Malam itu (27/12/13) sudah lewat jam 12. Rencana untuk bangun tepat jam 12 malam terlewatkan. Tidak ada satupun dari teman-teman kami yang terjaga saat alarm yang sudah disetel berbunyi. Mungkin efek kelelahan dan tidur larut membuat tidur kami begitu nyenyak. Salah seorang teman membangunkan sekitar jam 1 dini hari. Tanpa mengulur waktu, kami bergegas masuk ke mobil setelah mencuci muka dan beres-beres. Mobil meluncur menembus kegelapan malam dari Banyuwangi menuju Pos Paltuding, Kawasan Ijen. Jarak dari rumah temanku di Banyuwangi ke Pos Paltuding cukup jauh. Sekitar 1 jam di mobil dan melewati jalan yang menanjak dengan pemandangan kanan-kiri yang gelap gulita, membuatku sempat tertidur sesaat karena masih mengantuk. Setibanya di Pos Paltuding, waktu sudah menunjukkan jam 2 lewat, hampir setengah 3. Tanpa berlama-lama di Pos, kami berenam segera bergegas untuk mendaki setelah sempat membeli masker dan mengurus izin masuk. Meskipun datang terlambat, waktu itu kami berharap masih sempat menyaksikan blue fire alias si api biru di dasar kawah. Salah satu pemandangan yang menjadi incaran para wisatawan yang berkunjung ke Ijen, karena katanya hanya ada 2 di dunia, di Kawah Ijen dan Islandia. Blue fire ini hanya bisa terlihat saat dini hari sampai sebelum matahari terbit. Masih beberapa meter dari pos penjagaan, bau belerang tiba-tiba tercium menyengat, tetapi lama-kelamaan semakin memudar saat kami mulai menjauhi pos. Jalan menuju kawah lumayan lebar tapi cukup membuat kelelahan dan nafas ngos-ngosan. Awalnya memang agak landai, tetapi lama-lama kemiringan mungkin sekitar 30-35 derajat, dan ini cukup membuat denyut jantung berdetak keras. Udara yang cukup dingin dan suasana gelap membuat perjalanan terasa lama. Tidak ada pendaki lain yang kami temui waktu itu selain beberapa penambang belerang. Masker yang kukenakan membuatku sulit bernafas dan kacamataku berembun, akhirnya kuputuskan untuk melepas masker, toh bau belerang sudah tidak tercium lagi. Saya bukanlah seorang pendaki gunung. Saya juga tidak punya pengalaman mendaki kecuali untuk gunung-gunung yang sudah dibuatkan akses jalan sampai ke atas seperti Gunung Bromo dan Tangkuban Perahu. Mendaki ke kawah Ijen meskipun sebentar dan medannya mudah agak membuat kepayahan. Tapi hal ini tentu tidak menghalangi keinginan untuk melihat keindahan alam dari atas gunung dan mengabadikannya. Saat mendaki, beberapa kali saya harus berhenti untuk istirahat. Teman saya yang sudah jalan lebih dulupun akhirnya ikut berhenti. Jalanan dengan kemiringan tajam dan berkelok-kelok membuat kepalaku pusing dan agak mual. Apalagi tanahnya agak licin karena pasir. Mungkin karena efek masuk angin, saya sempat muntah-muntah. Akhirnya seorang teman dengan sukarela membawakan tas saya supaya beban bawaanku menjadi berkurang. Untunglah setelah muntah-muntah itu, badanku sudah mulai terasa enakan, jadi perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Ternyata pos pertama (Pos Bunder) sudah tidak jauh lagi. Di sini kami sudah mulai banyak berpapasan dengan pendaki lain yang baru turun. Kami juga sempat ngobrol dengan seorang penambang belerang yang melewati kami. Menambang belerang bukan sesuatu yang mudah. Tiap hari mereka harus membawa beban belerang seberat puluhan sampai seratus kilogram. Padahal kalau diuangkan harganya tidak seberapa, belum lagi resiko penyakit pernafasan karena asap belerang. Tapi begitulah, buat mereka tidak ada pilihan pekerjaan lain selain menambang belerang. Hari itu kebetulan bertepatan dengan hari jumat sehingga tidak ada penimbangan belerang. Kami sudah mendekati puncak kawah. Jalanan sudah mulai melandai. Pemandangan sudah tidak terhalang pepohonan lagi. Samar-samar langit gelap mulai memudar. Di sebelah kanan jalan, saat memandang ke bawah mulai bisa kami saksikan pemandangan kota Banyuwangi dengan kerlap-kerlip lampunya. Sedangkan di atas bisa kita saksikan langit bertaburkan bintang. Sungguh pemandangan yang luar biasa indah. [caption id="attachment_306065" align="alignnone" width="602" caption="Pipa-pipa tengah kawah yang dipasang untuk mengalirkan belerang"][/caption] [caption id="attachment_306064" align="alignnone" width="602" caption="Manusia tampak kecil di tengah-tengah kawah"]
[/caption] Beberapa saat kemudian langit di ufuk barat mulai merona merah. Rupanya waktu subuh sudah tiba. Kami mempercepat langkah karena terlambat sedikit saja, blue fire sudah tidak terlihat lagi. Setibanya di bibir kawah (2368 m dpl), kami hanya sempat menyaksikan blue fire dari kejauhan. Itupun warna birunya sudah memudar. Belum sempat menikmati dan mengabadikan, blue fire keburu hilang. Tak apalah, yang penting sudah bisa mencapai Kawah Ijen. [caption id="attachment_306066" align="alignnone" width="602" caption="Langit pagi merona merah di atas kawah"]
[/caption] Di sana sudah banyak wisatawan, sepertinya banyak pula yang bermalam di sana. Pelan-pelan saya menuruni jalan setapak berbatu menuju ke dasar kawah tapi tidak sampai terlalu ke bawah. Jalan yang sempit dan jurang di sisinya membuat saya ngeri melewatinya. Apalagi saya takut ketinggian. Pagar untuk pegangan tangan hanya dibuat beberapa meter saja. Dari atas saya menyaksikan asap belerang mengepul dari dasar kawah yang berwarna kuning. Beberapa pipa sengaja dipasang untuk tempat keluarnya belerang. Rupanya cuaca saat itu sedang berbaik hati, karena arah angin menjauhi para pengunjung sehingga aroma belerang tidak terlalu tercium. Pemandangan di atas Kawah Ijen sungguh mempesona. Kawahnya luas membentuk danau yang bersifat asam dengan air berwarna hijau berhiaskan asap belerang yang tebal. Sayangnya saat itu agak berawan jadi semburat merah di langit pagi tidak terlalu kontras. Tapi menapaki kawasan ini membuat kita serasa berada di negeri lain. Guratan-guratan tanah dan bongkahan bebatuan di bibir kawah dan sekitar kawah membentuk lukisan abstrak yang indah, entah bagaimana dulu prosesnya sampai bisa terbentuk pola seperti itu. Sayangnya lensa kamera saya tidak cukup untuk merekam semua keindahan yang bisa tertangkap oleh mata. Manusia tampak seperti liliput di negeri dongeng di antara gagahnya kawah. [caption id="attachment_306068" align="alignnone" width="602" caption="Danau asam di Kawah Ijen"]
[/caption] [caption id="attachment_306069" align="alignnone" width="602" caption="Jalan terjal berbatu menuruni kawah"]
[/caption] [caption id="attachment_306070" align="alignnone" width="602" caption="Lukisan abstrak keindahan alam"]
[/caption] Beberapa kali kami berpapasan dengan penambang belerang yang baru saja naik dari dasar kawah. Gak kebayang ya mereka melakukan pekerjaan seperti ini setiap harinya. Betapa beratnya. Agak jauh dari dari bibir kawah, di jalan yang agak mendatar bisa kita temui beberapa pedagang yang menjual souvenir dari belerang yang sudah dibuat berbagai macam bentuk. [caption id="attachment_306071" align="alignnone" width="602" caption="Penambang belerang yang baru selesai menambang"]
