Dari ketinggian, Batanghari tampak semakin jelas, meliuk-liuk bagai ular. Pertanda pesawat dengan penerbangan Jakarta-Jambi sudah hampir mendarat. Sungai terpanjang di Sumatera ini membelah Jambi di antara hijaunya hutan dan perkebunan. Mengalir jauh dari hulunya di Gunung Rasan, Sumatera Barat sampai bermuara di perairan timur Sumatera. Orang-orang biasa menyebutnya Sungai Batanghari, padahal menurut yang saya baca ‘Batang’ sendiri artinya sungai, sehingga Batanghari berarti ‘Sungai Hari’. Bagiku pribadi, mengingat sungai ini sedikit membangkitkan mimpi buruk dan kenangan menyakitkan tentang sesuatu. Tapi bagi warga Jambi tentu berbeda, sungai ini membawa kenangan akan kejayaan peradaban melayu di masa lampau dan memiliki arti penting hingga saat ini.
Menjelang tengah hari, udara terasa panas. Cuaca di sepanjang Batanghari agak terik berawan. Batanghari melewati Kota Jambi dan pusat keramaian seperti pasar dan mall. Mengingat sebagian wilayah Jambi adalah rawa-rawa, banyak pula kulihat rumah panggung yang berdiri di tepinya. Sebenarnya lebih enak menyusuri sungai di kala pagi atau sore hari, panasnya tidak terlalu menyengat. Apalagi kalau ingin berburu foto, tentu pemandangan sunset atau sunrise di tepi sungai akan lebih indah. Tapi berhubung kawan yang menemani bisanya menjelang siang hari, ya sudahlah.
Tak jauh dari sebuah mall (WTC Batanghari), banyak perahu-perahu kecil berjejer untuk disewakan. Biasanya dari tempat inilah orang-orang mulai menaiki perahu menyusuri sungai. Beberapa orang terlihat duduk santai di pinggiran sungai sambil makan dan minum sembari menikmati pemandangan Batanghari. Tidak terlalu ramai pengunjung saat itu. Tawar-menawar harga sewa perahu pun terjadi. Meski dalam bahasa melayu jambi, masih bisa kutangkap maksudnya karena tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia. Si nahkoda kapal menawarkan harga seratus ribu, namun akhirnya bisa ditawar sampai 75 ribu. Mungkin lebih baik kalau sewanya ramai-ramai karena jatuhnya per orang bisa lebih murah.
“Bisa gak turunnya? Kalau orang Jambi pasti bisa” seru si nahkoda saat aku berjalan menuju perahu.
“Bisa dong Pak” jawabku sambil menuruni tembok dengan kemiringan 35 derajat di tepi sungai.
Perlahan mesin dihidupkan, suaranya berisik sekali. Perahu mulai bergerak membelah sungai nan coklat menuju arah jembatan Batanghari II. Di seberang sungai tampak menara sebuah mesjid. Mungkin kalau di malam hari, mesjid ini tak tampak berada di seberang sungai karena gelap. Nampak pula di dekatnya tiang-tiang pancang sebuah jembatan baru yang akan dibangun. Perahu melaju semakin jauh. Suara berisik mesin membuat kami harus berteriak-teriak saat berbicara. Akhirnya aku hanya memfokuskan diri mengamati pemandangan DAS (daerah aliran sungai) Batanghari dan aktivitas warga sembari mengambil gambar.
[caption id="attachment_343017" align="alignnone" width="602" caption="Mesjid di seberang sungai dan tiang pancang jembatang yang akan dibangun (Dok. Yani)"][/caption]
Sepanjang perjalanan tercium bau tidak enak yang menyengat. Ternyata bau ini berasal dari pabrik pengolahan karet yang terdapat di pinggiran sungai. Karena tak jauh dari sini memang banyak perkebunan karet.
[caption id="attachment_343018" align="alignnone" width="602" caption="Pabrik pengolahan karet (Dok. Yani)"]
Perahu melaju semakin jauh, melintasi sisi di dekat jalan raya. Jembatan Batanghari II yang sedari tadi nampak kecil semakin jelas terlihat. Jembatan ini cukup panjang. Bentuknya megah, mirip seperti foto-foto jembatan di Eropa. Berbagai jenis kendaraan terlihat melintas di atasnya. Aku membayangkan sunset berlatar belakang jembatan ini tentu sangat indah.
[caption id="attachment_343019" align="alignnone" width="602" caption="Jembatan Batanghari II di kejauhan (Dok. Yani)"]