[caption id="attachment_140329" align="aligncenter" width="400" caption="www.forumbecak.blogspot.com"][/caption] Seperti hari biasanya, sore itu saat aku pulang ke rumah, seorang tukang becak menghampiriku di ujung jalan dekat jalan raya. Biasanya mereka bergantian, kini giliran abang becak yang berbadan pendek yang mengantarku. “Pulang teh?!!” sapanya sambil mendekatkan becaknya padaku. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum lalu bergegas naik ke dalam becak. Saat becak mulai berjalan, iseng kuperhatikan ke bagian dalam becak. Di bagian kanannya ada name tag, mungkin semacam kartu tanda pengenal bagi para tukang becak. Di situ tertera nama, alamat, dan tanggal lahir. Aku cuma bisa membaca namanya sekilas yang tertulis dengan huruf kapital : Suparto. Info lain tidak dapat kubaca dengan jelas karena sambil berjalan. “Sudah lama Pak jadi tukang becak?” tanyaku memulai perbincangan “Sudah 15 tahun teh” jawabnya “Wah lama juga ya. Emang asli sini Pak?” tanyaku lagi “Enggak teh, saya dari Jawa” jawabnya lagi “Lho jauh tho? Koq sampai merantau ke sini sih Pak? Jawanya dimana?” “Di Jawa Tengah teh, Demak” “Pantes bapak logatnya medhok. Berarti lebaran kemarin pulang kampung dong?” “Saya udah lama gak pulang kampung, mungkin udah 3 tahun” “Koq enggak pulang sih? Emang gak kangen sama keluarga?” “Ke Jawa kan mahal teh, lagipula anak isteri saya di sini koq. Anak saya kan ada empat, kalau saya bawa semua ke kampung pas lebaran gak kuat ongkosnya. Mendingan pulangnya pas di hari biasa aja, itupun gak tiap tahun” “Ooo iya ya” aku cuma bisa mengangguk-anggukkan kepala. “Kasihan ya mereka, tidak bisa pulang setiap saat karena keterbatasan ongkos” pikirku dalam hati. Tak terasa perjalanan telah sampai, akupun turun dari becak dan menyodorkan beberapa lembar uang ribuan. “Makasih ya Pak” kataku. “Sama-sama teh” jawabnya. ********** Sore berikutnya, kembali aku pulang ke rumah menaiki becak, tapi dengan abang becak yang berbeda. Kali ini giliran Pak Husein. Ia ramah sekali dan suka bercanda. Ia begitu gesit dan lincah menjalankan becaknya, bahkan terkadang sering ngebut.Sudah beberapa minggu ini tidak terlihat menarik becaknya. “Pak, kemana aja koq baru kelihatan?” tanyaku “Anak saya yang SMP tabrakan teh waktu naik motor, kakinya patah, pendarahan di paru-parunya” ia mulai bercerita. “Hah koq bisa?!! Gimana kejadiannya Pak?” tanyaku kaget “Tabrakannya sore-sore, motor sama motor, dia dibonceng temennya, tapi temennya malah gak apa-apa. Kemarin saya nungguin anak saya di rumah sakit sampai seminggu, makanya gak sempet narik. Takut anak saya kenapa-kenapa. Kemarin anak saya malah disuruh operasi, tapi saya gak kuat biayanya. Jadi berobat jalan aja” tuturnya “Trus sekarang kondisinya gimana?” tanyaku lagi “Alhamdulillah udah mendingan teh, sekarang lagi belajar jalan” katanya “Syukurlah kalau begitu” jawabku Aku turun dari becak dan membayar ongkosnya. Pak Husein menerimanya sambil mengucapkan terima kasih dan berlalu. ******* Para tukang becak di ujung jalan. Masing-masing punya kisah hidup yang berbeda. Aku hanya bisa mengetahuinya sepotong-sepotong karena tidak semuanya senang diajak ngobrol. Tapi umumnya mereka baik, namun sayangnya bayak yang dihimpit oleh masalah ekonomi. Bogor, 29 Oktober 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H