[/caption] [caption id="attachment_306072" align="alignnone" width="602" caption="Penjual souvenir dari belerang"]
[/caption] [caption id="attachment_306073" align="alignnone" width="602" caption="Berbagai macam bentuk souvenir dari bahan belerang"]
[/caption] Waktu pagi sudah menunjukkan jam 6 lewat. Angin dingin berhembus kencang. Usai menikmati pemandangan di Kawah Ijen, dan tidak lupa berfoto-foto narsis, kami memutuskan untuk turun. Keindahan alam pegunungan semakin jelas terlihat saat menuruni gunung, karena hari sudah terang. Langit biru menaungi puncak gunung yang ada di sekitar Ijen. Pemandangan kota Banyuwangi dan laut bisa kita saksikan dari atas ketinggian. Pohon dan ranting kering di sepanjang pegunungan menambah eksotisnya suasana. [caption id="attachment_306074" align="alignnone" width="602" caption="Jalan menuju bibir kawah"]
[/caption] [caption id="attachment_306075" align="alignnone" width="602" caption="Pemandangan Kota Banyuwangi dan laut dari atas gunung"]
[/caption] [caption id="attachment_306076" align="alignnone" width="602" caption="Ranting-ranting kering penghias gunung"]
[/caption] Jalan turun tidaklah kalah susah dibanding dibanding waktu naik. Jika saat naik nafas kita yang akan ngos-ngosan, maka saat turun kakilah yang harus menahan beban. Jalanan dengan kemiringan curam dan berpasir membuat ngeri. Kalau sudah ahli mungkin bisa turun sambil berlari-lari kecil dan tentu saja akan lebih cepat sampai bawah. Tapi kalau tidak tentu harus ekstra hati-hati karena kaki kita harus bisa menahan supaya tidak terpelesat. Di banding Bromo, turis asing lebih banyak ditemui di sini. Mungkin karena adanya fenomena blue fire yang hanya ada 2 di dunia. Banyak juga dari mereka yang mengajak anak-anaknya yang masih kecil untuk mendaki. Sedangkan turis lokal yang berkunjung mungkin tidak seramai Bromo. Tetapi ada beberapa hal klasik yang bikin jengkel dan kemungkinan dilakukan oleh turis lokal, seperti kebiasaan nyampah sembarangan. Padahal di Kawasan Ijen termasuk tertib karena hampir pada jarak beberapa meter tersedia tong sampah, tapi tetep saja buang sampahnya asal-asalan. Belum lagi aksi vandalisme di batu-batu gunung akibat tangan-tangan usil para pengunjung. [caption id="attachment_306078" align="alignnone" width="602" caption="Aksi vandalisme di batu-batu gunung"]
[/caption] [caption id="attachment_306079" align="alignnone" width="600" caption="Berpose berlatar danau kawah Ijen, biar gaya pakai bendera merah-putih :-) (Dok. teman)"]
[/caption] [caption id="attachment_306080" align="alignnone" width="400" caption="Akhirnya berhasil sampai ke kawah juga meskipun sempat muntah-muntah :-)"]
[/caption] Memiliki kekayaan alam seindah Kawah Ijen merupakan anugerah dari Sang Pencipta untuk Indonesia. Menikmatinya tentu hal yang biasa, tetapi menjaganya agar tetap bersih, indah dan lestari adalah tugas kita semua. Maka mulai sekarang, belajarlah untuk menjadi pendaki yang beradab terhadap alam dan sesama. Jangan lupa untuk mengunjungi website
Indonesia Travel.
Salam mendaki Bogor, 15 Januari 2014.Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya