang ingin jalan-jalan ke Karimunjawa ala backpacker bisa menghubungi teman saya di sana. Saat makan, kami biasanya makan bersama keluarganya Sitam. Kalau siang hari, karena di dalam rumah sangat panas, biasanya kami makan bareng-bareng di bawah pohon di depan rumah. Jenis lauk yang disuguhkan selalu ikan atau telur. Tidak ada sayur, daging ayam ataupun tempe tahu, karena bahan seperti itu memang sukar didapat di sana. Biasanya setelah makan siang dilanjutkan dengan acara ngobrol-ngobrol sehingga membuat suasana menjadi santai dan akrab. [caption id="attachment_253719" align="alignnone" width="534" caption="Makan siang bersama di bawah pohon"]
1368415537482303109
1368415537482303109
[/caption] [caption id="attachment_253721" align="alignnone" width="614" caption="Menu utama : ikan"]
13684155721035590252
13684155721035590252
[/caption] Di hari pertama, kami bisa leluasa menyusuri beberapa pantai dengan berjalan kaki, yang kebetulan tak jauh dari rumah tempat singgah kami. Begitu pula Jembatan Cinta dan Bandara Dewadaru juga letaknya hanya sekitar 1,5 km. Hari kedua kami habiskan dengan kunjungan ke Hutan Wisata Mangrove, Bukit Nyamplungan dan kunjungan ke P.Tengah dan Pulau kecil. [caption id="attachment_253722" align="alignnone" width="534" caption="Di atas mobil pick-up"]
1368415622383447929
1368415622383447929
[/caption] [caption id="attachment_253723" align="alignnone" width="400" caption="Di atas kapal, menuju P. Tengah"]
13684156661556725921
13684156661556725921
[/caption] [caption id="attachment_253724" align="alignnone" width="534" caption="Penduduk lokal, yang mengantarkan kami ke Pulau tengah dan Pulau Kecil"]
1368415730459870552
1368415730459870552
[/caption] Sayangnya kami hanya 2 hari di sana, karena malamnya ada jadwal kapal KMP Muria yang ke P. Jawa. Jadi totalnya kami hanya menginap 2 malam. Kami diantar ke Pelabuhan Karimunjawa dengan menyewa mobil pick-up seperti waktu pertama kali datang.  Kalau dihitung-hitung, biaya yang dihabiskan mulai dari transportasi kapal Pelabuhan Jepara-Karimunjawa, makan, penginapan, sewa kapal, sampai kembali ke Pelabuhan Jepara menjadi lumayan murah. Karena kami ada 8 orang dalam satu rombongan, setiap orang dikenakan biaya Rp. 150.000,-. ****** Perjalanan malam di kapal kami lalui dengan suasana ombak laut yang tenang, tidak seperti saat berangkat. Untuk menghindari mabuk laut, saya merebahkan diri supaya bisa tidur sepanjang perjalanan. Begitu pula dengan teman-teman lainnya. Sesampainya di Pelabuhan Jepara, hari sudah kembali terang. Saya melanjutkan perjalanan ke Bogor dengan berganti bis dengan berganti bus sebanyak 4 kali alias ngeteng. Mulai dari Jepara-Semarang, Semarang-Cirebon, Cirebon-Jakarta dan terakhir Jakarta-Bogor. Ya resikonya waktu perjalanan menjadi lebih lama karena saya memang tidak membeli tiket balik ke Bogor. Total perjalanan Jepara-Bogor menjadi lebih lama (sehari semalam) karena macet dan banyak berhentinya. Backpakeran saat sedang mudik lebaran bisa menjadi pilihan yang efisien dari segi waktu dan biaya. Jadi, kita bisa silaturahim dengan saudara-saudara sekaligus jalan-jalan ke tempat tujuan yang lokasinya memang tidak jauh dari tempat mudik kita. Salam jalan-jalan Bogor, 13 Mei 2013 Tulisan terkait : [WPC-32] Memburu Cantiknya Sunset dan Sunrise di Kepulauan Karimunjawa [Jelang Satu Tahun] Karimunjawa : Sensasi Berlibur di Kepulauan Utara Pulau Jawa Susur Pantai di Karimunjawa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun